Akibat krisis ekonomi, pemerintahan Hindia Belanda harus melakukan penghematan anggaran. Salah satunya adalah melakukan penghapusan sejumlah kabupaten dan menggabungkan dengan kabupaten. Tanggal 31 Desember 1935 tiga kabupaten dihapuskan yaitu Karanganyar, Purwokerto, Batang. Pada tanggal 1 Januari 1936 Karanganyar digabungkan ke Kebumen dan Purwokerto dijadikan ibu kota Kabupaten Banyumas serta Batang digabungkan ke Kabupaten Pekalongan (Band. Teguh Hindarto, Resesi Ekonomi Dunia Yang Menghantarkan Penghapusan Kabupaten di Jawa - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/resesi-ekonomi-dunia-yang-menghantarkan.html dan Teguh Hindarto, Nasib Kabupaten Karanganyar di Penghujung Desember 1935 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/12/nasib-kabupaten-karanganyar-di.html).
Berkaitan dengan penghapusan status Kabupaten Purwokerto ada dua hal menarik yang terjadi. Pertama, pemindahan pusat ibu kota Banyumas ke Purwokerto. Kedua, Pendopo Si Panji yang terletak di Banyumas yang sudah berusia ratusan tahun itu hendak diboyong dan dipindahkan menggantikan pendopo di Purwokerto. Bupati Banyumas yang memerintah saat itu adalah R.A.A. Soedjiman Mertadiredja Gandasoebrata yang ditetapkan menjadi Bupati Banyumas sejak tahun 1933 dan tahun 1936 menjadi Bupati Banyumas yang diperluas yang kelak dipusatkan di Purwokerto.
Pendopo Si Panji sendiri dibangun pada 1706 oleh Tumenggung Yudanegara II, Bupati Banyumas ke-7 (1707 - 1743), setelah memindahkan pusat pemerintahan dari Kejawar ke Banyumas. Nama Si Panji digunakan untuk mengenang puteranya yang bernama Panji Gandasubrata (Bagus Kunthing), yang tinggal sejak kecil di Keraton Kartasura bersama neneknya, Raden Ayu Bendara. Bagus Kunthing sejak kecil berteman akrab dengan Raden Mas Sudjono (Pangeran Mangkubumi) yang kelak menjadi raja Yogyakarta bergelar Sultan Hamengku Buwono I.
Adapun pemindahan Pendapa Si Panji baru dilaksanakan tanggal 5 Januari 1937 hingga 5 Maret 1937 yaitu memakan waktu dua bulan (Sugeng Supriyadi, Sejarah Kota Purwakerta 1832-2018, 2019:190). Jadi, sekalipun Kabupaten Banyumas menerima status baru yaitu kabupaten yang diperluas (vergroote regentschap) dan hendak dipindahkan ibu kotanya ke Purwokerto, namun tidak seketika pemindahan terjadi. Membutuhkan waktu kurang lebih 3 tahun.
Dalam sebuah berita berjudul, Een Residentswoning van f 60.000 dijelaskan bahwa selain pemindahan pendapa kabupaten juga akan dibangun gedung baru untuk Residen Banyumas di Purwokerto. Skema biaya yang diperlukan adalah sebesar f 60.000 dan pada tahun 1936 tersedia anggaran f 20.000 dan tahun 1937 tersedia anggaran f 45.000. Untuk pembangunan pendopo sendiri dianggarkan sebesar f 5000. Jadi total pembiayaan sebesar f 65.000 (Het Nieuws, 5 Agustus 1936).
Itulah yang menyebabkan pemindahan ibu kota kabupaten dilaksanakan secara bertahap. Menurut laporan surat kabar Soerabaijasch Handelsblad (7 Desember 1938) kantor Residen Banyumas di Purwokerto mulai ditempati tanggal 1 Januari 1939.
Adalah Hj. Ruys yang kelak menempati gedung tersebut. Ada perbedaan pendapat mengenai siapa yang membangun gedung karesidenan ini. Prof Sugeng Supriyadi menyebut Herman Thomas Karsten sebagai arsiteknya (2019:200) sementara Jatmiko W dari Banjoemas History Heritage menyebutkan bahwa Ir. Breuning Hubert Albert sebagai arsiteknya (Residentwoning Poerwokerto, 2011 - https://www.banjoemas.com/2011/08/residentwoning-poerwokerto.html).
Lokasi gedung Residen Banyumas di Purwokerto masa kini pernah dijadikan sebagai rumah dinas Kepala BAKORWIL III Provinsi Jawa Tengah yang sekarang berlokasi di Jl. Gatot Subroto no 75 dekat Tugu Pembangunan.
Mengapa ibu kota Banyumas harus dipindahkan ke Purwokerto? Tentu yang menjadi pertimbangan Bupati Sudjiman Mertadiredja Gandasoebrata berkaitan dengan faktor-faktor ekonomi yang berkembang saat itu. Sejak dibangunnya jalur kereta Serajoedal Stoomtram Matschapij (SDS) dan Statspoorwegen di Purwokerto yang menggantikan peran pengangkutan dari Banyumas ke Cilacap yang menggunakan arus sungai Serayu, maka Banyumas kalah berkembang dibandingkan Purwokerto.
Namun argumen berbeda disampaikan oleh Residen F. Dfersjant yang mewakili Gubernur Jawa Tengah saat pelantikan Bupati Soedjiman sebagai bupati Banyumas yang diperluas. Sulitnya membelah perbukitan Banyumas oleh jalur kereta api menyebabkan Banyumas menjadi kawasan "ville morte" alias tanpa hiburan dan tanpa masa depan (Regent van Banjoemas Geinstallerd, De Locomotief, 26 Februari 1936).
Kembali ke Pendopo Si Panji. Tentu kita bertanya mengapa sampai pendopo Si Panji diboyong ke Purwokerto? Mengapa tidak memakai pendopo kabupaten yang telah ada sebelumnya di era pemerintahan Bupati Purwokerto terakhir yaitu R.A. Tjokro Adisoerdjo?
Dalam sebuah artikel yang ditulis H.C. Zentgraaft yang berjudul, Banjoemas Heeft Een Eigen Aard menuliskan di bagian akhir artikelnya sbb: "Jelas bahwa bupati dan warga menyarankan bahwa ketika kaboepaten baru dibangun, kayu pendopo lama Banjoemas harus dipindahkan ke sana dan didirikan, karena itu adalah elemen penting di benak ribuan orang (een element van beteekenis), dan akan menjadi kesalahan besar untuk mengabaikan imponderabilia seperti itu" (De Locomotief, 27 November 1935)
Yang dimaksudkan dengan "elemen penting di benak ribuan orang" adalah sakralitas soko guru pendapa dan kisah-kisah mistis yang sudah menjadi memori kolektif dan melekati kesadaran masyarakat Banyumas zaman itu. Zentgraaft merujuk pada peritiwa banjir besar di Banyumas (Zentgraaft keliru menuliskan tahun 1865 karena peristiwa banjir di Banyumas dan Bagelen terjadi 21-23 Februari 1861) yang membuat penduduk Banyumas berlari menuju pendopo dan seolah pendopo tersebut terlepas dari fundasinya dan kembali ke fundasinya saat banjir mulai surut. Selain itu pada tiap hari hari Selasa Kliwon atau Jumat Kliwon, selalu diberikan sesaji di salah satu soko guru pendopo Si Panji.
Lantas, bagaimana nasib pendopo Banyumas usai Si Panji diboyong ke Purwokerto? Setelah berpuluh tahun tidak terawat, di kawasan yang saat ini dijadikan kantor Kecamatan Banyumas di mana dahulu pendopo Si Panji berada telah didirikan Duplikat Pendopo Si Panji. Dibangun oleh Bupati Banyumas Poedjadi Djaring Bandajoeda pada tahun 1977. Pada duplikat pendopo Si Panji pun dihilangkan bentuk entrance kuncungannya (kanopi) yang menghadap ke selatan. Nampaknya hendak menghindari bentuk bale malang (tusuk sate) sebagaimana dibuat Yudanegara II dengan mengikuti amanat Adipati Wargautama I yang tewas di bangunan berbentuk bale malang (Budi Tjahjono, Arsitektur Tradisional Jawa Banyumasan Pada Pendapa Duplikat Si Panji Di Kota Lama Banyumas, Tesis, 2015:119).
Haruskah Pendopo Si Panji kembali ke Banyumas? Haruskah Pendopo Si Panji kembali ke Banyumas? Seberapa relevan dan urgen pemindahan Pendopo Si Panji ke Banyumas? Biarlah pertanyaan-pertanyaan tersebut dijawab oleh anak-anak zaman yang lebih berkepentingan dengan warisan sejarah di mana mereka berada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar