Memasuki kota Wonosobo, sebagaimana layaknya kota pegunungan (Gunung Sindoro dan Sumbing di Timur dan Gunung Prahu di utara) maka suasana sejuk mulai merayapi kulit dan begitu terasa bagi mereka yang biasa tinggal di kawasan kota dekat pantai yang lebih bersuhu panas. Alun-alun kota Wonosobo dihiasi tumbuhan menahun seperti beringin yang cukup rimbun. Masih terlihat jejak bangunan lama yang berkisah tentang Wonosobo kota lama seperti bangunan pendopo kabupaten yang dibangun tahun 1870 (Olivier Johannes Raap, Kota di Jawa Tempoe Doeloe, 2017:27). Paseban yang biasa dipergunakan untuk menerima tamu sebelum menghadap bupati masih terawat dengan baik pilar-pilarnya sekalipun telah berganti atap. Setiap bangunan lama dan infrastrukur yang masih dipelihara dengan baik menyimpan lembar demi lembar kisah bersejarah.
Ketika kecamuk Perang Jawa merembet sampai wilayah Kedu, Bagelen, Banyumas maka di wilayah Kedu muncul nama tokoh yang berada di pihak Pangeran Diponegoro yaitu Tumenggung Kertosinuwun, Tumenggung Mangkunegaran, dan Gajah Permodo, Kyai Muhammad Ngarpah (Saleh As'ad Djamhari, Strategi Menjinakkan Diponegoro:Stelsel Benteng 1827-1830, 2014:37). Dalam buku karya J. Hageman yang berjudul, Geschiedenis van den Oorlog op Java van 1825 tot 1830 menyebutkan bahwa, “Demang Moelio-Sentiko dan Arpa, dua bersaudara, berganti nama menjadi: Tommongongs Carto-Negoro dan Setjo-Negoro, di Utara, yaitu di Tempel” (1856:84).
Pasca Perang Jawa berakhir wilayah Wonosobo dimasukkan menjadi wilayah Karesidenan Bagelen. Namun sebelumnya masih berada di wilayah Karesidenan Kedu. Dalam Almanak en Naamregister van Nederlandsch-Indie 1832 disebutkan bahwa Karesidenan Kedu dipimpin Residen M.H. Halewijn dan Asisten Residen J. De Jongh Hemerijk Tak, memiliki empat regentschap (kabupaten) yaitu, Magelang (Raden Adipati Ario Danuningrat), Menoreh (Raden Tumenggung Ario Djojo Negoro), Probolinggo (Raden Tumenggung Joedo Negoro), Wonosobo (Raden Tumenggung Ario Mangun Kusumo).
Sementara dalam Almanak en Naamregister van
Nederlandsch-Indie 1833 Wonosobo atau Ledok telah berpindah menjadi bagian
dari Karesidenan Bagelen yang dipimpin Residen J.W.H. Smissaert dan D.A. Pool
sebagai Asisten Residen Ledok (Wonosobo). Karesidenan Bagelen pada Almanak 1833
memiliki enam regentschap (kabupaten)
yaitu, Purworejo (Raden Adipati Tjokro Negoro), Kutoarjo (Raden Adipati Noto
Negoro), Ledok/Wonosobo (Raden Tumenggung Ario Mangoen Koesoemo), Kebumen
(Raden Adipati Arung Binang), Ambal (Raden Tumenggung Poerbo Negoro),
Karanganyar (Raden Tumenggung Djojo Diningrat).
Sekalipun website resmi Kabupaten Wonosobo meletakkan Bupati Setjonegoro
(alias Kyai Muhammad Ngarpah) sebagai Bupati Wonosobo pertama sebagaimana
dikatakan, “Tumenggung Setjonegoro, yang mengawali kekuasaannya berada di
Ledok, Selomerto kemudian memindahkan pusat pemerintahan ke kawasan Kota
Wonosobo sekarang, setelah menjadi Bupati pertama Wonosobo...diyakini terjadi
pada tanggal 24 Juli 1825” (Sejarah
Singkat Kabupaten Wonosobo - https://website.wonosobokab.go.id/category/detail/Sejarah-Singkat-Kabupaten-Wonosobo),
namun secara administratif kekuasaan baru dimulai ketika Perang Jawa berakhir
(1830) sehingga urutan Bupati Ledok/Wonosobo pasca Perang Jawa dimulai dari
Raden Tumenggung Ario Mangoen Koesoemo.
Berdasarkan pelacakan dokumen
Belanda yaitu Almanak en Naamregister van
Nederlandsch-Indie dan Regerings
Almanak voor Nederlandsch Indie, nama-nama bupati yang pernah memerintah di
Ledok/Wonosobo setelah Raden Adipati Mangoen Koesoemo adalah Raden Tumenggung
Kertowongso (1860), Raden Tumenggung Kertonegoro (1861), Raden Tumenggung Ario
Tjokro Adi Soerijo (memerintah sejak 11 Februari 1864), Raden Tumenggung Soeria
Koesoema (memerintah sejak 17 Oktober 1886), Raden Mas Tumenggung Ario
Tjokrohadinegoro (memerintah sejak 1 Agustus 1901), Raden Adipati Ario
Sosrohadiprodjo/Sosrodiprojo (memerintah sejak 26 Agustus 1920).
Sementara jika merujuk Wikipedia, daftar nama-nama Bupati Wonosobo sbb, Tumenggung Setjonegoro (1825-1832), Tumenggung R. Mangoenkoesoemo (1832-1857), Tumenggung R. Kertonegoro (1857-1863), Tumenggung Tjokroadisoerdjo (1863-1869), Tumenggung Soerjohadikoesoemo (1869-1898), R. Tumenggung Soerjohadinegoro (1898-1919), R.A. Adipati Sosrohadiprodjo (1920-1944), R. Singgih Hadipoera (1944-1946) (https://id.wikipedia.org/wiki/Kabupaten_Wonosobo)
Ledok atau Wonosobo mendapat
julukan het bergregentschap (kabupaten
di pegunungan) sebagai kebalikan untuk Ambal yang disebut dengan julukan, het strandregentschap (kabupaten di
pesisir pantai) sebagaimana ditulis dalam laporan P. Bleeker dalam bukunya, Nieuwe Biijdragen tot de Kennis der
Bevolkingstatistek van Java (1870:84). Menurut buku laporan ini jumlah
penduduk Ledok/Wonosobo tahun 1867 sebanyak 162.548 yang terdiri dari pribumi
Jawa (162.011), orang Eropa (61), orang Tionghoa (442), Timur Asing (34)
(1870:80-81). Sementara menurut laporan Volkstelling
1930 Deel II (1934) penduduk Wonosobo berjumlah 330.549 yang terdiri dari
pribumi Jawa (327.851), orang Eropa (308), orang Tionghoa (2.339), Timur Asing
(51) (1934:122-123).
Seperti kota-kota kabupaten eks
Karesidenan Bagelen lainnya, Wonosobo mewarisi sejumlah bangunan kuno baik
tradisional Jawa, Eropa, Tionghoa. Selain pendopo kabupaten dan paseban
alun-alun, sejumlah bangunan lainnya adalah Kantor Bappeda (eks Landraad),
Pesanggrahan Selomanik (eks Kantor Dinas Kebersihan), Kantor Pos, SD 1 Wonosobo
(eks Holland Inlandsch School), Gereja Kristen Indonesia (Protestansche Kerk),
Hotel Kresna (eks Hotel Dieng), Jembatan Begaluh, pemandian Mangli, sumber air
panas Kalianget dll.
Sejak era kolonial khususnya
tahun setelah tahun 1908, pariwisata di Hindia Belanda berkembang pesat.
Keindahan alam dan kandungan kemanjuran untuk kesembuhan sebuah tempat serta
keunikan penduduk menjadi salah satu nilai jual. Dataran Dieng (Dieng Plateau)
yang berada di wilayah Kabupaten Wonosobo telah menjadi salah satu tempat
wisata paling ramai dikunjungi dan masuk dalam setiap daftar buku panduan serta
brosur wisata. Beberapa buku panduan yang memasukkan Dieng sebagai destinasi
al., Java Wonderland (1900), Gids voor Betochten op Java (1933), Prachtige Tochten van uit Magelang
(1935), serta brosur dari Rotterdamsche
Lloyd - Nederlandsch Indië (1935).
Melalui sebuah berita iklan
berjudul, Wat Er te Zien en te Genieten
Valt: In Wonosobo (Hal yang Dapat Dilihat dan Dinikmati: Di Wonosobo)
kita dapat mengetahui sejumlah daftar lokasi wisata di Wonosobo tahun 1930-an
yaitu, kolam renang Mangli, pemandian Kalianget, dataran Dieng, pesangrahan
Kledung, sungai Sindut dengan tangga batu berjumlah 100 (De Locomotief, 31 Mei 1935).
Mengenai Hotel Dieng (sekarang
Hotel Kresna), belum ada catatan pasti tahun pendiriannya. Namun nama Hotel en Herstellingsoord Diëng (hotel
dan pusat pemulihan) telah muncul dalam berita koran Bataviaasch Nieuwsblad (31 Desember 1912). Beberapa tahun kemudian
muncul sebuah iklan dan keterangan mengenai pembukaan kembali Hotel Dieng pada
1 Agustus 1916 dengan manajemen baru sebagaimana dilaporkan surat kabar Het Nieuws (2 September 1916). Pada tahun 1926 kembali muncul berita menegenai
hotel dan pusat pemulihan Dieng akan dibuka kembali pada tanggal 1 Mei 1926 oleh
Bapak J. E. W. Lambert, dari Palace Hotel di Malang (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië , 8 Maret 1926).
Pada bulan November dan Desember
1924 terjadi gempa yang melanda Wonosobo. Sebuah foto dan keterangan berjudul, De Aardbeving in Kedoe (Gempa di Kedu)
melaporkan berita singkat mengenai rusaknya atap bangunan Hotel Dieng sbb, “Hotel
Dieng di Wonosobo yang rusak parah akibat gempa. Langit-langit ruang makan
runtuh, di mana salah satu tamu terluka ringan” (De Courant Het Nieuws van den dag, 15 November 1924).
Hotel Dieng semakin berjaya di
tahun 1930-an. Dalam sebuah artikel berjudul, Hotel Dieng – Wonosobo digambarkan
bahwa, “Segera setelah Anda tiba melalui taman depan yang indah dengan jalan
masuk yang lebar, Anda akan melihat konstruksi hotel yang sangat modern. Pintu
masuk "lobi besar" dan kantor kepala respsionis yang indah, memiliki
ketenangan yang istimewa dan mengesankan” (De
Locomotief, 25 Agustus 1934).
Rotary Club terlacak mengadakan pertemuan di Hotel Dieng pada tahun 1938. Sebanyak 150-an orang berkumpul di hotel ini untuk melaksanakan pertemuan antar kota bertepatan dengan Perayaan Pentakosta (Pinksterdag). Pertemuan tersebut didampingi Gubernur Rotary Distrik bernama S. P. van Hultsjin dan perwakilan Sekretaris Rotary Internasional, untuk Asia bernama Richard Sidney (Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 10 Juni 1938).
Selain hotel dan sejumlah gedung
perkantoran dan pendidikan, sejumlah jembatan peninggalan Belanda masih
berfungsi dengan baik di sejumlah titik. Salah satunya adalah Brug Begaloe
(Jembatan Begaluh) di ruas Jalan Raya Parakan-Wonosobo, Kecamatan Kertek.
Jembatan ini diresmikan tanggal 24 Agustus 1931 pukul 8.30 bersama sebuah jalan
baru yang menghubungkan Kertek ke Balekambang. Setelah peresmian selesai
dilanjutkan slametan oleh pejabat pribumi dan masyarakat (De Locomotief, 21 Agustus 1931).
Peristiwa gempa bumi (1924) dan
tahun pembuatan serta peresmian jembatan Begaluh (1931) maka masih di era
kepemimpinan Raden Adipati Ario Sosrohadiprodjo/Sosrodiprojo, Bupati Wonosobo
terakhir sampai era pemerintahan Belanda ketika digantikan Jepang (1942).
Beliau adalah adik Bupati Kebumen Arung Binang VII (Maliki Soerjomihardjo).
Itulah sebabnya saat meninggal, jasadnya dikebumikan di Kebejen, Kutowinangun,
Kebumen (Teguh Hindarto, Siapakah R.A.A.
Sosrohadiprodjo Bupati Wonosobo Yang Dimakamkan di Kebejen, Kebumen? - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/04/siapakah-raa-sosrohadiprodjo-bupati.html)
Demikianlah sekilas mengenai
Kabupaten Wonosobo saat masih menjadi bagian dari Karesidenan Bagelen
(1831-1901) dan Karesidenan Kedu (1901-1945) dengan setiap jejak kisah yang
tersimpan dibalik bangunan peninggalan kolonial baik bangunan pribumi
tradisional maupun Eropa serta infrastruktur yang masih terawat di masa kini.
Perawatan sejumlah
bangunan-bangunan kuno dari berbagai era berguna untuk menyusun narasi sejarah
kota dan perkembangannya dan menghubungkan masa kini dengan masa lalu. Terlebih
lagi berguna bagi kepentingan pariwisata sejarah. Adalah penting menemukan
jejak-jejak perkembangan dan pertumbuhan sosial ekonomi sebuah kota kabupaten
yang berada di kawasan pegunungan. Karena bagaimanapun kota di mana kita
berdiri dibangun di atas fundasi masa lalu. Menghilangkan artefak-artefak masa
lalu sama saja dengan menghilangkan sejarah yang membentuknya.
Nice pak
BalasHapusTerimakasih
Hapus