Kamis, 16 Februari 2023

MEMBACA PERISTIWA GEMPA DI KEBUMEN 1852 DAN 1898

Foto Gempa di Wonosobo Tahun 1924 (Algemeen Handelsblad, 16 Desember 1924)

Bencana gempa bumi di Turki yang terjadi pada 6 Februari 2023 pagi hari pukul 04.17 waktu setempat dengan magnitudo 7,8 yang semula tercatat memakan korban 12.000 jiwa saat artikel ini tuliskan telah mencapai 41.132 jiwa. Sebuah peristiwa yang menyedihkan dan menarik perhatian kemanusiaan sedunia.

Indonesia – sebagaimana kerap kali disampaikan para pakar kegempaan – memiliki w2/3 wilayah yang rawan kegempaan, tentu menjadikan peristiwa ini sebagai sebuah alarm kewaspadaan. Sebagaimana dikatakan Daryono (Kepala Pusat Gempa dan Tsunami Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika) dalam artikelnya, “Hasil kajian Pusat Studi Gempa Nasional menunjukkan bahwa ada 295 segmen sesar aktif di Indonesia” (Pelajaran Dari Gempa Turki, Kompas, 16 Februari 2023).

Dari penjelasan Daryono, ada bagian yang menarik perhatian ketika menghubungkan antara mitigasi bencana dengan pemahaman historis mengenai peristiwa kegempaan di masing-masing wilayah kegempaan. “Jangan melupakan sejarah, dalam hal ini adalah sejarah gempa. Dalam seismologi kita mengenal adanya konsep periode ulang (returns period). Setiap gempa kuat yang pernah terjadi di suatu tempat akan terjadi lagi sebagai perulangan”, demikian tulis Daryono. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa aktivitas sesar aktif yang mengakibatkan gempa yang merusak sudah teridentifikasi sejak tahun 1600 di berbagai wilayah Nusantara.

Omong-omong mengenai gempa dan kesadaran historis mengenai peristiwa gempa di masing-masing wilayah, Kabupaten Kebumenpun telah mengalami sejumlah peristiwa kegempaan sejak era kolonial (sejauh yang terdokumentasikan dalam sumber-sumber kolonial berupa jurnal dan berita surat kabar). Dari sekian peristiwa gempa kita akan melihat laporan berita tahun 1852 dan 1898. Mengapa tahun tersebut yang dipilih? Karena efek kegempaannya besar dan merusak sementara tahun-tahun yang lain hanya berupa goncangan dan getaran kecil belaka.

Sebuah berita pendek yang dimuat surat kabar Arnhemsche Courant (22 Desember 1852) menuliskan sbb:

“Dari Poerworejo sejak tanggal 18 Oktober dilaporkan bahwa di Keboemen, pada tanggal 13 Oktober sekitar pukul 12 siang, terjadi empat gempa berturut-turut (vier elkander opvolgende schokken van aardbeving) bergerak ke arah timur, menyebabkan kerusakan pada bangunan pemerintah atau bangunan lainnya; kemudian pada tanggal 15 bulan yang sama, sekitar jam 8 malam, dirasakan sembilan kali getaran gempa yang sangat kuat dirasakan dari arah yang sama, sedemikian rupa sehingga dinding ruang penyimpanan kas (geldkamer) dan kantor (bureaux) di Keboemen mengalami retak. Namun, rumah asisten residen yang baru dibangun di Keboemen tidak mengalami kerusakan”

Sayangnya tidak diberikan keterangan kekuatan gempa yang terjadi. Barangkali teknologi untuk mengukur kekuatan gempa masih terbatas. Rancangan seismograf saja baru dibuat Luigi Palmieri tahun 1855 (Ada yang mengatakan Filippo Cecchi yang menemukan pertama kali tahun 1875) dan Skala Mercalli baru ditemukan tahun 1902 serta Skala Richter baru ditemukan tahun 1935. Namun dari deskripsi berita di mana terjadi sejumlah retakan dan kerusakan bangunan pemerintahan dan bangunan lainnya, maka gempa ini dipastikan menimbulkan sejumlah kerusakan serius.

Ada penggalan informasi menarik dari berita peristiwa gempa ini bahwa gedung asisten residen (sekarang menjadi kantor Bupati Kebumen) ternyata dibangun tahun 1852 sekalipun pemerintahan Kebumen sudah berlangsung sejak 1830.

Berita selanjutnya ditulis di surat kabar Sumatra Courant (8 Desember 1898) sbb:

“Pesan yang diterima dari Residen Bagelen melaporkan bahwa akibat gempa pada malam tanggal 2 tahun ini beberapa retakan muncul di gedung sekolah Eropa di Keboemen, di rumah dan tiang batu kandang kuda milik bupati, di tiang-tiang rumah dan gedung kantor wedono. Rumah asisten residen di Karanganjar juga retak di dua tempat,sementara tiang batu rumah transit (passantenhuis) di ibu kota kawedanan Gombong, yang sekarang digunakan untuk menggerakan artileri (batterijen) dari Babakan ke garnisun mereka, mengalami kehancuran. Selain itu, di distrik Karanganjar, Gombong, Poering dan Karangbolong, sebanyak 44 rumah penduduk besar dan kecil, kandang dan lumbung roboh atau hancur menyebabkan kerusakan sekitar 500 jiwa penduduk. Seorang warga pribumi lanjut usia di dessa Gandoesarie, distrik Poering, diambil dari kolong rumahnya dengan luka-luka dan kehilangan kemampuannya untuk berbicara (spraakvermogen verloren)”

Dari petikan berita tersebut kita bisa membayangkan sejumlah kerusakan yang menghantam sejumlah gedung sekolah, gedung pemerintahan bahkan tempat kuda bupati serta sejumlah tiang penyangga rumah. Bukan hanya gedung pemerintahan bahkan rumah-rumah penduduk yang mengalami kerusakan parah dengan memakan korban sekitar 500 jiwa.

Tahun 1937 tercatat sebuah peristiwa gempa yang menyebar di beberapa wilayah di Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur. Dalam sebuah berita berjudul, De Aardbeving op Java (Gempa di Pulau Jawa) yang dimuat surat kabar Provinciale Geldersche en Nijmeegsche Courant (29 September 1937) menyebutkan “Observatorium meteorologi di Batavia mencatat gempa yang cukup dahsyat pada pukul 16.37, yang melumpuhkan dua pena seismograf. Jaraknya sekitar 600 Km. dari Batavia, arahnya sulit ditentukan, tetapi mungkin Timur-Tenggara”. Beberapa kabupaten dilaporkan mengalami sejumlah kerusakan mulai dari Kediri, Yogyakarta, Semarang, Banyumas. Namun sejauh data yang diteliti, nama Kebumen tidak disebutkan mengalami kerusakan. Mungkin luput dari pemberitaan koran saat itu saja.

Dari pengungkapan berbagai peristiwa gempa yang pernah melanda Kebumen khususnya tahun 1852 dan 1898 (dan mungkin 1937?), bisa menjadi sebuah petunjuk kewaspadaan sebagai bagian dari penerapan kesadaran historis sebagai bagian dari mitigasi bencana. Sebagaimana peristiwa banjir bandang pernah terjadi di wilayah Kebumen tahun 1861 (Teguh Hindarto, Kebumen Dalam Peristiwa Banjir 1861 - https://www.qureta.com/post/kebumen-dalam-peristiwa-banjir-1861-1) maka peristiwa gempa 1852 dan 1898 menjadi peringatan untuk melakukan berbagai kebijakan preventif bukan reaktif

 

 

 

2 komentar:

  1. Siklus gempa besar terdeteksi berapa tahun sekali min?

    BalasHapus
    Balasan
    1. Saya mengutip pernyataan Daryono kembali pada tahun 2021 yang disitir dalam laman merdeka.com sbb:

      "Perulangan gempa besar atau return period secara konseptual ada dan pasti terjadi, karena peristiwa gempa besar adalah siklus. Tetapi masih sulit untuk memastikan kapan terjadinya perulangan gempa besar itu. Memang ada metoda statistik untuk menghitung periode ulang gempa, tetapi belum ada yang tepat menghasilkan informasi yang valid terkait kapan gempa besar akan terjadi pada tahun berapa, bulan apa atau bahkan tanggal berapa"

      https://www.merdeka.com/khas/bmkg-gempa-besar-merupakan-siklus-pasti-terulang-wawancara-khusus.html

      Hapus