Berjalan-jalan mengelilingi kota Purworejo yang pernah menjadi ibu kota Karesidenan Bagelen pasca berakhirnya Perang Jawa (1830), maka banyak jejak-jejak pemerintahan lama baik Belanda maupun pribumi Jawa. Peninggalan tersebut berbentuk bangunan pemerintah, sekolah, garnisun militer, rumah sakit militer, pemakaman (kerkhof), masjid, pendopo kabupaten dll.
Yang menarik
adalah barisan pohon-pohon asem yang masih menghiasai jalanan kota. Selain
memberi kesan kesejukan juga keindahan. Seorang pengelanan Eropa bernama E.
Becking memberikan deskripsinya mengenai pohon-pohon asem yang menghiasi kota
Purworejo dalam bukunya, Eene Bescrijving van Poerworedjo en Omstreken demikian,
“memiliki jalan yang lebar, dipayungi oleh pohon asam dan kenari yang tua”
(Lengkong Sanggar Ginaris, Menyelami
Purworejo, Kota Kecil Calon Ibukota Darurat Hindia Belanda yang Terlupakan
- https://jejakkolonial.blogspot.com/2016/05/menyelami-purworejo-kota-kecil-calon.html).
Nampaknya keberadaan pohon asam
di sepanjang jalan Purworejo bukan hanya menyisakan kesan keindahan namun kisah
tragis berupa sejumlah kecelakaan di sekitar pohon asam. Sebuah mobil yang
dikendarai seorang Tionghoa bernama Yap Ing Liong menabrak pohon asam
menyebabkan dua orang wanita di dalam mobil terluka parah (Het Nieuws, 23 Desember 1913). Selain berita kecelakaan di seputar
pohon asam juga berita ambruknya sebuah pohon asam saat terjadi hujan lebat.
Peristiwanya terjadi di Veepasser straat
yang berjarak 50 meter dari rumah pos polisi. Pohon tumbang itu merusakkan dua
mobil dari Wonosobo dan satu buah rumah. Namun tidak ada korban jiwa (De Locomotief, 27 November 1939).
Jika kita
berjalan menyusuri Jl. Sutoyo ke utara menuju alun-alun kabupaten maka di kiri
dan kanan jalan, selain barisan pohon asam, kita akan melihat sejumlah kantor
pemerintah dengan langgam kolonial yang khas al., Kantor Badan Kepegawaian
Daerah (eks Waterstraat Kantoor), Eks
Museum Tosan Aji (eks Landraadgebouw),
Dinas Pengairan (eks Irrigatie Kantoor).
Gereja Santa Perawan Maria (Katolik) di Jalan Wahid Hasyim dan Gereja Indische Kerk (Protestan) yang sekarang menjadi Gereja Protestan
Indonesia Bagian Barat di Jl. Urip Sumohardjo merupakan jejak-jejak bangunan
peribadatan kekristenan era kolonial yang masih bertahan. Termasuk Batalyon
Infantri (Yonif) 412/Raider dahulunya adalah Garnisun Kedung Kebo yang dibangun
untuk mengatasi pasukan Diponegoro saat Perang Jawa. Sebelah barat kompleks
militer terletak SMAN 7 Purworejo yang dahulunya eks Hoogere Kweekschool Purworejo.
Adapun sejumlah
bangunan yang mewakili pemerintahan Pribumi Jawa selain pendopo kabupaten
Purworejo yang menjadi bupati semasa kolonial termasuk masjid yang didirikan
oleh Bupati Cokronegoro dengan atas tajug tumpang tiga dengan hiasan mustaka di
puncaknya
Baik Purworejo,
Kutoarjo, Ambal, Kebumen, Karanganyar bersama Wonosobo (Ledok) adalah kota-kota
kabupaten yang dibentuk pasca kekalahan Perang Jawa dan dijadikan kota
kabupaten di bawah Karesidenan Bagelen (1831) dan kemudian menjadi Karesidenan
Kedu (1901). Kota kabupaten ini menjadi kota yang baru menggantikan kota
kabupaten lama yang menjadi wilayah Mancanegara Kasunanan dan Kasultanan.
Dalam artikel berjudul, De Toestand van Bagelen in 1830, dijelaskan bahwa melalui sebuah akta bertanggal 22 Juni 1830, Karesidenan Madiun, Kediri, Bagelen dan Banyumas telah diserahkan kepada Pemerintah Belanda oleh para pangeran Surakarta dan Yogyakarta. Perjanjian ini dibuat oleh kommissarissen ter regeling der Vorstenlanden (komisaris untuk regulasi negara-negara kerajaan) yaitu al., J.J. Van Sevenhoen, H.G. Nahuijs, P. Merkus. Ketika perjanjian telah dibuat Residen Kedu yaitu Valk dikirim oleh komisioner yang sama ke Bagelen, bagian dari negara-negara yang dilepaskan, untuk mengatur administrasi dan manajemen pendapatan untuk saat ini, dan juga untuk membuat proposal untuk organisasi lebih lanjut di provinsi ini, setelah memeriksa situasinya sebelumnya (DR. W.R. Van Hoevel, Tijdschrift voor Nederlandsch-Indie, 1858:65).
Mengenai
keberadaan Regentschap (kabupaten)
Poerworedjo, sejarawan Inggris Peter Carey
menjelaskan bahwa pada 18 Desember 1830 wilayah Bagelen pada akhirnya
dibagi ke dalam empat kabupaten yaitu Brengkelan, Semawung Ungaran dan Karang
Dhuhur. Pada saat besluit (surat
keputusan) ditetapkan, Kiai Adipati (Tumenggung) Cokrojoyo, adalah bupati
Brengkelan (diangkat 9 Juni 1830) yang kemudiaan nanti bergelar Cokronegoro.
Dua bulan setelah
besluit Van den Bosch (18 Desember
1830) datanglah seorang pejabat tinggi Belanda bernama Pieter Herbert Baron van
Lawick van Pabst, ke Bagelen. Van Pabst ditugaskan sebagai komisaris untuk
urusan tanah kerajaan (Commissaris ter
Regeling der Vorstenlanden) dan diberi wewenang untuk mengurusi semua hal
berkaitan administrasi bekas mancanagara kilen yang sekarang menjadi dua
Keresidenan—Bagelen dan Banyumas—di bawah Pemerintah Belanda.
Bupati
Cokronegoro mengundang rekan sesama bupati dari Semawung (kelak menjadi
Kutoarjo) yaitu Raden Tumenggung Sawunggaling
saat Van Pabst tiba di kota administratif Bagelen yang waktu waktu itu
masih bernama Brengkelan sebelum menjadi Purworejo, pada pengujung Februari
1831. Ia diminta mengganti nama setiap kabupaten dengan nama baru yang lebih
patut untuk julukan kota administratif (hoofdplaats).
Maka dipilihlah nama Purworejo (“awal dari kemakmuran”) untuk Brengkelan, dan
Kutoarjo (“kota yang makmur”) untuk Semawung. Pada saat yang sama, Ungaran di
barat Kali Lereng diusulkan untuk diubah namanya menjadi Kebumen, dan Karang
Duhur menjadi Sedayu (Sisi Lain Pangeran
Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017:199-200)
Setelah
mengubah namanya menjadi Purworejo, Tjokronegoro banyak melakukan pembangunan
dan pembenahan yang mana manfaatnya masih bisa dirasakan sampai saat ini,
antara lain yaitu pembangunan Alun-Alun, Pendopo dan Rumah Tinggal Bupati,
Masjid Agung, Bedug Pendowo, Jalan Raya Purworejo-Magelang, Saluran Kedung
Putri dll.
Jika merunut
pada catatan Wikipedia (https://id.wikipedia.org/wiki/Daftar_Bupati_Purworejo)
maka daftar Bupati Purworejo era kolonial sbb: KRA. Tjokronagoro I (1831-1856),
KRA. Tjokronagoro II (1856-1896), KRA. Tjokronagoro III (1896-1907), KRA.
Tjokronagoro IV (1907-1919), KRT. Sastro Soedardjo (1919-1921), KRA. Soeryadi
(1921-1927), KRA. Hasan Danoediningrat (1927-1945).
Namun jika
merunutkan data dari dokumen Regeerings
Almanak voor Nederlandsch Indie berikut urutan bupati dengan penyebutan
gelar Tjokronegoro (Cokronegoro) tanpa nama asli pemilik gelar, berdasarkan
tahun menjabat yaitu sbb: Raden Tumenggung Tjokronegoro (Cokronegoro) (1831),
Raden Tumenggung Tjokro Negoro (menjabat Tanggal 20 Agustus 1856), Raden Mas
Tumenggung Ario Tjokro Negoro (menjabat, 21 Juli 1876), Raden Mas Tumenggung
Tjokrodjojo (menjabat, 21 Juli 1906), Raden Mas Tumenggung Tjokro Negoro (menjabat,
27 April 1917), Raden Tumenggung Satrosoedirdjo (menjabat, 29 November 1921),
Raden Tumenggung Ario Hasan Danuningrat (menjabat, 24 Oktober 1928)
Kabupaten
Purworejo semasa kolonial memiliki 4 distrik yaitu: Purworejo, Cangkreb, Loano,
Djenar (Regeerings Almanak voor
Nederlandsch Indie 1865). Namun saat Kabupaten Kutoarjo dihapuskan tahun
1933 dan digabungkan ke Purworejo tahun 1934 maka Kabupaten Purworejo memiliki
5 distrik yaitu: Purworejo, Loano, Kutoarjo, Kemiri, Purwodadi (Regeerings Almanak voor Nederlandsch Indie
1938)
Tentu masih
banyak kisah dibalik setiap bangunan yang berdiri megah ataupun lusuh di makan
zaman yang berdiri di landskap tanah Bagelen yang pernah menjadi penghasil kopi
di era Tanam Paksa (Cultuurstelsel)
dan pernah menjadi Mancanegara Kulon Kasultanan dan Kasunanan sebelum Perang
Jawa berakhir.
Kiranya
rimbunnya pohon asam dan kenari yang meneduhi jalanan serta bangunan tua di
Purworejo tetap meneduhi setiap hati para pengunjungnya untuk menikmati
keindahan, kesejukkan serta kisah-kisah lama yang membentuk wajah kota di masa
kini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar