Prof.
Rhenald Kasali pernah menuliskan sebuah buku dengan judul Disruption (2017) untuk menggambarkan dampak perkembangan teknologi
informasi yang menyebabkan great shifting
(pergeseran besar-besaran) dimana sejumlah kegiatan usaha akan mengalami
kehilangan relevansi akibat perubahan yang disebabkan teknologi informasi.
Para
pembaca majalah dan koran bergeser menjadi pembaca media digital dan media
sosial. Para penumpang taksi dan ojek beralih menjadi penumpang taksi on line
yang tarifnya bisa berselisih jauh dengan taksi reguler. Ini hanya sekian
contoh beberapa pergeseran yang menyebabkan sejumlah unit usaha kehilangan
relevansi dan pasarnya.
Inilah
yang diistilahkan dengan disrupsi.
Namun ada istilah lain yang lebih berbahaya dan pernah dan bisa terjadi yang
disebut resesi atau krisis ekonomi. Jika disrupsi dapat diatasi dengan
melakukan sejumlah adaptasi dan transformasi, tidak demikian dengan resesi dan
krisis ekonomi yang membutuhkan tindakan-tindakan pemulihan yang cukup lama
untuk mengatasi sejumlah dampak yang ditinggalkannya.
Krisis
ekonomi dunia (great depression) yang
pernah melanda Amerika pada 29 Oktober 1929 – yang dikenal dengan Black Tuesday – merembet ke seluruh
dunia baik Eropa dan Asia bahkan Hindia Belanda. Bukan hanya menyebabkan
pelemahan mata uang melainkan terjadinya kebangkrutan besar-besaran di sejumlah
pabrik sehingga tidak lagi mampu memproduksi untuk kebutuhan konsumen.
Pengangguran besar-besaran terjadi di mana-mana. Bangsa kita mengenangnya
dengan sebutan Zaman Meleset atau
Malaise.
Sejumlah kajian pernah dipublikasikan berkaitan dengan dampak sosio ekonomi terhadap Hindia Belanda al., A. Neytzel De Wilde dan J.Th. Moll dalam buku, The Nederlands Indies During the Depression: A Brief Economic Survey (1936), J.S. Furnivall, Netherlands India: A Study of Plural Economy (1944), W.J. O’ Malley, Indonesia in the Great Depression: A Study of East Sumatra and Yogyakarta in the 1930’s (1949) dan sebuah jurnal yang ditulis Ian Brown, Rural Distress in Southeast Asia During the World Depression of the Early 1930: A Preliminary Reexamination (1986).
Ternyata,
bukan hanya pabrik dan perkebunan yang mengalami gulung tikar. Bahkan nasib
sebuah kota kabupaten di Hindia Belanda khususnya Jawa harus mengalami dampak
krisis/resesi ekonomi. Dampak dari sebuah resesi ekonomi harus dibayar dengan
melakukan pemangkasan anggaran dan penghapusan status kabupaten.
Demikianlah
yang terjadi pada kota dua wilayah di Jawa Timur dan satu wilayah di Jawa
Tengah yaitu Kabupaten Kraksaan dan Kabupaten Pamekasan serta Kabupaten Kutoarjo,
harus menelan pil pahit di mana pada akhir Desember 1933 kehilangan statusnya
sebagai kota kabupaten. Kutoarjo dihapuskan dan digabungkan menjadi bagian dari
Purworejo. Kraksaan dihapuskan dan digabungkan mejadi wilayah Probolinggo
sementara Sampang dihapuskan dan digabungkan menjadi wilayah Pamekasan.
Sebagaimana
dilansir dari sebuah berita berjudul, Opheffing Drietal
Regentschappen (Penghapusan Tiga Kabupaten) yang dImuat surat kabar Soerabaijasch Handelsblad (16 Desember 1933) sbb:
Pembubaran Kabupaten Koetoardjo,
Kraksaan dan Sampang serta penggabungan daerah yang bersangkutan dengan
Kabupaten Poerworedjo, Probolinggo dan Pamekasan tidak mendapat keberatan yang
serius baik dari segi administratif maupun politik, sementara tindakan ini
menawarkan berbagai keuntungan finansial.
Apa yang dimaksudkan dengan “keuntungan finansial” (financieele voordeelen biedt) di sini? Tentu saja pemangkasan anggaran karena kas pemerintahan Hindia Belanda tidak lagi dibebani membiayai gaji ketiga kabupaten tersebut. Sebagaimana dilansir dalam sebuah berita berjudul, Opheffing Regentschappen bahwa penghapusan ini, dat van deze opheffing een bezuiniging is te verwachten van minstens f 146.000 (pemerintah berharap mendapatkan penghematan sebanyak 146.000 florin - De locomotief 15 Desember 1933).
Wilayah Kutoarjo sebenarnya lebih luas sedikit tinimbang Purworejo. Sebagaimana laporan De Locomotief di atas bahwa Kutoarjo mencakup wilayah seluas 566 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 279.750 jiwa. Sementara Purworejo memiliki luas 513 km2 dengan jumlah penduduk sekitar 281.000 jiwa. Setelah penggabungan, Poerworedjo yang diperbesar (vergroote) akan mencakup kawasan seluas 1079 Km2 dengan jumlah jiwa sekitar 560.750 orang. Ketergantungan ekonomi Kutoarjo terhadap Purworejo dalam pemenuhan kebutuhan ekonomi zaman itu menjadi salah satu pertimbangan penggabungannya ke Purworejo.
Penghapusan kabupaten kembali lagi terjadi pada tahun 1935.
Kali ini di wilayah Jawa Tengah yaitu Karanganyar, Batang, Purwokerto.
Kabupaten Karanganyar dimasukkan menjadi wilayah Kabupaten Kebumen. Kabupaten
Batang dihapuskan dan dijadikan wilayah Kabupaten Pekalongan sementara
Kabupaten Purwokerto dimasukkan menjadi wilayah Kabupaten Banyumas.
Sebagaimana penghapusan tiga kabupaten sebeluknya berdampak
pada penghematan anggaran pemerintahan Hindia Belanda, demikianlah dengan
penghapusan tiga kabupaten di Jawa Tengah ini, Artikel dengan judul, Opheffing 3-tal Regentschappen (Penghapusan
Tiga Kabupaten) yang dimuat koran Soerabaiasch Handelsblad (16 Desember
1935) menjelaskan bagaimana penghapusan ketiga kabupaten berdampak pada
penghematan anggaran negara (dalam hal ini pemerintahan Belanda) sebagaimana
dikatakan:
Penghematan yang akan
diperoleh dari merger diperkirakan mencapai
97.000. - florin setiap tahunnya terutama karena pengurangan jumlah
tuan-tuan, patih dan asisten residen serta akibat pengurangan staf karena
penutupan kantor-kantor administrasi yang bersangkutan
Terkait penghapusan statu Kabupaten Karanganyar telah saya
tuangkan dalam artikel ilmiah dengan judul, Sociological
Perspective on the Elimination of Karanganyar Regency as an Impact of the 1930s
Economic Depression ( Jurnal
Sosiologi Simulacra, Vol 3, Issue 1, June 2020 - https://journal.trunojoyo.ac.id/simulacra/article/view/7201).
Kiranya tulisan pendek ini dapat menghantarkan kita para
pembaca masa kini khususnya yang tinggal di wilayah-wilayah yang telah
mengalami penghapusan status kabupaten dapat mengenai jati diri dan sejarah
kotanya. Sebagaimana dikatakan Marcus Garvey, A people without knowledge of their past history, origin and culture is
like a tree without roots (Orang-orang tanpa pengetahuan sejarah, asal-usul
dan budaya masa lalu, seperti pohon tanpa akar)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar