Minggu, 23 Januari 2022

KAWRUH JIWA

Anggenipun tumindak ngupados semat mboten ngaja-aja, inggih namung sabutuhe, saperlune, sabenere, samestine, satjukupe, sakepenake, dipun tjekak sanem mboten rerebatan, raosipun tatag, tentrem, mboten rerebatan semat, mahanani wonten ing masjarakat tijang-tijang sami gujup rukun (...dalam bertindak mencari kekuasaan tidak berkelebihan, hanya sebutuhnya, seperlunya, sebenarnya, semestinya, secukupnya, seenaknya, disingkat enam sa, tidak saling berebut, rasanya pun tenang, tentram, tidak berebut kekuasaan. Dalam kehidupan bermasyarakat orang-orang merasa bersaudara, rukun dan aman), demikian kutipan ajaran Kawruh Jiwa dari Ki Ageng Suryomentaram oleh Ki Pronowidigdo dalam Tjandrwarti Dudu Kowe Tahun III No 5 Mei 1955, hal 4-6.

Nama Ki Ageng Suryomentaram semakin terdengar di ruang percakapan dan diskusi khususnya pemikiran dan kebudayaan Jawa. Konsepnya yang dikenal sebagai "Kawruh Jiwa" mulai digali, dikaji dan ditafsirkan dan ditemukan relevansinya dalam kehidupan masa kini. Sejumlah buku telah diterbitkan baik yang lama dan baru seperti, Kawruh Jiwa: Wejanganipun Ki Ageng Suryo Mentaram 1,2,3 (1989), Ki Ageng Suryomentaram: Sang Plato Dari Jawa (2007), Epistemologi Ki Ageng Suryomentaram (2014) dan masih ada beberapa buku lagi.

Di era kolonial ajarannya lebih dikenal dengan Kawruh Begja. Sebagaimana dilaporkan sebuah berita berjudul, De Leer van het Geluk. Lezingen door P. Soerjamentaram en Raden Ajoe. De Kawroeh Begdjo te Koedoes (Ajaran Kebahagiaan.Ceramah oleh P. Soerjamentaram dan Raden Ajoe. Kawroeh Begdjo di Kudus)yang dimuat surat kabar, De Locomotief (26 Maret 1935)melaporkan kegiatan ceramah Pangeran Soerjomentaram di gedung pabrik jerami bernama Tria Kudus dengan dihadiri dua ribu peserta (tweeduizend) sekalipun pengikutnya ajaran Soerjomentaram di Kudus belum terlalu banyak.

Dalam berita tersebut disebutkan nama seorang perempuan Tionghoa berusia 11 tahun bernama Liem Sin Nio memberikan sambutan yang dilanjutkan oleh penjelasan mengenai Kawruh Begdjo oleh Raden Ayu atau istri Pangeran Soerjomentaram. Pembicara terakhir adalah Soerjomentaram sendiri. Mengenai apa yang dipakai dan perilaku Soerjomentaram dalam pertemuan tersebut dituliskan oleh surat kabar tersebut sbb:

Pangeran Soerjomentaram, putra mendiang Yang Mulia Sultan VII Jogja, berpakaian sangat sederhana (was zeer eenvoudig gekleed): celana panjang gelap, ikat pinggang kulit lebar, dada telanjang hanya ditutupi sarung yang digantung longgar di bahu. Istrinya dan pengikut lainnya juga berpakaian sangat sederhana. Semua memakai tikar.

Yang menarik dari konsepsi Suryomentaram adalah menjadi titik pembeda dengan konsepsi Jawa sebelumnya. Apa yang disampaikan Suryomentaram melalui sejumlah istilah seperti "aku", "karep", "kramadangsa", "pangawikan pribadi" dll lebih bernuansa mengedepankan rasionalitas tinimbang intuisi apalagi klenik. Namun yang membedakan dengan rasionalitas Barat bahwasanya rasionalitas yang dibangun dalam konsepsi Suryomentaram bukan yang terlepas dari rasa dan murni kerja akal. Itulah sebabnya ada yang menjuluki ajarannya sebagai "psikologi raos".

Sebagai orang yang gemar mendalami Filsafat Eksistensialisme, saya pribadi lebih melihat konsepsi Suryomentaram adalah Eksistensialisme Jawa. Senada dengan kesimpulan Irfan Avivi dalam pengantar buku karya Afthonul Afif yang berjudul, Psikologi Suryomentaram: Pedoman Hidup Bahagia Ala Jawa (2020) yang berkata, Atau jika kita bersepakat bahwa eksistensialisme adalah sebagai usaha pemikiran rasional untuk meneliti diri sebagai fakta 'ada' pertama yang menjadi jangkar makna bagi keber'ada'an yang lain, Suryomentaram dapat disebut sebagai filsuf eksistensialis pertama yang muncul dari bumi Indonesia (2020:15)

Meskipun berpenampilan sederhana dan hidup di pedesaan, siapa nyana jika beliau sesungguhnya putra Sultan Hamengkubuwana VII (1877-1921)? Dia menolak tinggal di istana dan menerima gelar kebangsawanan (sesuatu yang dicari dan didambakan bukan?). Setelah ayahandanya meninggal dunia, Suryomentaram memohon kepada saudara tirinya yang sudah bertakhta menjadi raja, Hamengkubuwana VIII (1921-1939), agar diizinkan meninggalkan istana. Beliau hidup di Desa Beringin, Salatiga.

Ajaran Kawruh Jiwa, dilahirkan oleh orang yang meninggalkan dan menanggalkan gelar dan keistimewaan kehidupan istana


1 komentar:

  1. Selamat siang,jika berkenan bolehkah saya mengetahui asal-usul dari sejarah kyai mursid dari legok pejagoan kebumen,untuk nantinya saya gunakan sebagai bahan pembuatan catatan dan karya tulis,terimakasih.

    BalasHapus