Bendungan Wadaslintang dibangun tahun 1982 dan selesai 1988. Selain sebagai difungsikan sebagai penampung air juga Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA). Pariwisata dan kawasan memancing tidak ketinggalan tentunya.
Waduk Wadaslintang terletak di
bagian selatan wilayah Kecamatan Wadaslintang Kabupaten Wonosobo berbatasan
dengan Kecamatan Padureso di Kabupaten Kebumen. Waduk ini menggunakan Kali
Medono atau Kali Gede atau Kali Bedegolan sebagai sumber air utamanya.
Bentangan landskap perbukitan
breksi andesit dan kawasan pedesaan di tengah rerimbunan pepohonan lebat serta
hamparan debit air yang membentang seluas 196 Km untuk keperluan irigasi dan
pembangkit listrik menjadi daya tarik bagi para wisatawan mengabadikan
momen-momen keindahan. Hembusan angin dan gumpalan awan melengkapi keindahan
yang menghampar.
Di era kolonial, Wadaslintang
adalah sebuah Onderdistrict
(kecamatan) di bawah District (kawedanan) Ngadisono, Regentschap (Kabupaten) Wonosobo.
Wadaslintang merupakan wilayah paling selatan dari Wonosobo yang berbatasan
dengan Kebumen. Di periode Bupati Wonosobo, Sosrodiprodjo banyak dikerjakan
sejumlah proyek jalan yang menghubungkan wilayah-wilayah selatan menuju tempat
wisata Dieng. Salah satunya pembukaan jalan baru dari Kejajar menuju Dieng pada
bulan November 1936 (De Locomotief, 9
November 1936).
Tercatat pula dalam surat kabar Soerabaiasch Handelsblad (16 November
1937) adanya sebuah pusat budidaya lebah di pertigaan (driesprong) antara
Wonosobo, Wadaslintang, Kaliwiro atas bimbingan ahli lebar Tuan Lorang.
Di tahun 1950, Wadaslintang dan
Kalipuru (Wonosobo) pernah menjadi wilayah pertempuran ketika terjadi peristiwa
clash antara AUI (Angkatan Umat
Islam) dengan tentara APRI (Angkatan Perang Republik Indonesia) yang kelak
menjadi cikal bakal TNI (Tentara Republik Indonesia),
Peristiwa clash nampaknya tidak bisa dipisahkan dari konteks jauh maupun
konteks dekat yang mengerucut menjadi sebuah pertempuran yang mengharu biru
Jawa Tengah. Kebijakan Kabinet Hatta meluncurkan kebijakan Restrukturisasi dan
Rasionalisasi (ReRa) angkatan perang menimbulkan reaksi di kalangan AUI.
Selain di Kebumen merekapun
menjadikan sejumlah wilayah di Wonosobo menjadi basis pertahanan dan gerilya. Dalam sebuah berita berjudul, AUI Zet Strijd Voort Tegen de APRI:
Hoofdkwartier v. "Generaal" in Desa Kalipuro" yang dilaporkan
"Indische Courant Voor Nederland (9 September 1950) bahwa Desa
Kalipuru (sekarang masuk wilayah Kecamatan Kepil, Kabupaten Wonosobo) yang
dahulu merupakan "hoofdkwartier" (markas besar) pasukan Diponegoro,
kemudian dipakai oleh AUI di bawah pimpinan Haji Nur Sidik untuk menjadi markas
dan salah satu basis perlawanan terhadap pasukan APRI. Dilaporkan juga,
"Baru-baru ini terjadi pertempuran sengit di Wadaslintang di desa
Kalidowong". Hanya dalam koran nama Kalipuru ditulis Kalipuro. Nampaknya
surat kabar tersebut keliru mengeja dengan Kalipuro (atau mungkin dahulu
demikian nama aslinya?)
Ketika bencana kelaparan (hongersnood) melanda Wadaslintang pada
tahun 1956, sekitar 100 orang diberangkatkan transmigrasi bersamaan dengan program
transmigrasi yang sedang dikerjakan sejak 20 Desember 1955 dengan
memberangkatkan 1.790 keluarga (Java Bode,
29 Des 1956).
Demikianlah lapisan demi lapisan
kisah di Wadaslintang yang membentang dari periode kolonial dan pasca kolonial
hingga masa kini. Dibalik Bendungan Wadaslintang bukan sekedar keindahan terlihat dan potensi
air yang bermanfaat namun kisah-kisah lama yang dapat menjadi pengingat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar