Jika Jembatan Sungai Luk Ulo tidak dibangun, maka untuk mencapai Pejagoan dari Kebumen harus memutar melewati Jembatan Tembana (sekitar 3 km). Sebelum 1 Januari 1936, Pejagoan adalah sebuah distrik (kawedanan) di bawah regentschap (kabupaten) Karanganyar.
Dalam sebuah berita dengan judul, Verbinding Pedjagoan-Keboemen (jalur penghubung Pejagoan-Kebumen) yang dimuat surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie (13 April 1938) dilaporkan bahwa saat belum ada jembatan penghubung dahulu orang menggunakan rakit untuk menyebrang.
Arus pengguna rakit tercatat tahun 1938 sebanyak 7000 orang per hari dan 13.000 orang saat hari pasaran. Bupati Arung Binang VIII saat itu mengajukan subsidi dan perkiraan biaya pembangunan pada waktu itu adalah 16.000 florin.
Masyarakat asli Kebumen tentu memiliki banyak kenangan sebelum jembatan ini dibangun. Ya, menyebrang dengan "gethek" sebagaimana sudah dilakukan sejak era kolonial. Menyebrang untuk bersekolah atau melakukan aktivitas jual beli tentunya.
Jembatan Sungai Luk Ulo sendiri baru dibangun sekitar tahun 1996/1997 melalui kerjasama provinsi dan kabupaten. Direncanakan tahun 1938 terealisasi di tahun 1996/1997. Jarak yang cukup jauh ya?
Dalam foto di atas nampak beberapa keluarga sedang menyebrang sungai Luk Ulo pada tahun 1975. Foto ini saya dapatkan dari salah satu anggota group whatshaap "Sahabat Heritage Indonesia" yang pernah tinggal di Kebumen dan profesi sang kakek yang pernah mencari batu-batu di sungai Luk Ulo untuk dijadikan batu akik.
Apakah para pembaca pernah mengalami menyebrang sungai Luk Ulo dengan menggunakan gethek?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar