Selasa, 09 November 2021

KEBUMEN DAN KOPI BERACUN 1929

Tahun 2016 lalu tepatnya tanggal 6 Januari 2016 masyarakat Indonesia digemparkan oleh sebuah peristiwa pembunuhan terhadap Wayan Mirna Salihin. Perempuan berusia 27 tahun itu tewas setelah menyeruput segelas es kopi Vietnam di Kafe Oliver, Grand Indonesia, Jakarta. Polisi kemudian menetapkan teman Mirna, Jessica Wongso, sebagai tersangka. Akhirnya majelis hakim memvonis Jessica 20 tahun penjara.

Sebuah peristiwa yang hampir mirip pernah terjadi di Kebumen September 1929. Peristiwa tersebut adalah tindakkan meracuni seorang tuan rumah Belanda oleh seorang perempuan pembantu rumah tangga Hindia (pribumi). Berbagai media surat kabar memberitakan peristiwa menghebohkan tersebut. Beberapa antaranya adalah De Indische Courant (9 September 1929) dan De Sumatra Post (16 September 1929).

Jika De Indische Courant menyamarkan nama korban yang diracuni dengan “Heer M.” (Tuan M) namun De Sumatra Post menyebutkan dengan jelas nama korban yaitu “Heer H.J. Mesland” beserta kewargaannya yaitu Belanda dan berusia 36 tahun. Bahkan pekerjaan Tuan Mesland dengan gamblang disebutkan sebagai ertegenwoordiger van de Banjoemasche Electriciteit Maatschappij en eigenaar van de plaatselijke bioscoop te Keboemen (perwakilan/agen dari Banjoemasche Electriciteit Maatschappij dan pemilik bioskop lokal di Keboemen).

Jika membaca peristiwanya dalam koran tersebut layaknya sebuah drama, sebagaimana koran De Sumatra Post menyebutnya, een drama had afgespeeld bij het plotseling overlijden van den Heer H.J. Mesland (sebuah drama telah terjadi di Keboemen dalam kematian mendadak Mr. H. J. Mesland).

Intisari kisahnya adalah sbb: Tuan Mesland pernah memecat pembantu rumah tangga ini karena kedapatan pernah meracuni dirinya. Tuan Mesland menukar secara diam-diam kopi beracun tersebut sehingga sang pembantulah yang meminum kopi buatannya sendiri yang mengakibatkan dirinya muntah-muntah.

Tidak lama kemudian sang pembantu yang sudah dipecat ini menyurati secara teratur tmantan tuannya dan pada salah satu suratnya membujuk tuannya untuk meneriman kembali bekerja. Surat terakhirnya bertanggal 28 Agustus dan memohon untuk diizinkan tinggal bersamanya kembali selama tiga hari (sebelum melakukan) perjalanan ke Menado. Tujuan dari kunjungan ini adalah "untuk mengucapkan selamat tinggal selamanya". Tuan Mesland pun mengabulkannya.

Dua hari setelah kedatangan pembantu tersebut, Tuan Mesland baru saja tiba dari Karanganyar dengan letih. Pada pukul 19.15 Tuan Mesland bermaksud pergi ke bioskopnya untuk mengatur beberapa hal. Sebelumnya dia meminum segelas kopi.

Tiba-tiba dia mengalami pingsan namun dokter dipanggil pada pukul 21.00 saat Tuan Mesland telah kritis. Dokter memanggil polisi dan polisi tidak menemukan gelas berisikan kopi melainkan sebotol bir di meja Tuan Mesland.

Saat di selidiki di kantor polisi, pembantu rumah tangga ini menyangkal keterlibatannya. Namun polisi menemukan zwart poeder (serbuk hitam) yang ternyata biasa dipergunakan oleh sang pembantu untuk membuat alis mata. Dari pengakuannya, serbuk ini didapatkan dari seorang perempuan Ambon yang tinggal di Surabaya dengan nama Honolulu. Polisi Kebumen menelepon pihak kepolisian Surabaya dan anggota recherche (reserse) di sana telah mengonfirmasi nama seorang wanita Ambon bernama Honolulu tersebut. 

Jika kedua koran di atas melaporkan perihal kematian Mesland beberapa saat setelah meminum kopi namun saat polisi datang tidak mendapati gelas kopi melainkan botol bir dan polisi menemukan zwart poeder (serbuk hitam) yang ternyata biasa dipergunakan oleh sang pembantu untuk membuat alis mata. Lain lagi berita yang dibuat Tilburgsche Courant (9 September 1929). Tidak disebutkan soal minum kopi tapi minum bir dan dikomentari, Arsenicumvergiftiging wordt vermoed. Een onderzoek is ingesteld (Keracunan arsenik diduga terjadi. Investigasi telah dimulai). Apakah perbedaan penyajian berita ini terkait framing media yang sudah ada di tahun 1920-an atau sekedar kekeliruan informasi? Entahlah.

Anehnya, koran yang sama yaitu Tilburgsche Courant pada tanggal dan  bulan yang berbeda (7 Oktober 1929) memberikan judul yang lebih tegas yaitu Vergiftigde Koffie (Kopi Beracun) namun tidak menyinggung sama sekali mengenai bir berisi arsenic. Hanya ditutup dengan kalimat yang sama dengan pemberitaan koran lainnya yaitu, “Ketika dia tiba, tidak ada secangkir kopi kosong, tetapi gelas bir berdiri di atas meja di depan tempat Tuan M. duduk. Juga tidak ada jejak kopi yang tersisa”.

Tidak jelas bagaimana akhir kasus ini. Tidak ada pemberitaan media yang terlacak mengenai bagaimana nasib sang pembantu, apakah dibebaskan atau dipenjara. Ketika tulisan ini dibuat dengan judul, Bioskop Kebumen dan Periistiwa Kopi Beracun Tahun 1929 (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/08/bioskop-kebumen-dan-peristiwa-kopi.html) pada 2019 lalu dan dibagikan melalui thread status Facebook penulis, ada beberapa yang berkomentar bahwa serbuk hitam untuk alis mata yang ditemukan dalam kopi (menurut salah satu pemberitaan media surat kabar) bisa jadi adalah media dan metode pembunuhan yang biasa dipakai oleh para spionase. Benarkah?

Kita biarkan kasus ini menyisakan banyak pertanyaan di masa kini. Siapa tahu kita menemukan jawaban saat meneguk secangkir kopi panas di meja kita hari ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar