Kamis, 25 November 2021

MENCARI LEMAH ASIN DI SOKA DAN KELANJUTAN KISAH GUA KIDANG DALAM CATATAN KOLONIAL

Ada sebuah buku yang menarik dalam bahasa Belanda dengan judul, De Javaansche Geestenwereld (Dunia Roh Orang Jawa) karya Van Hien yang diterbitkan pada tahun 1910. Jika melihat isi babnya berupaya memotret realita sistem kepercayaan yang berkembang di masyarakat Jawa baik Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, sebagaimana keterangan dalam sampulnya tertulis dalam bahasa Melayu sbb, “Soerat petangannja orang Djawa dan orang Soenda, menjataken segala roepa itoengan, boewat mentjari keslametan”

Ada pembahasan mengenai keberadaan dan sistem kepercayaan yang disebut Tiang Pasek yaitu mereka yang memelihara agama lama sebelum Islam dan tetap mempertahankan kepercayaan leluhur tersebut menjadi warisan kolektif. Keberadaan mereka tersebar di Karesidenan Kediri dan Karesidenan Banten (1910:2), setidaknya sampai buku tersebut ditulis. Isi kepercayaannya selain meyakini tentang keberadaan Yang Gaib juga sistem perhitungan hari baik dan hari buruk serta sejumlah kepercayaan kuno lainnya

Buku setebal 166 halaman ini bukan hanya mengulas keberadaan dan kepercayaan Tiang Pasek namun juga mengulas sejumlah kepercayaan masyarakat terhadap sifat sakral yang terdapat pada gunung, gua, tanah, manusia sebagaimana diulas dalam salah satu judul yaitu De Vereering van Zinnelijk Waarneembare Voorwerpen, Die Niemands Bezit Uitmaken (Pemujaan Terhadap Benda Fisik Yang Bukan Milik Siapapun). Dalam bagian ini diulas perihal 30 obyek di Jawa tengah baik berupa hewan, gunung, gua, kuburan, jalan, hutan, manusia (dukun) serta 15 obyek di Jawa Barat yang dipercaya mengandung tuah dan keramat oleh masyarakat setempat

Menariknya di bagian ini ada dua nama lokasi di Kebumen yang disebutkan karena memilihi tuah dan keramat yaitu “Lemah Asin” di District Sokka dan Gua Kidang, Gua Banteng, Karang Bolong. Pada masa itu lokasi-lokasi yang disebutkan di atas masih menjadi district (kawedanan) dari Regentschap (kabupaten) Karanganyar tentunya. Apa yang bisa diperoleh dari lokasi-lokasi yang disebutkan tersebut? Berikut keterangannya:

“Lemah asin, di distrik Soka Afdeeling Keboemen, ditemukan sepetak tanah asin (een plektje zouten grond) yang disebut lemah asin, yang tanahnya memberikan obat yang bermanfaat bagi kerbau yang sakit, yang menjilat tanah ini dengan sendirinya. Di sekitar tanah ini selalu diberikan persembahan, dan seseorang berdiri dengan hormat, seolah-olah dihuni oleh roh yang baik” (1910:9)

“Goewa-Kidang, Goewa-Banteng, Karang-Bolong. Terletak di distrik Karang-Bolong Afdeeling Karang Anjar dari Karesidenan Bagelen, gua-gua ini dipuja sebagai tempat tinggal roh-roh yang kuat (de woonplaatsen van machtige geesten). Di pintu masuk gua ini orang selalu menemukan beberapa persembahan (offeranden). Di Gua Karang-Bolong, kita bisa melihat lukisan (beeld) Njai Loro Kidoel di sebuah bangunan yang sudah berdiri sebelumnya, sebagai pelindung dan penguasa gua-gua tersebut. Di gedung tersebut ada tempat tidur megah (praalbed) untuknya, tempat tidur itu, seolah-olah, dikelilingi oleh persembahan (offeranden) (1910:10)

Soka, yang lebih dikenal selama ini sebagai pusat pembuatan bata dan genting Aboengamar (Teguh Hindarto, Genting Aboengamar di Soka dan Tichelwerken di Keboeloesan – http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/07/genting-aboengamar-di-sokka-dan.html) ternyata menyimpan kisah lain yang bersifat gaib yang disebut “lemah asin” di era kolonial. Sayangnya tidak disebutkan di mana lokasi persisnya. Penulis sendiri belum menemukan lokasi yang dimaksudkan di masa kini.

Mengenai Gua Kidang, cukup menarik. Keterangan buku Van Hien menjadi jembatan yang menghubungkan masa kini dan masa lalu karena penulis pernah membuat sebuah ulasan pendek mengenai Gua Kidang dijelaskan:

“Ketika penulis menanyai seorang ibu yang kebetulan lewat dan membersihkan sawah keringnya, gua tersebut telah lama dikunjungi dan dipergunakan untuk berbagai kepentingan. Ibu ini kelahiran tahun 1958 dan memberikan kesaksian bahwa sejak kecil gua ini sudah dipakai untuk tempat bertapa dan menyepi demi kepentingan tertentu. Sesaji yang disediakan di mulut gua nampaknya berakar dari tradisi lama yang telah lebih dahulu ada dimana lokasi tersebut dijadikan menjadi tempat menyepi dan melakukan sejumlah aktivitas spiritual” (Teguh Hindarto, Apa Yang Menanti Di Kegelapan Gua Kidang? http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/06/apa-yang-menanti-di-kegelapan-gua-kidang.html)

Masa lalu menyimpan kisah-kisahnya tersendiri. Mencari dan menemukan serta membaginya ke masa kini menolong kita melihat hubungan dan jejaring kehidupan masa kini dan masa lalu. Apakah ada yang terputus atau terhilang ataukah ada yang terus terhubung dan berkesinambungan. Setidaknya inilah kontribusi kecil yang bisa diberikan oleh riset kesejarahan sebuah kota.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar