Berjalan-jalan dan melihat-lihat kota Kutoarjo, menjadi teringat dengan kota Karanganyar. Keduanya memiliki nasib yang serupa. Dihapuskan statusnya sebagai kabupaten di era kolonial karena krisis ekonomi dunia yang mengharuskan penghapusan sejumlah regentschap (kabupaten) dan digabungkan dengan regentschap (kabupaten lain). Kutoarjo dihapuskan status kabupatennya tahun 1933 da digabungkan dengan Kabupaten Purworejo tahun 1934 (Teguh Hindarto, Resesi Ekonomi Dunia Yang Menghantarkan Penghapusan Kabupaten di Jawa - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/resesi-ekonomi-dunia-yang-menghantarkan.html) sementara Karanganyar dihapuskan tahun 1935 dan digabungkan dengan Kabupaten Kebumen tahun 1936 (Teguh Hindarto, Nasib Kabupaten Karanganyar di Penghujung Desember 1935 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/12/nasib-kabupaten-karanganyar-di.html).
Sejumlah jejak-jejak tersisa dibalik bangunan kuno di Kutoarjo yang telah beralih fungsi di era pasca kolonial. Kantor kecamatan Kutoarjo, dahulunya adalah rumah kawedanan. Puskesmas Mardi Oesodo dahulunya adalah klinik kesehatan di era Bupati Poerbo Adikosoemo (putra Bupati Poerbo Atmodjo), Gedung Pertemuan Mako Brimob dahulunya Gedung Asisten Residen, sejumlah pintu air dan kanal peninggalan Bupati Poerbo Atmodjo seperti Sluis Sudagaran yang mengalir di saluran Kanal memanjang dari utara ke selatan kota, dll.
Termasuk tempat indah dan megah
di utara alun-alun yaitu pendopo dan
Rumah Dinas Dinas Wakil Bupati Kutoarjo yang dahulunya adalah pendopo dan rumah
Bupati Kutoarjo pasca berakhirnya Perang Jawa hingga dihapuskannya status
kabuaten pada tahun 1933. Beberapa tahun sebelumnya, penulis kerap meluangkan
waktu mengunjungi perpustakaan yang dahulu difungsikan di samping bangunan
pendopo ini namun saat ini sudah ditutup dan disiapkan bangunan baru yang lebih
megah.
Dalam artikel Lengkong Sanggar
Ginaris yang berjudul, Remah-Reman Jejak
Sejarah di Kutoarjo menjelaskan “Bangunan ini dibangun pada masa bupati
Kutoarjo R.A. Soerokoesomo (1845-1860) dan disempurnakan bentuknya pada masa
bupati R.A.A. Pringgoatmodjo (1860-1870)” - https://jejakkolonial.blogspot.com/2017/04/remah-remah-jejak-sejarah-di-kutoarjo.html)
Pasca Perang Jawa berakhir,
sejumlah administrasi lama mengalami perubahan nama seperti Brengkelan menjadi
Purworejo, Semawung menjadi Kutoarjo, Panjer menjadi Kebumen, Remo Jatinegara
menjadi Karanganyar. Pemilihan nama Purworejo (awal dari kemakmuran) dan
Kutoarjo (kota yang makmur) ada andil petinggi Belanda bernama Pieter Herbert
Baron van Lawick van Pabst yang diundang Bupati Purworejo Cokro Negoro dan
Bupati Kutoarjo Sawunggaling (Peter Carey, Sisi
Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa,
2017:199-200
Bupati Kutoarjo pertama pasca Perang Jawa berakhir adalah Sawong Galing. Menurut beberapa sejarawan lokal di Kutoarjo Bupati bergelar Sawunggaling ini ada dua orang yaitu Bupati Semawung (sebelum diubah menjadi Kutoarjo) dan Bupati Kutoarjo (setelah nama Semawung diganti) dan dipindah ke Senepo sehingga bisa pula disebut Sawung Galing I dan Sawunggaling II. Sementara dari dokumen berupa arsip kolonial yaitu Almanak en Naam Register van Nederlandsch Indie hanya ada nama Sawong Galing dari tahun 1831-1851. Namun tercatat satu kali dalam Almanak tahun 1832 nama Bupati Kutoarjo disebut Noto Negoro. Selanjutnya Almanak selanjutnya hanya menyebutkan nama Sawong Galing sampai tahun 1851. Dalam sebuah berita pendek di sebuah surat kabar Nederlandsche Staatcourant (20 November 1851), tercatat kewafatan Sawong Galing pada tahun 3 November 1851.
Nama Soerokoesoemo sebagai Bupati
Kutoarjo agak sulit dilakukan pelacakan dalam naskah dan dokumen kolonial. Dalam
buku berjudul, Perjalanan Panjang Anak
Bumi disebutkan nama Soerokoesoemo sebagai salah satu pejuang yang berada
di pihak Pangeran Diponegoro dan pasca perang berakhir – menurut keterangan
catatan kaki penulis buku ini – bahwa Soerokoesoemo menjadi Bupati Kutoarjo
sampai tahun 1860 (Ramadhan K.H., 2007:20). Sulit, bukan berarti tidak
ditemukan. Setidaknya nama Raden Tumenggung Ario Soero Koesoemo ditemukan dalam
Almanak en Naam Register van Nederlandsch
Indie dari tahun 1858-1859.
Menariknya, pasca kewafatan
Sawong Galing, nampaknya kedudukan Bupati Kutoarjo sempat vakum dan tidak diisi
oleh pengganti karena dalam Almanak en
Naam Register van Nederlandsch Indie dari tahun 1852-1857 tidak ditemukan
nama Bupati Kutoarjo.
Setelah bupati di atas,
dilanjutkan beberapa bupati memimpin al., Raden Toemenggong Pringgoatmodjo
(dilantik 21 Juni 1860) kemudian digantikan Raden Adipati Poerbo Atmodjo
(dilantik 19 Oktober 1870) kemudian digantikan Raden Adipati Ario Poerboadikoesoemo
(dilantik 6 Desember 1915)
Ketika Kutoarjo dihapuskan
statusnya sebagai kabupaten maka statusnya menjadi distrik (kawedanan) bersama
Loano, Kemiri, Purwodadi. Saat Kutoarjo berstatus kawedanan dipimpin oleh Raden
Soedardjo (dilantik 29 Desember 1933). Saat itu Bupati Purworejo dipimpin Raden
Adipati Ario Hasan Danoeningrat, 24 Oktober 1928)
Kembali ke gedung indah dan megah
– yang menurut penuturan Lengkong - peninggalan Bupati Soerokoesoemo yang
disempurnakan R.A.A. Pringgoatmodjo. Berbeda dari bangunan pendopo yang
bercorak Jawa, bagian dalem terlihat begitu kental unsur Eropanya
dengan pilar-pilar Yunani di beranda depannya. Sebuah pertemuan budaya
Eropa dan Jawa yang tidak perlu ditutup-tutupi dan saling bernegasi melainkan
saling mengisi.
Menyisakan sebuah pertanyaan,
apakah perkawinan kebudayaan arsitektur
Jawa dan Belanda ini adalah inisiatif Bupati Kutoarjo ataukah ada usulan dari
pihak pemerintahan Hindia Belanda sebagai penguasa koloni? Tentu ini menjadi
membutuhkan kajian yang lebih mendalam.
Seiring dengan penghapusan Kabupaten Kutoarjo pada 1 Januari 1934 dan dilebur dengan Kabupaten Purworejo, maka Kutoarjo turun status menjadi ibukota kawedanan saja dan bangunan ini menjadi rumah kawedanan. Di masa kini difungsikan menjadi Rumah Dinas Wakil Bupati Purworejo.
Keberadaan gedung tua yang bernilai sejarah dan memiliki kisah dapat difungsikan sebagai tujuan pariwisata sejarah selain difungsikan sebagai gedung perkantoran pemerintah atau pusat-pusat kesehatan masyarakat.
Adalah tugas dan tanggung jawab generasi masa kini – baik para pemangku kepentingan daerah maupun komunitas peduli sejarah - mengetahui masa lalu kotanya dan kisah-kisah dibalik setiap bangunan yang disambangi dan dilihat setiap hari. Menjaga dan merawatnya menjadi bagian dari kisah masa lalu kotanya yang pernah berjaya sebagai sebuah ibu kota kabupaten di era kolonial.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar