Senin, 27 Februari 2023

GUNUNG BULUPITU DALAM TESTIMONI LAPORAN TRIANGGULASI 1857

Apa yang kita pikirkan jika mendengar nama “Bulupitu?” Sebagai orang Kebumen tentu pikiran kita terarah pada sebuah perbukitan di Desa Tunjungseto yang disakralkan dan menjadi lokasi wisata religi di masa kini. Nama Bulupitu diidentikan dengan Nawangwulan (ada yang menyebut “Nawangsasi”) dan Jaka Sangkrip alias Arung Binang I.

Wanawisata Edukasi dan Wisata Religi

Terletak di desa Tunjungseto Kecamatan Kutowinangun, Gunung Bulupitu sejak tahun 2015 bukan hanya dijadikan lokasi wisata religi melainkan menjadi obyek Wanawisata dan Edukasi. Salah satunya di lokasi ini pernah dibuka kegiatan untuk flyng fox dan outbond dengan dibuat jembatan gantung yang dipasang dari satu pohon ke pohon lainnya dan keberadaan rumah pohon. Namun sejak terjadinya peristiwa kecelakaan berupa jatuhnya pengunjung di jembatan gantung, maka wisata edukasi ini sudah lama dihentikan (informasi diperoleh dari Jurukunci Bapak Ali Wingyo).

Bulupitu atau sekarang bernama “Kraton Suci Bulupitu” di awali dengan sebuah gapura berwarna hijau (sebelumnya berwarna biru) dengan anak tangga kurang lebih 200-an lebih. Menaiki tangga demi tangga kita akan disuguhi pemandangan hijau pohon yang rimbun dengan ukuran besar. Tentu saja dengan pesona mistis yang melekatinya.

Sesampai dipuncak bukit di sebelah kanan dan kiri ada ruangan bagi peziarah untuk beristirahat, serta musholla kecil. Ada pula anak tangga menuju ke cungkup makam yang dinamai Kanjeng Gusti Ayu Dewi Nawangwulan yang diapit makam yang masing-masing diberi nama Bagus Klantung dan Bagus Cemeti.

 

Menurut keterangan Bapak Ali Wingyo yang mengabdi sebagai jurukunci keberadaan bangunan ini dibangun sejak tahun 1963. Sebelum dibangun dahulu hanya ada tiga gundukan tanah diberi cungkup dan payung kertas. Atas inisiatif seseorang dari Solo maka lokasi ini dibangun dengan menggunakan arsitek dari Solo juga. Dalam perkembangannya Kraton Suci Bulupitu mengalami sejumlah renovasi dari pihak pemerintahan daerah Kebumen.

Keanekaragaman Hayati di Bulupitu

Memasuki kawasan hutan di Bukit Bulupitu kita akan disuguhi pemandangan sejumlah pohon yang berusia ratusan tahun yang dilestarikan dan di lindungi tumbuh dengan subur mulai dari Pohon Bulu (Ficus Annulata), pohon Rao (Dragon Tomelon), pohon Manggisan (Garcinia) serta  Kenari Lugut (Canarium) dll.

  

Namun menurut keterangan Bapak Ali Wignyo, keberadaan pohon Bulu yang paling tua dan ratusan tahun hanya yang ada di pintu regol memasuki Kraton  Bulupitu sementara pohon Bulu yang lain masih berusia puluhan tahun karena proses regenerasi saja (mati dan tumbuh yang baru). Menurut keterangannya sejak dahulu hanya ada enam pohon Bulu di hutan ini dan yang ketujuh berada di desa sebelah yaitu desa Somagede yang juga terdapat sumber mata air yang diyakini tempat mandi Jakasangkrip.

Benar tidaknya pernyataan Bapak Ali bahwa pohon Bulu di hutan ini hanya berusia puluhan tahun dan yang ratusan tahun hanya tingga satu tentu harus diperbandingkan dengan penelitian usia pohon secara keilmuan. Namun itu persoalan lain tentunya.

Sedikit catatan bahwa pembuatan rumah kayu dan pemasangan papan dan kayu menggunakan paku-paku yang menancap pada pohon berusia puluhan atau ratusan tahun, agak disayangkan karena kontradiktif dengan niatan untuk melakukan konservasi. Sebaliknya, tindakan ini bisa menyebabkan dekonservasi.

Bulupitu Dalam Cerita Babad

Seperti disebutkan sebelumnya bahwa keberadaan Gunung Bulupitu tidak bisa dilepaskan dari nama tokoh Jakasangkrip alias Surawijaya alias Arung Binang I dan Dewi Nawangwulan (Nawangsasi).

Merujuk pada Babad Kebumen (Soemodidjojo, 1935) dikisahkan atas petunjuk mahluk gaib penunggu Gua Menganti yaitu Ki Kerta dan Gua Moros yaitu Kombang Ali-ali, maka Jakasangkrip diperintahkan untuk bertapa di Gunung Bulupitu di bawah pohon Bulu dan pohon Benda di tepian sebuah sumber mata air atau beji. Dalam tapa bratanya Jakasangkrip bertemu peri bernama Dewi Nawangwulan dan diberi pusaka Naracabala serta dijadikan istri. Konon menurut petunjuk sang dewi, Jaka Sangkrip diminta membuat gara-gara dengan mencegat para mantri pamajegan yang akan mengirim bulubekti ke Kartasura yang mana akan menjadi pengantara dia bertemu raja dan mengabdi serta diberi kedudukan sebagai Mantri Gladag dan diberi julukan Ngabehi Honggowongso.

Kisah yang sama diceritakan dalam Babad Arungbinangan (Mangoensoeparto, 1935) namun lokasi di mana Jakasangkrib bertapa disebut Desa Prajuritan. Karir Jakasangkrib naik dan mengabdi di Kraton Surakarta karena berhasil menumpas kekacauan yang diakibatkan oleh Damarwulan (Raden Supena) dan Menakkoncar (Raden Suratma) di Banyumas, sehingga kesalahan Jakasangkrib yaitu menghadang mantri pamajegan diampuni dan dijadikan Bupati Nayaka dengan gelar Tumenggung Arung Binang. Sementara Babad Arung Binang (Raden Reksodirdjo, tanpa tahun) tidak menceritakan sama sekali kisah Jakasangkrip dan Dewi Nawangwulan dan lebih banyak memberikan berbagai peristiwa penting berkaitan karir Jaka Sangkrip dan pembuangannya serta peristiwa Perang Jawa dan berdirinya Kebumen dengan Bupati Arung Binang IV sebagai bupati pertamma.

Tidak heran jika Prof Sugeng Priyadi mengatakan, “Teks Babad Arung Binang ini ternyata lebih menunjukkan realitas sejarah daripada teks Babad Kebumen dan babad Arungbinangan” (Sejarah dan Kebudayaan Kebumen, 2004:67).

Siapakah Raden Bagus Cemeti dan Raden Bagus Klantung?

Tidak ada keseragaman pendapat. Di masyarakat beredar pendapat bahwa keduanya adalah putra Jakasangkrip dengan Dewi Nawangwulan sementara ada pendapat itu hanya nama-nama pusaka yang dikuburkan di Bulupitu. Cerita lain mengatakan bahwa bukit Bulupitu dahulunya hanya hutan namun saat seorang bernama Jaka Sangkrip yang mengalami penyakit kulit bertemu seorang peri bernama Dewi Nawangsih yang setelah berhasil menyembuhkan Jaka Sangkrip melalui mandi di sebuah air sumur akhirnya menjadi istrinya dan melahirkan putri bernama Dewi Nawangsasi.

Bahkan kesimpangsiuran sudah terjadi di era kolonial. Th. Pigeaud dalam bukunya Javaanse Volksvertoningen menyebutkan bahwa Bagus Cemeti adalah roh yang menunggu di Gua Karangbolong dan salah satu dari anak mitologis kelima dari pasangan Kiai Surti dan Dewi Tisnawati. Kiai Surti adalah yang menemukan sarang burung walet namun yang dibunuh oleh abdinya yaitu Bekel Napsijah. Sementara Dewi Tisnawati adalah roh yang memberi petunjuk keberadaan sarang burung walet (1938:101)

Bulupitu Dalam Sebuah Laporan Pengukuran Trianggulasi Tahun 1857

Sejak era kolonial, telah banyak upaya dilakukan untuk melakukan pendefinisian datum geodetic atau sistem referensi geospasial sebagai acuan dalam kegiatan survey dan pemetaan. Menurut beberapa sumber, penentuan posisi dengan triangulasi (pencarian titik kordinat) dimulai pada tahun 1862 yaitu jaring utama triangulasi di Pulau Jawa dan selesai pada tahun 1880 yang terdiri dari 114 titik, ditempatkan di puncak-puncak gunung, dengan tiga basis.

Trianggulasi adalah proses mencari koordinat dan jarak sebuah titik dengan mengukur sudut antara titik tersebut dan dua titik referensi lainnya yang sudah diketahui posisi dan jarak di antara keduanya dengan menggunakan hukum sinus. Trianggulasi digunakan bidang pemetaan, navigasi, metrologi, astrometri.

Namun dengan membaca buku laporan karya G.A. De Lange berjudul, Verslag van Geodesische Trianggulatie van Residentie Bagelen en Kedoe yang diterbitkan tahun 1857 kita mendapatkan informasi berharga bahwa kegiatan pemetaan sudah dilakukan di wilayah Karesidenan Bagelen dan Kedu termasuk wilayah yang Kebumen sebelum tahun 1860.

Ada yang menarik dari buku laporan tersebut karena berisikan sejumlah jurnal perjalanan baik tanggal dan jam serta tahun di wilayah yang disambangi penulisnya termasuk di beberapa wilayah Kebumen kuno khususnya sebuah bukit yang terkenal di masa kini dengan sebutan Kraton Bulupitu.

Pada halaman 13, penulis buku laporan tersebut membuat jurnal tertulis sbb:

Pukul 1 siang saya kembali dari lokasi observasi ke Karanganjar dan langsung melanjutkan perjalanan ke Keboemen. Saya menghabiskan beberapa waktu dengan Tuan Lange, Asisten Residen di sana, dan tiba di Kedong Tawon malam itu.

Di sekitar desa ini terdapat bukit Boeloepitoe. Bukit ini mengambil namanya dari tujuh pohon Boeloe (de zeven Boeloe-boomen) yang berdiri di puncaknya. Di bawah naungan pohon-pohon ini ditemukan sebuah kuburan yang terawat baik (een goed onderhouden grafplaats), di mana anggota keluarga Bupati Keboemen dimakamkan (waar de leden van de familie van den regent van Keboemen begraven liggen)

Bukit ini terlihat dari laut dan terkadang berfungsi sebagai pengintaian bagi para pengintai. Saya bermalam di desa Kedong-Tawon dan pergi ke lokasi pengamatan keesokan paginya. Saya menyelesaikan pengamatan saya dan pergi ke Pituruh keesokan harinya. Dari sana saya menunggang kuda pada pagi hari tanggal 12 Mei menuju desa Somogede, lalu mendaki (gunung) Kembang yang terjal.

Apa yang bisa kita dapatkan dari laporan setebal 61 halaman ini? Pertama, kita bisa membayangkan landskap Bulupitu saat masih perbukitan dengan tujuh pohon bulu dan belum didirikan sebagai bangunan seperti sekarang ini. Kedua, menurut laporan ini keberadaan pohon Bulu sebanyak tujuh buah berada dalam satu kawasan dan tidak terpisah. Saat ini keberadaan pohon Bulu di kompleks Kraton Bulu Pitu ada enam. Ada yang mengatakan satu pohon telah tumbang dan mati namun ada yang mengatakan yang ketujuh berada di Desa Somagede tetangga Desa Tunjungseto.

Ketiga, disebutkan hanya ada satu makam dalam kondisi yang baik dan terawat dan disebutkan masih kerabat bupati Kebumen. Testimoni tentang jumlah makam dan makam siapa dari penulis laporan ini yaitu G.A. De Lange belum membuktikan pengetahuan penulisnya mengenai asal-usul makam namun setidaknya memberikan testimoni paling awal bahwa di kawasan hutan ini sudah ada pohon Bulu dan makam yang terawat baik. Keempat, kita memperoleh informasi bahwa Asisten Residen Kebumen saat itu bernama Lange atau J.F.W.A. Lange yang menjadi Asisten Residen Kebumen dari tahun 1857-1860. Jika demikian, siapakah Bupati Kebumen yang memerintah saat itu? Arung Binang V alias Bagus Sanglir yang memerintah dari tahun 1849-1877 (Teguh Hindarto, Melihat Kehidupan Sosial di Kebumen Melalui Karya Litografi 1852 - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/07/melihat-kehidupan-sosial-di-kebumen_27.html).Kelima, moda transportasi kala itu adalah kuda dan kereta kuda. Itulah sebabnya untuk berpegian dari satu lokasi ke lokasi lain, penulis laporan ini yaitu G.A. De Lange harus mengendarai kuda.

Sebuah dokumen kuno (surat, surat keputusan, lembar negara, buku, majalah, jurnal, surat kabar) dan karya litografi serta foto lama dapat menghubungkan masa kini dan masa lalu. Dokumen laporan pengukuran trianggulasi 1857 telah menghubungkan masa lalu dan masa kini Gunung Bulupitu

 

2 komentar:

  1. Terima kasih referensinya Pak Teguh H. Menambah khasanah keilmuan tentang kekebumenan.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Terimakasih moral supportnya. Istilah menarik "Kekebumenan"

      Hapus