Kamis, 13 April 2023

DARI MANTRI BENDUNG MENJADI BUPATI: POTRET PERJALANAN BUPATI KUTOARJO, RADEN ADIPATI POERBOATMODJO (1849-1928)

Dezer dagen heeft het regentschap Koetoardjo zijn ouden Pangeran de laatste eer bewezen ziin stoffelijk overschot aan den schoot der aarde toevertrouwd, in het familiegraf Giri Tjoemantoko (Saat ini Kabupaten Koetoardjo telah memberikan penghormatan terakhir kepada Pangeran sepuh dan menitipkan jenazahnya ke pangkuan bumi, di makam keluarga Giri Tjoemantoko), demikian kutipan sebuah berita kewafatan dengan judul, De Koetoradjo’s Pangeran yang dimuat surat kabar De Locomotief (18 Oktober 1928).

Mengapa Kutoarjo disebut sebagai “regentschap” (kabupaten)? Siapakah julukan “pangeran” yang dimaksudkan? Di manakah letak “Giri Tjoemantoko?” Pertanyaan-pertanyaan ini akan dibahas sepanjang artikel ini.

Pasca Perang Jawa berakhir (1830), sejumlah administrasi lama mengalami perubahan nama seperti Brengkelan menjadi Purworejo, Semawung menjadi Kutoarjo, Panjer menjadi Kebumen, Remo Jatinegara menjadi Karanganyar. Pemilihan nama Purworejo (awal dari kemakmuran) dan Kutoarjo (kota yang makmur) ada andil petinggi Belanda bernama Pieter Herbert Baron van Lawick van Pabst yang diundang Bupati Purworejo Cokro Negoro dan Bupati Kutoarjo Sawunggaling (Peter Carey, Sisi Lain Diponegoro: Babad Kedung Kebo dan Historiografi Perang Jawa, 2017:199-200)

Bupati Kutoarjo pertama pasca Perang Jawa berakhir adalah Sawong Galing kemudian dilanjutkan oleh Bupati Soerokoesoemo. Setelah bupati di atas, dilanjutkan beberapa bupati memimpin al., Raden Toemenggong Pringgoatmodjo (dilantik 21 Juni 1860) kemudian digantikan Raden Adipati Poerbo Atmodjo (dilantik 19 Oktober 1870) kemudian digantikan Raden Adipati Ario Poerboadikoesoemo (dilantik 6 Desember 1915) (Teguh Hindarto, Membaca Masa Lalu Kota Kutoarjo Melalui Pendopo dan Eks Rumah Bupati Kutoarjo Semasa Kolonial - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/11/membaca-masa-lalu-kota-kutoarjo-melalui.html)

Akibat krisis ekonomi dunia, pemerintahan Hindia Belanda harus menghemat anggaran dengan menghapuskan sejumlah kabupeten. Salah satunya adalah Kabupaten Kutoarjo yang dihapuskan status kabupatennya tahun 1933 dan digabungkan dengan Kabupaten Purworejo tahun 1934 (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/resesi-ekonomi-dunia-yang-menghantarkan.html). Nasib yang sama akan dialami oleh Kabupaten Karanganyar dua tahun kemudian yaitu dihapuskan tahun 1935 dan digabungkan dengan Kabupaten Kebumen tahun 1936 (Teguh Hindarto, Nasib Kabupaten Karanganyar di Penghujung Desember 1935 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/12/nasib-kabupaten-karanganyar-di.html)

Ketika Kutoarjo dihapuskan statusnya sebagai kabupaten maka statusnya menjadi distrik (kawedanan) bersama Loano, Kemiri, Purwodadi. Saat Kutoarjo berstatus kawedanan dipimpin oleh Raden Soedardjo (dilantik 29 Desember 1933). Saat itu Bupati Purworejo dipimpin Raden Adipati Ario Hasan Danoeningrat (dilantik 24 Oktober 1928)

Membaca dari konteks sosio historis di atas kita menjadi mengerti bahwa di era kolonial, Kecamatan Kutoarjo (sebagaimana Kecamatan Karanganyar, Kebumen) pernah berstatus kabupaten. Dan bupati yang diberitakan wafat pada tahun 1928 dengan julukan “oude pangeran’s” (pangeran sepuh) tiada lain adalah Raden Adipati Poerboatmodjo.

Poerboatmodjo, dilahirkan tanggal 22 Oktober 1849. Memulai pendidikannya di kwartjesschool di Kabupaten (regentschap) Ambal. Perlu diketahui bahwa Ambal sejak tahun 1830-1871 berstatus Kabupaten dipimpin oleh K.R.A.A. Poerbonegoro. Setelah kewafatannya di tahun 1871, status kabupaten dihapuskan tahun 1872 dan wilayahnya dibagi tiga. Sebagian menjadi wilayah Kutoarjo, Kebumen dan Karanganyar (Teguh Hindarto, Berapa Gaji Bupati Ambal dan Pegawai Pemerintahan Lainnya di Tahun 1872? Sebuah Skema Anggaran Yang Dibatalkan - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/05/berapa-gaji-bupati-ambal-dan-pegawai.html)

Dari Mantri Bendung Menjadi Bupati

Setelah dewasa, Poerboatmodjo memulai karir sebagai penulis (schrijfer)  wedono dari Pituruh berlanjut diperbantukan ke Dinas Topografi dengan tugas pengukuran dan pemetaan bekas karesidenan Bagelen. Pada tahun 1869 diangkat sebagai Mantri-Bendung dari Boro (Purworejo).

Karirnya melejit dengan cepat, setelah satu tahun menjalani tugas sebagai mantri bendung maka pada tanggal 19 Oktober 1870 menjadi titik balik kehidupannya sebagai pejabat pribumi yang mencapai kedudukan sebagai Bupati Kutoarjo. Jika dalam pekerjaan sebelumnya gajinya sebagai Mantri Bendung adalah f 50 maka setelah menjadi Bupati Kutoarjo menjadi f. 1000 per bulan. Surat kabar De Locomotief menyebutnya sebagai een groote sprong (lompatan besar).

Selama dua puluh satu tahun Poerboatmodjo memulai tugas sebagai bupati dan empat puluh lima tahun kemudian, pada bulan Desember tahun 1915, dia meletakkan jabatannya. Dia telah melakukan banyak hal untuk rakyatnya selama masa jabatannya yang panjang. Beberapa prestasinya di bidang pembangunan daerah al., penanaman pohon nyamplung sehingga menjadi hutan nyamplung (njamploengbosch) yaitu sebidang hutan di kawasan selatan Kutoarjo untuk menahan angin laut yang kuat yang dapat menimbulkan kerusakan terhadap kawasan persawahan masyarakat. Selanjutnya jalan menuju Rawa Wawar dibangun di sepanjang jalur hutan ini. Bonorowo, atas dorongan Poerboatmodjo diubah menjadi kompleks sawah yang luas.

Di bidang pertanian, pembangunan Cokroyasan mengakibatkan terjadinya pembuangan air banjir Kali Jali.  Irigasi, peternakan ikan dan ternak, perkebunan kelapa, penghijauan Wonosido, Semayu dan Dalim, semua hal yang sangat penting, yang diurus dengan sangat baik oleh bupati. Di bidang pendidikan mendirikan sekolah pribumi bernama "Mardi-Kenyo dan gedung societeit (hiburan)  bernama "Tanggal Pandriyo Darmo".

Penghargaan Terhadap Kinerja Pemerintahan

Oleh karena berbagai prestasi kerja dan jasa di bidang pemerintahan tersebut maka sejumlah penghargaan diberikan padanya. Pada tahun 1898 Poerboatmodjo menerima gelar Adipati. Pada tahun yang sama (bertepatan dengan hari lahir Ratu Belanda) menerima songsong (payung kehormatan) kuning;

Tahun berikutnya yaitu 1901 menerima bintang jasa ridderkruis in de Oranje-Nassau-orde dan pada tahun 1908 ridderkruis in de Orde van de Nederlandse Leeuw. Puncak dari keseluruhan penghargaan adalah menerima gelar Pangeran dengan melalui besluit 1 Oktober 1910. Gelar “pangeran” yang diterima Poerboatdmodjo merupakan pengakuan terhadap kompetensi dan pencapaian kinerja di bidang pemerintahan.

Sakit dan Kewafatan

Lazimnya orang yang telah memasuki usia senja dan mulai mengalami sejumlah penurunan kesehatan fisik, demikianlah yang terjadi pada Poerboatmodjo. Sebelum maut menjemput, sang bupati dengan banyak prestasi tersebut dikatakan terserang een influenza, gevolgd door longontsteking (sakit flu dengan diikuti radang paru-paru) sejak 6 Oktober 1928. Pada tanggal 13 Oktober tepat pukul 12.00 Sang Bupati dengan gelar “Adipati” dan “Pangeran” menghembuskan nafasnya yang penghabisan dan menghadap Sang Khalik. Surat kabar De Locomotief menyebutkan saat menghembuskan nafas terakhir, Poerboarmodjo berada di Petanahan.

Di hari pemakamannya yang penuh khidmat (De plechtige teraardebestelling), sejumlah pejabat tinggi dan kolega nampak hadir yaitu, Residen Bagelen, Tuan J.S. Kanter, Bupati Banyumas, Banjarnegara, Kebumen, Magelang, Temanggung, Wonosobo, Demak, Trenggalek, Nganjuk, Wates, Patih Bupati Pakoealaman, Pensiunan Bupati Purworejo, Tjokronagoro, Mantan Bupati Sleman, ir. Natadiningrat, Asisten Residen Purworejo dan Purwokerto, sekretaris Griethuyzen, pensiunan Mayor Van der Horst, tuan-tuan dari perusahaan gula "Purworejo" dan "Rembun". Kanjeng Susuhunan Surakarta, Pangeran Mangkoenegoro dari Solo, dan para utusan Voolksraad yaitu R.M.A.A. Koesoemo-Oetojo dan Pangeran Koesoemojoedo.

Ada lima puluh karangan bunga yang menghiasi rumah duka, termasuk dari Gubernur Surakarta Bapak Van der Jagt. Ini menunjukkan betapa luas pengaruh almarhum di kalangan pejabat Eropa maupun pribumi termasuk kalangan kraton.

Peti jenasah diiringi oleh ribuan masyarakat yang mengikuti rombongan; Prosesi perlahan menuju makam keluarga Giri Tjoemantoko yang terletak kurang lebih 2,5 pal (kurang lebih 3,75 km) di sebelah barat Koetoardjo. Setelah sekitar satu jam berjalan, arak-arakan itu tiba di kaki sebuah bukit di mana kuburan itu berada. Kemudian arak-arakan naik gunung, sangat lambat, karena jalannya curam, demikian tulis surat kabar De Locomotief. Giri Cumantaka saat ini berlokasi di Bukit Satria, Kecamatan Butuh Kabupaten Purworejo.

Sumber: https://sinar.big.go.id/Pencarian/Detail/137405

Sebelum peti mati (kist) dimasukkan ke dalam bumi, Residen Bagelen dan Bupati Kebumen memberikan sambutan atas nama pemerintahan Eropa dan pribumi. Setelah pembacaan talkin (bimbingan mengucapkan kalimat syahadat atau kalimat yang baik yang dibisikkan kepada seorang mukmin yang telah menampakkan tanda-tanda kematian atau telah wafat) dilanjutkan tabur bunga oleh para pelayat.

Demikianlah jejak kisah Bupati Kutoarjo yang warisan karya dan kinerjanya masih dapat kita lihat dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Kutoarjo. Zijn asch ruste in vrede!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar