Tahun 2016 lalu tepatnya tanggal 6 Januari 2016 masyarakat Indonesia digemparkan oleh sebuah peristiwa pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. Perempuan berusia 27 tahun itu tewas setelah menyeruput segelas es kopi Vietnam di Kafe Oliver, Grand Indonesia, Jakarta. Polisi kemudian menetapkan teman Mirna, Jessica Wongso, sebagai tersangka. Akhirnya majelis hakim memvonis Jessica 20 tahun penjara.
Sebuah peristiwa yang hampir
mirip pernah terjadi di Kebumen September 1929. Peristiwa tersebut adalah
tindakkan meracuni seorang tuan rumah Belanda oleh seorang perempuan pembantu
rumah tangga Hindia (pribumi). Berbagai media surat kabar memberitakan
peristiwa menghebohkan tersebut. Beberapa antaranya adalah De Indische Courant (9 September 1929) dan De Sumatra Post (16 September 1929).
Jika De Indische Courant menyamarkan nama korban yang diracuni dengan
“Heer M.” (Tuan M) namun De Sumatra Post
menyebutkan dengan jelas nama korban yaitu “Heer H.J. Mesland” beserta
kewargaannya yaitu Belanda dan berusia 36 tahun. Bahkan pekerjaan Tuan Mesland
dengan gamblang disebutkan sebagai ertegenwoordiger
van de Banjoemasche Electriciteit Maatschappij en eigenaar van de plaatselijke
bioscoop te Keboemen (perwakilan/agen dari Banjoemasche Electriciteit
Maatschappij dan pemilik bioskop lokal di Keboemen).
Jika membaca peristiwanya dalam
koran tersebut layaknya sebuah drama, sebagaimana koran De Sumatra Post menyebutnya, een
drama had afgespeeld bij het plotseling overlijden van den Heer H.J. Mesland (sebuah
drama telah terjadi di Keboemen dalam kematian mendadak Mr. H. J. Mesland).
Intisari kisahnya adalah sbb:
Tuan Mesland pernah memecat pembantu rumah tangga ini karena kedapatan pernah
meracuni dirinya. Tuan Mesland menukar secara diam-diam kopi beracun tersebut
sehingga sang pembantulah yang meminum kopi buatannya sendiri yang mengakibatkan
dirinya muntah-muntah.
Tidak lama kemudian sang pembantu
yang sudah dipecat ini menyurati secara teratur tmantan tuannya dan pada salah
satu suratnya membujuk tuannya untuk meneriman kembali bekerja. Surat terakhirnya
bertanggal 28 Agustus dan memohon untuk diizinkan tinggal bersamanya kembali
selama tiga hari (sebelum melakukan) perjalanan ke Menado. Tujuan dari
kunjungan ini adalah "untuk mengucapkan selamat tinggal selamanya".
Tuan Mesland pun mengabulkannya.
Dua hari setelah kedatangan
pembantu tersebut, Tuan Mesland baru saja tiba dari Karanganyar dengan letih.
Pada pukul 19.15 Tuan Mesland bermaksud pergi ke bioskopnya untuk mengatur
beberapa hal. Sebelumnya dia meminum segelas kopi.
Tiba-tiba dia mengalami pingsan
namun dokter dipanggil pada pukul 21.00 saat Tuan Mesland telah kritis. Dokter
memanggil polisi dan polisi tidak menemukan gelas berisikan kopi melainkan sebotol
bir di meja Tuan Mesland.
Saat di selidiki di kantor polisi, pembantu rumah tangga ini menyangkal keterlibatannya. Namun polisi menemukan zwart poeder (serbuk hitam) yang ternyata biasa dipergunakan oleh sang pembantu untuk membuat alis mata. Dari pengakuannya, serbuk ini didapatkan dari seorang perempuan Ambon yang tinggal di Surabaya dengan nama Honolulu. Polisi Kebumen menelepon pihak kepolisian Surabaya dan anggota recherche (reserse) di sana telah mengonfirmasi nama seorang wanita Ambon bernama Honolulu tersebut.
Jika kedua koran di atas
melaporkan perihal kematian Mesland beberapa saat setelah meminum kopi namun
saat polisi datang tidak mendapati gelas kopi melainkan botol bir dan polisi menemukan zwart poeder (serbuk hitam)
yang ternyata biasa dipergunakan oleh sang pembantu untuk membuat alis mata.
Lain lagi berita yang dibuat Tilburgsche
Courant (9 September 1929). Tidak disebutkan soal minum kopi tapi minum bir
dan dikomentari, Arsenicumvergiftiging
wordt vermoed. Een onderzoek is ingesteld (Keracunan arsenik diduga
terjadi. Investigasi telah dimulai). Apakah perbedaan penyajian berita ini
terkait framing media yang sudah ada di tahun 1920-an atau sekedar kekeliruan
informasi? Entahlah.
Anehnya, koran yang sama yaitu Tilburgsche Courant pada tanggal
dan bulan yang berbeda (7 Oktober 1929) memberikan
judul yang lebih tegas yaitu Vergiftigde
Koffie (Kopi Beracun) namun tidak menyinggung sama sekali mengenai bir
berisi arsenic. Hanya ditutup dengan kalimat yang sama dengan pemberitaan koran
lainnya yaitu, “Ketika dia tiba, tidak ada secangkir kopi kosong, tetapi gelas
bir berdiri di atas meja di depan tempat Tuan M. duduk. Juga tidak ada jejak
kopi yang tersisa”.
Tidak jelas bagaimana akhir kasus
ini. Tidak ada pemberitaan media yang terlacak mengenai bagaimana nasib sang
pembantu, apakah dibebaskan atau dipenjara. Ketika tulisan ini dibuat dengan
judul, Bioskop Kebumen dan Periistiwa Kopi Beracun Tahun 1929 (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/08/bioskop-kebumen-dan-peristiwa-kopi.html)
pada 2019 lalu dan dibagikan melalui thread status Facebook penulis, ada
beberapa yang berkomentar bahwa serbuk hitam untuk alis mata yang ditemukan
dalam kopi (menurut salah satu pemberitaan media surat kabar) bisa jadi adalah media
dan metode pembunuhan yang biasa dipakai oleh para spionase. Benarkah?
Kita biarkan kasus ini menyisakan
banyak pertanyaan di masa kini. Siapa tahu kita menemukan jawaban saat meneguk
secangkir kopi panas di meja kita hari ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar