Rabu, 30 Desember 2015

DAYA TARIK GOMBONG BAGI ETNIS TIONGHOA DI ERA KOLONIAL




Jika kita memperhatikan dengan seksama wilayah Gombong, maka didapati sejumlah bangunan khas etnis Tionghoa klasik yang masih bertahan hingga kini di sejumlah ruas jalan. Sebut saja yang terkenal dan kini dijadikan museum sekaligus kegiatan kebudayaan yaitu Rumah Martha Tilaar (RMT) yang bercorak the Dutch Colonial. Rumah ini didirikan tahun 1920 milik Liem Siaw Lan putra kedua Liem Kiem Seng/Song, seorang Tionghoa yang datang dari Desa Jinli, Kota Haichang, Xianmen, China. Kemudian gedung khas Tionghoa yang berdiri di tepi perhentian lampu merah menuju Sempor. Menurut informasi dahulunya adalah pabrik rokok dengan nama Nusa Harapan. Sayang kondisinya tidak terawat hingga hari ini sekalipun kondisi gedung masih nampak utuh jika dipandang dari luar.

Yang menarik dalam presentasi yang disampaikan Sigit Tri Wibowo selaku Deputi Program Rumah Budaya Martha Tilaar pada pertemuan Pegupon Kopong (Pertemuan Minggu Pon Komunitas Pusaka Gombong) Tanggal 20 Desember 2015 lalu perihal perkembangan lembaga-lembaga pendidikan di Gombong pada zaman kolonial, ternyata ditemukan beberapa sekolah yang didirikan untuk etnis Tionghoa yaitu Holland Chinese School yang didirikan oleh pemerintah Belanda (berlokasi di Jl. Sempor Lama 28) dan Zong Hua Xue Xiao yang didirikan oleh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) (berlokasi di Jl. Sempor Lama 2) selain sekolah-sekolah yang didirikan oleh pemerintah Belanda, badan Misi Kristen, serta masyarakat seperti Neutrale Lagere School, Twede School, Pupilen School, Kartini School, Christelijke Holands Hollands Javanse, Schaalkel School, Europeesche Lagere  School (Kebumen Ekspres, 22 Desember 2015).

Kamis, 24 Desember 2015

APAKAH KIAI SADRACH SEORANG PEMIMPIN KRISTEN ABANGAN?

 
 
Tanggapan Artikel Hendri F. Isnaeni, “Kristen Abangan Ala Sadrach”


Sekalipun diberi judul “Kristen Abangan Ala Sadrach” namun Hendri F. Isnaeni tidak memberikan definisi dan alasan mengapa Sadrcah disebut sebagai “Kristen Abangan”. Namun dari pendahuluan artikelnya saya dapat meraba maksud pernyataan penulis yaitu, “Para pekabar Injil Belanda kelabakan mencari jalan bagaimana agar orang-orang Jawa menjadi Kristen yang sungguh-sungguh. Masyarakat Jawa tak ingin tercerabut dari akar budayanya yang telah dipegang teguh jauh sebelum Kristen datang. Lain halnya dengan para pekabar Injil awam Indo-Eropa yang memperhatikan budaya lokal. Maka muncullah jemaat bumiputera berpenampilan Jawa. Mereka disebut “jemaat Sadrach” karena pemimpinnya adalah penginjil Jawa kharismatik, Sadrach Surapranata”(http://historia.id/agama/kristen-abangan-ala-sadrach). 

Dari pemaparan awal saya berusaha meraba maksud penulisan judul tersebut bahwa ada dikotomi jenis Kekristenan yang pernah berjaya di era kolonial dan berpusat di Karangyoso (Kutoarjo, 40 menit perjalanan dari kota saya tinggal, Kebumen) yaitu “Kekristenan Belanda” dan “Kekristenan Jawa” dan model Kekristenan Jawa yang diusung Sadrach ini dilabelisasi dengan istilah “Abangan”. Benarkah Kiai Sadrach adalah seorang pemimpin Kristen Abangan? Sebelum saya menjawab pertanyaan ini, sebaiknya kita melakukan pelacakkan terlebih dahulu asal usul kata “Abangan” tersebut.

Melacak Makna Istilah “Abangan”

Istilah “Abangan” biasanya menujuk pada sebuah golongan dalam masyarakat Jawa atau lebih luas dari itu yang mempraktekkan keislaman namun tidak secara menyeluruh sebagaimana didefinisikan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sbb: “1.Abang-an Jw n. golongan masyarakat yg menganut agama Islam, tetapi tidak melaksanakan ajaran secara keseluruhan”(http://kbbi.co.id/arti-kata/abangan). Namun istilah “Abangan” menjadi populer sejak Clifford Geertz (lahir 1926) menerbitkan bukunya pada tahun 1960 dengan judul “The Religion of Java” (di Indonesia diterjemahkan “Abangan, Santri, Priyayi dalam Masyarakat Jawa”, terj. Aswab Mahasin,  Bandung: Dunia Pustaka Jaya, 1981). Clifford Geertz dilahirkan di San Francisco, California, Amerika Serikat pada tanggal 23 Agustus 1926. Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan di Indonesia dan Maroko. Dia menulis esai tentang ilmu-ilmu sosial serta merupakan pelopor pendekatan “interpretif” dalam bidang antropologi. 

Clifford Geertz  pernah mengajar di Universitas Chicago, sebagai profesor antropologi dan kajian perbandingan negara-negara baru. Ia juga pernah mengajar sebagai profesor tamu di Universitas Oxford, dan sejak 1975 hingga pensiun pada tahun 2000 (Biography of Clifford Geertz - http://www.researchover.com/biographies/Clifford_Geertz-28238.html).