Senin, 30 Desember 2019

KAJIAN TOPONIMI PANDJER KEBUMEN: Sebuah Tanggapan Terhadap Artikel “Repihan Sejarah Sudut Nusantara berlatar Gerhana Sang Surya (1): Panjer”


Toponim atau dalam bahasa Inggris disebut Toponym, menurut Yacub Rais dkk. (Toponimi Indonesia: Sejarah Budaya Bangsa yang Panjang dari Permukiman Manusia dan Tertib Administrasi, 2008) diartikan secara harfiah sebagai nama tempat di muka bumi (“topos”, kata Yunani yang bermakna “tempat” atau “permukaan” seperti “topografi” adalah gambaran tentang permukaan atau tempat-tempat di bumi, dan “nym” dari “onyma” yang artinya “nama”). Dalam bahasa Indonesia, sering digunakan istilah “nama unsur geografi” atau “nama geografis” atau “nama rupa bumi”.

Kamonkarn dkk. membagi toponimi menjadi dua kategori besar, yaitu nama huni dan nama fitur. Nama huni merupakan nama yang menunjukkan suatu wilayah yang ditempati atau dihuni. Nama fitur merupakan nama yang mengacu pada alam atau karakteristik fisik suatu bentang lahan. Nama fitur diklasifikasikan menjadi hidronim (fitur air), oronim (fitur relief), dan tempat-tempat pertumbuhan vegetasi alami (Ilham Mashadi, Kajian Keterkaitan Toponim Terhadap Fenomena Geografis: Studi Kasus Toponim Desa Di Sebagian Kabupaten Batang, Jurnal Bumi Indonesia, 2014:3).

Minggu, 15 Desember 2019

PERKARA “MATA GELAP” DI CILACAP TAHUN 1932: MEMPELAJARI SITUASI SOSIAL DAN MUNCULNYA ISTILAH-ISTILAH HASIL PERTEMUAN BAHASA BELANDA DAN MELAYU (INDONESIA)


Setiap kota punya cerita di masa lalu. Bukan sekedar peristiwa-peristiwa heroik yang kemudian dicatat menjadi kisah bersejarah yang diingat dan dibanggakan sebagai sebuah monumen peringatan dalam pemikiran maupun secara fisik berupa bangunan penanda.

Selasa, 10 Desember 2019

PERAN AROENBINANG DALAM KETERPILIHAN MANGKU NEGORO VII SEBAGAI KETUA PENYANTUN PANGREH AGENG


Ketika kita mendengar nama Aroengbinang, mungkin ingatan kita hanya terbatas pada nama seorang bupati Kebumen di era kolonial. Atau mungkin ingatan kita dibawa pada kisah konflik antara Aroengbinang (yang menjadi pejabat mewakili pemerintahan kolonial) dengan Kolopaking di era Perang Jawa (1825-1830) yang memunculkan kisah “Kupu Tarung” (P. Tirto Wenang Kolopaking, Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas, Ki Ageng Mangir - Kolopaking – Arungbinang, Jakarta: Yayasan Trah Kolopaking, 2006)