Sabtu, 06 Februari 2021

RESESI EKONOMI DUNIA YANG MENGHANTARKAN PENGHAPUSAN KABUPATEN DI JAWA


Prof. Rhenald Kasali pernah menuliskan sebuah buku dengan judul Disruption (2017) untuk menggambarkan dampak perkembangan teknologi informasi yang menyebabkan great shifting (pergeseran besar-besaran) dimana sejumlah kegiatan usaha akan mengalami kehilangan relevansi akibat perubahan yang disebabkan teknologi informasi.

Para pembaca majalah dan koran bergeser menjadi pembaca media digital dan media sosial. Para penumpang taksi dan ojek beralih menjadi penumpang taksi on line yang tarifnya bisa berselisih jauh dengan taksi reguler. Ini hanya sekian contoh beberapa pergeseran yang menyebabkan sejumlah unit usaha kehilangan relevansi dan pasarnya.

Inilah yang diistilahkan dengan disrupsi. Namun ada istilah lain yang lebih berbahaya dan pernah dan bisa terjadi yang disebut resesi atau krisis ekonomi. Jika disrupsi dapat diatasi dengan melakukan sejumlah adaptasi dan transformasi, tidak demikian dengan resesi dan krisis ekonomi yang membutuhkan tindakan-tindakan pemulihan yang cukup lama untuk mengatasi sejumlah dampak yang ditinggalkannya.

Krisis ekonomi dunia (great depression) yang pernah melanda Amerika pada 29 Oktober 1929 – yang dikenal dengan Black Tuesday – merembet ke seluruh dunia baik Eropa dan Asia bahkan Hindia Belanda. Bukan hanya menyebabkan pelemahan mata uang melainkan terjadinya kebangkrutan besar-besaran di sejumlah pabrik sehingga tidak lagi mampu memproduksi untuk kebutuhan konsumen. Pengangguran besar-besaran terjadi di mana-mana. Bangsa kita mengenangnya dengan  sebutan Zaman Meleset atau Malaise.

Sejumlah kajian pernah dipublikasikan berkaitan dengan dampak sosio ekonomi terhadap Hindia Belanda al., A. Neytzel De Wilde dan J.Th. Moll dalam buku, The Nederlands Indies During the Depression: A Brief Economic Survey (1936), J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944), W.J. O’ Malley, Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatra and Yogyakarta in the 1930’s (1949) dan sebuah jurnal yang ditulis Ian Brown, Rural Distress in Southeast Asia During the World Depression of the Early 1930: A Preliminary Reexamination (1986).

Ternyata, bukan hanya pabrik dan perkebunan yang mengalami gulung tikar. Bahkan nasib sebuah kota kabupaten di Hindia Belanda khususnya Jawa harus mengalami dampak krisis/resesi ekonomi. Dampak dari sebuah resesi ekonomi harus dibayar dengan melakukan pemangkasan anggaran dan penghapusan status kabupaten.

Demikianlah yang terjadi pada kota dua wilayah di Jawa Timur dan satu wilayah di Jawa Tengah yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Pamekasan serta Kabupaten Kutoarjo, harus menelan pil pahit di mana pada akhir Desember 1933 kehilangan statusnya sebagai kota kabupaten. Kutoarjo dihapuskan dan digabungkan menjadi bagian dari Purworejo. Kraksaan dihapuskan dan digabungkan mejadi wilayah Probolinggo sementara Sampang dihapuskan dan digabungkan menjadi wilayah Pamekasan.

Sebagaimana dilansir dari sebuah berita berjudul, Opheffing Drietal Regentschappen (Penghapusan Tiga Kabupaten) yang dImuat surat kabar Soerabaijasch Handelsblad (16 Desember 1933) sbb:

Pembubaran Kabupaten Koetoardjo, Kraksaan dan Sampang serta penggabungan daerah yang bersangkutan dengan Kabupaten Poerworedjo, Probolinggo dan Pamekasan tidak mendapat keberatan yang serius baik dari segi administratif maupun politik, sementara tindakan ini menawarkan berbagai keuntungan finansial.


Apa yang dimaksudkan dengan “keuntungan finansial” (financieele voordeelen biedt) di sini? Tentu saja pemangkasan anggaran karena kas pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi dibebani membiayai gaji ketiga kabupaten tersebut. Sebagaimana dilansir dalam sebuah berita berjudul, Opheffing Regentschappen bahwa penghapusan ini, dat van deze opheffing een bezuiniging is te verwachten van minstens f 146.000 (pemerintah berharap mendapatkan penghematan sebanyak 146.000 florin - De locomotief 15 Desember 1933).

Wilayah Kutoarjo sebenarnya lebih luas sedikit tinimbang Purworejo. Sebagaimana laporan De Locomotief di atas bahwa Kutoarjo mencakup wilayah seluas 566 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 279.750 jiwa. Sementara Purworejo  memiliki luas 513 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 281.000 jiwa. Setelah penggabungan, Poerworedjo yang diperbesar (vergroote) akan mencakup kawasan seluas 1079 Km2 dengan jumlah jiwa sekitar 560.750 orang. Ketergantungan ekonomi Kutoarjo terhadap Purworejo dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi zaman itu menjadi salah satu pertimbangan penggabungannya ke Purworejo.

Penghapusan kabupaten kembali lagi terjadi pada tahun 1935. Kali ini di wilayah Jawa Tengah yaitu Karanganyar, Batang, Purwokerto. Kabupaten Karanganyar dimasukkan menjadi wilayah Kabupaten Kebumen. Kabupaten Batang dihapuskan dan dijadikan wilayah Kabupaten Pekalongan sementara Kabupaten Purwokerto dimasukkan menjadi wilayah Kabupaten Banyumas.

Sebagaimana penghapusan tiga kabupaten sebeluknya berdampak pada penghematan anggaran pemerintahan Hindia Belanda, demikianlah dengan penghapusan tiga kabupaten di Jawa Tengah ini, Artikel dengan judul, Opheffing 3-tal Regentschappen (Penghapusan Tiga Kabupaten) yang dimuat koran Soerabaiasch Handelsblad (16 Desember 1935) menjelaskan bagaimana penghapusan ketiga kabupaten berdampak pada penghematan anggaran negara (dalam hal ini pemerintahan Belanda) sebagaimana dikatakan:

Penghematan yang akan diperoleh dari merger diperkirakan mencapai  97.000. - florin setiap tahunnya terutama karena pengurangan jumlah tuan-tuan, patih dan asisten residen serta akibat pengurangan staf karena penutupan kantor-kantor administrasi yang bersangkutan

Terkait penghapusan statu Kabupaten Karanganyar telah saya tuangkan dalam artikel ilmiah dengan judul, Sociological Perspective on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s Economic Depression ( Jurnal Sosiologi Simulacra, Vol 3, Issue 1, June 2020 - https://journal.trunojoyo.ac.id/simulacra/article/view/7201).

Kiranya tulisan pendek ini dapat menghantarkan kita para pembaca masa kini khususnya yang tinggal di wilayah-wilayah yang telah mengalami penghapusan status kabupaten dapat mengenai jati diri dan sejarah kotanya. Sebagaimana dikatakan Marcus Garvey, A people without knowledge of their past history, origin and culture is like a tree without roots (Orang-orang tanpa pengetahuan sejarah, asal-usul dan budaya masa lalu, seperti pohon tanpa akar)

 

 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar