Rabu, 18 Mei 2022

RUMAH-RUMAH BERLANGGAM INDISCH DI WONOSIGRO DAN SIDAYU KECAMATAN GOMBONG

Setiap kali jika berkendara menuju Purwokerto atau Banjarnegara selalu menempuh jalur Sempor atau Somagede. Jika menempuh jalur Sempor akan melewati jalanan desa yang menghubungkan Wonosigro dan Sedayu. Di tepian jalan tersebut berdiri sebuah bangunan yang selalu menarik perhatian saya dan seperti kebiasaan yang sudah-sudah seolah “memanggil” untuk dilihat. Jika sudah demikian biasanya penulis akan meluangkan waktu untuk memotret dan mencari tahu kisah di balik bangunan tua tersebut.


Bangunan tua ini tegak berdiri di antara rumah-rumah warga yang sudah berbentuk bangunan masa kini. Sayangnya penulis tidak mendapatkan keterangan apapun mengenai rumah ini dan pemiliknya, sebagaimana telah ditanyakan kepada tetangga sebelah rumah.

Terlepas dari ketidakjelasan identitas pemilik rumah, sebagai sebuah kawasan yang tidak jauh dari benteng Cochius (sejak tahun 2000 dinamakan Van der Wijck ) dan tempat pendidikan militer remaja bernama Pupillen School (sekarang aula dan hotel) serta Militair Hospitaal (sekarang DKT) yang terletak di sebelah selatan, maka bangunan ini bisa jadi dahulu bagian dari rumah salah satu pejabat militer. Bisa jadi hanya rumah penduduk Eropa biasa, sebelum berpindah tangan kepada orang pribumi. Belum ada kepastian untuk itu sampai sejauh ini. Berkaitan dengan silahkan membaca artikel yang pernah penulis tuliskan sebelumnya yaitu, Mengidentifikasi Sejumlah Bangunan Kolonial di Kota Gombong (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/08/mengidentifikasi-sejumlah-bangunan.html) dan Suasana Gombong Menurut Testimoni 1898: Dari Fort Cochius dan Pupillen School Hingga Militaire Hospitaal (https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/09/suasana-gombong-menurut-testimoni-1898.html)

Ditengah kelusuhan dan kesuraman yang melekati bangunan tua ini, langgam kolonial nampak jelas pada struktur dan fasad depan rumah bergaya Indisch ini. Gaya Indisch adalah pertukaran dan simbiosis gaya arsitektural Barat (yang diwakili kolonial Belanda) dan Timur (yang diwakili pribumi khususnya Jawa) sebagaimana dijelaskan Djoko Soekiman dalam bukunya, Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa (Abad XVIII – Medio Abad XX) (Yogyakarta 2000).

Tembok yang tebal sehingga sukar roboh dimakan usia serta menciptakan hawa sejuk/dingin dapat terlihat dengan jelas. Hiasan kemuncak tampak depan (geveltoppen) yang biasa berbentuk segitiga kali ini berbentuk lengkungan yang menonjol ke muka. Ornamen-ornamen terbuat dari material besi di samping lengkungan memperkuat karakter Eropa.

 

Ciri-ciri arsitektural peninggalan kolonial lainnya adalah penggunaan pintu kayu dengan lubang angin yang besar dan penggunaan jendela berlapis atau biasa disebut krepyak atau jalusi untuk menjamin pertukaran udara yang cukup.

Kata beranda tentu sudah lazim kita dengar. Artinya, ruang beratap yang terbuka (tidak berdinding) terletak di samping rumah atau di antara rumah. Kata ini berasal dari bahasa Belanda, verandah. Salah satu ciri rumah peninggalan Belanda adalah keberadaan verandah. Sekalipun sudah lapuk dan kusam, keberadaan verandah masih terlihat dalam bentuk bangunan tua ini.

Sekarang kita bergeser ke rumah tua berikutnya di dukuh Sudikampir desa Sidayu kecamatan Gombong. Pemiliknya bernama Ibu Asri Lasmita yang dahulu dihuni ayahnya yang seorang pelukis bernama Bambang Sugiyarto yang juga menerima rumah ini dari sang kakek bernama Raden Aruman Mangunsumarto. Sang kakek pernah bekerja di kantor pajak era kolonial

Menurut Ibu Asri Lasmita, sang kakek membeli rumah ini dari seorang Belanda. Konon dulu ada surat jual belinya. Sayang sudah tidak terlacak bukti materialnya.

Rumah orang Belanda di Jawa termasuk Gombong tidak selalu bercorak Eropa sepenuhnya karena tidak cocok dengan iklim tropis yang hangat. Jika rumah Eropa cenderung tertutup untuk mengumpulkan udara hangat serta bercerobong, tidak demikian rumah orang Eropa di Jawa.

Jika rumah sebelumnya di Wonosigro memperlihatkan fasad depan bergaya Eropa dan samping ke belakang bergaya Jawa, maka rumah yang ditinggali ibu Asri Lasmita memperlihatkan corak Jawa yang kental sekalipun tidak meninggalkan gaya Eropa. Penggunaan atap limasan sekaligus penggunaan pintu yang lebar serta jendela yang banyak menjamin sirkulasi udara yang maksimal.

 

Rumah ini menghadap utara dengan pemandangan perbukitan. Jika tidak ada rumah yang berdiri di bagian depan halaman saat ini maka diperkirakan di masa lalu ketika pintu rumah di buka lebar maka akan langsung melihat perbukitan yang menghijau sejuk.

Di halaman depan rumah masih terlihat kokoh regol (pintu pagar) yang dicat putih, menjadi ciri khas rumah-rumah kuno di era kolonial di kawasan pedesaan.

Tidak semua rumah kuno berlanggam Indisch - yang bisa dikatakan Eropa bukan Jawa bukan – memiliki kisah dan cerita penting. Bisa jadi hanya sebuah rumah yang pernah ditinggali oleh orang biasa yang menjadikannya sebagai tempat untuk beristirahat dan bercengkrama bersama keluarga. Namun jika keberadaan rumah-rumah tua ini  dirawat dan direstorasi maka generasi masa kini bisa melihat bahwa desa atau kotanya memiliki jejak-jejak masa lalu yang diwakili oleh sebuah struktur dan fasad bangunan.

Bangunan peninggalan era kolonial yang dirawat dan dialihfungsikan sebagai sebuah penanda jejak perjalanan sebuah desa/kota di masa lalu. Sementara bangunan baru yang berdiri sebagai penanda penciptaan jejak di masa kini. Dengan demikian sebuah kawasan baik kota atau desa menjadi ruang pertemuan antara masa lalu dan masa kini yang diwakili keragaman bangunan lama dan baru.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar