Selasa, 16 Februari 2021

MENUJU LORONG WAKTU KARANGANYAR SEMASA KOLONIAL

Pasca Perang Jawa berakhir (1825-1830), Bagelen diubah statusnya dari mancanegara kilen milik kasultanan (Yogyakarta) dan kasunanan (Surakarta) menjadi milik Belanda dan dijadikan Karesidenan Bagelen.

Jika tahun 1830 Karesidenan Bagelen hanya terdiri dari regentschap (kabupaten) Brengkelan (kelak Purworejo), Semawung (kelak Kutoarjo), Ungaran (kelak Kebumen), Karang Dhuwur (kelak Karanganyar) maka beberapa tahun kemudian berkembang nama dan jumlah kabupatenya.

Dalam Regeering Almanak 1865 Karesidenan Bagelen memiliki 5 afdeeling yaitu: Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, Ambal, Ledok. Afdeeling Kebumen memiliki 2 Regentschap yaitu  Regentschap Kebumen dan Regentschap Karanganyar. Setelah Ambal dihapuskan sebagai kabupaten tahun 1872 maka Ambal menjadi salah satu distrik di bawah Regentschap Kebumen.

Tahun 1901 Karesidenan Bagelen dihapus dan wilayah yang berada di dalamnya dimasukkan menjadi wilayah  Karesidenan Kedu. Kebumen (dahulu bernama Panjer) dan Karanganyar (dahulu bernama Remo Djatinegara) termasuk ke dalam Karesidenan Kedu sejak itu.

Bagaimanakah aktivitas sosial ekonomi dan sosial budaya semasa Karanganyar - khususnya di era kepemimpinan Bupati  Tirtoekoesoemo dan Bupati Iskandar Tirtoekoesoemo -  masih menjadi sebuah kabupaten sebelum penghapusannya tahun 1936?

Melalui kegiatan study trip sesi ke-4 dengan tema, Menuju Lorong Waktu Karanganyar Semasa Kolonial yang diselenggarakan oleh Historical Study Trips pada tanggal 14 Februari 2021 lalu kita dihantarkan memahami kedudukan Karanganyar sebagai sebuah kabupaten yang berdiri pasca berakhirnya Perang Jawa. Bersama Kebumen, Karanganyar menjadi sebuah regentchap di bawah Karesidenan Bagelen (1830-1900), Karesidenan Kedu (1901-1928) dan pernah menjadi Karesidenan Zuid Banyumas (1928-1931) hingga kembali lagi di bawah Karesidenan Kedu hingga penghapusan statusnya sebagau kabupaten (1931-1935).

Berikut daftar bupati yang pernah memimpin d Karanganyar yaitu: Kanjeng Raden Tumenggung Djajadiningrat (1831-1864). Kemudian berpindah menjadi bupati di Wanasaba tahun 1864. Kanjeng Raden Tumenggung Kertanegara I (1864-1885) saudara tua Kangjeng Raden Adipati Jayanegara I, bupati Banjarnegara (1878-1896). Kanjeng Raden Tumenggung Soekadis Kertanegara II (1885-1902). Beliau wafat dan tidak berpura sehingga tidak ada pengganti. Kanjeng Raden Tumenggung Tirtokoesoemo I (1902-1912). Sebelumnya menjadi Patih di Magelang. Selain gelar “Ario” juga memperoleh gelar Officer Oranje Nassau dari pemerintahan Belanda. Kanjeng Raden Adipati Aria Iskandar Tirtoekoesoemo II (1912-1936) (Sugeng Priyadi, 2004:128).

Dalam study trip kali ini difokuskan kepada dua nama bupati berikut karya yang ditinggalkannya yaitu Tirtoekoesoemo dan Iskandar Tirtoekoesoemo. Jangan tertukar antara Tirtoekoesoemo dan Iskandar Tirtoekoesoemo. Keduanya memang bupati Karanganyar di era kolonial. Yang satu berstatus ayah dan yang satu berstatus anak. 

Tirtoekoesoemo bukan hanya bupati Karanganyar (sejak 1901-1912) namun beliau juga adalah Ketua Budi Utomo yang pertama hasil kongres Yogyakarta. Kepiawaiannya dalam ilmu pertanian membuatnya concern dalam pengembangan pertanian yaitu mencanangkan dan memperkenalkan adanya lumbung desa. Bukan hanya lumbung desa namun beliau juga menginisiasi berdirinya sebuah koperasi untuk menampung kelapa bernama Sedya Madjoe yang kemudian berkembang menjadi sebuah perusahaan minyak kelapa.

Sementara Iskandar Tirtoekoesoemo adalah putra yang meneruskan tugas dan pekerjaan sebagai bupati mulai tahun 1912. Bukan sekedar piawai dalam ilmu pemerintahan karena latar belakang pendidikan Belandanya namun beliau  juga memiliki kepedulian dalam kesehatan warga Karanganyar. Pada tahun 1919 berdirilah sebuah rumah sakit bernama Nirmolo. Beberapa tahun sebelumnya di Kebumen telah berdiri rumah sakit oleh Badan Pekabaran Injil dari Belanda bernama "Pandjoeroeng" (1915).

Krisis ekonomi dunia telah mengantarkan Karanganyar pada akhir nasibnya sebagai regentschap. Bersama Batang dan Purwokerto, Desember 1935 ketiga regentschap dihapus. Batang digabungkan dengan Pekalongan, Purwokerto digabungkan dengan Banyumas sementara Karanganyar digabungkan dengan Kebumen.

Keduanya, beristirahat abadi di Karang Suci, desa Karangkemiri. Sampai hari ini plang cagar budaya belum terpasang sebagai penanda dan peringatan jasa dan karya keduanya sebagai pembangun Karanganyar semasa kolonial. Kiranya plang cagar budaya dapat disematkan di kemudian hari, sebagai kenangan dan penghormatan terhadap kontribusinya bagi pembangunan Karanganyar semasa kolonial.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar