Sabtu, 07 Agustus 2021

MENGIDENTIFIKASI SEJUMLAH BANGUNAN KOLONIAL DI KOTA GOMBONG

Di era kolonial, Gombong merupakan sebuah district (kawedanan) yang berada di bawah regentschap (kabupaten) Karanganyar. Gombong identik dengan kota militer karena dihubungkan dengan keberadaan sebuah benteng bernama Fort Cochius (sejak tahun 2000 menjadi benteng Van der Wijck) dan barak-barak militer. Pada tanggal 1 Januari 1936, Kabupaten Karanganyar (di mana Gombong berada di dalamnya) digabungkan menjadi sebuah kecamatan di kabupaten Kebumen.

Ada sebuah deskripsi menarik mengenai Gombong pada tahun 1925 melalui catatan seorang saksi mata dari kalangan badan misi yang membuka pendidikan untuk kalangan Kristen dan pribumi di Gombong. Melalui catatan yang dimuat dalam sebuah buku peringatan 25 tahun keberadaan Badan Misi Gereja Friesche (kelak menjadi Gereja Kristen Jawa), kita mendapatkan sejumlah informasi menarik mengenai situasi sosial Gombong.

Kita akan melihat secara salah satu keterangan saat penulisnya memberikan deskripsi saat dirinya baru saja turun dari perjalanan melalui kereta api. Petikan deskripsi ini ditulis oleh G.P. Hamer dengan judul “Gombong” dalam buku  Schetsen en Herinneringen (1925: 103) sbb:

Sekarang kereta kembali ke Timur; di perbatasan Banjoemas dan Kedoe ia melewati terowongan Idjo sepanjang 500 meter dan lima menit kemudian berhenti di depan stasiun Gombong. Sekarang pukul tiga lewat seperempat. Kami senang berada di sini. Perjalanan delapan jam seperti itu membuat Anda berdebu dan kotor dan paling tidak berkeringat.

Ngomong-ngomong, di depan stasiun ada banyak gerobak di depan setiap stasiun di Hindia, meskipun di kota-kota besar mereka baru-baru ini telah dibersihkan dari ladang untuk taksi; kami memasukkan tas kami ke dalam dokar dan mengambil tas lain sendiri.

Sekarang keluar dari jalan stasiun di sudut jalan adalah pegadaian pemerintah, sebuah institusi yang lebih ramai daripada passar dan bioskop...

Berbagai dokumen era kolonial berupa berita surat kabar, artikel koran, artikel jurnal, laporan-laporan pemerintah, buku-buku panduan pariwisata, buku peringatan, buku bertema ilmu pengetahuan, ensiklopedi serta surat-surat pribadi, dapat menjadi sumber informasi melihat aktifitas sosial budaya di kota kita. Sumber-sumber berharga tersebut bisa menjadi rujukan melakukan rekonstruksi kehidupan sosial ekonomi serta budaya di masa lalu sehingga dapat melengkapi materi sebuah sejarah lokal.

Melalui sumber-sumber tersebut kita dapat melakukan pelacakan asal-usul keberadaan sebuah bangunan kuno yang masih berfungsi di masa kini namun sudah mengalami alih fungsi yang berbeda dari kegunaan semula.

G.P. Hamer menuliskan bahwa op den hoek staat ‘t gouvernement pandhuis (Di sudut jalan adalah pegadaian pemerintah). Ternyata lokasi yang dimaksudkan yaitu pegadaian yang berada di ujung jalan setelah keluar dari stasiun masih ada sampai sekarang.

Jika kita memasuki kawasan pegadaian Gombong, di halaman muka telah berdiri gedung baru sebagai pusat informasi. Sementara gedung pegadaian lama berada di belakang gedung yang baru. Sebagian masih difungsikan dan sebagian ada yang sudah tidak difungsikan. Sayangnya kondisi bangunan nampak kurang terawat dengan baik, meskipun struktur bangunan dan fasad bangunan masih terlihat kokoh.

    

Akan lebih baik lagi jika bangunan lama pegadaian dicat dengan warna yang lebih terang dan disterilisasi dari sejumlah benda-benda yang tidak seharusnya ada di sekitar gedung seperti beberapa kayu bakar dan beberapa barang bekas yang tidak terpakai.

Sekalipun G,P. Hamer tidak memberikan deskripsi bangunan lain sebelum menyebutkan gedung pegadaian pemerintah, namun jika kita mengamati bangunan yang sekarang difungsikan sebagai kantor DPU Kebumen Cabang Gombong nampaknya sebuah bangunan yang sudah ada sejak era kolonial. Kondisinya lebih terlihat rapih dan bersih dengan pewarnaan cat yang terang.

Beberapa ciri yang nampak adalah penggunaan elemen atap berbentuk atap limasan dan pelana, dengan sudut kemiringan sekitar tiga puluh derajat atau lebih. Sekalipun tidak terlihat elemen gevel (hiasan berbentuk segi tiga) namun masih terlihat adanya bouvenlicht (lubang angin). Halaman yang luas, pintu-pintu ukuran besar (gigantis) dengan jendela yang terbuka dalam jumlah cukup banyak menjadi salah satu ciri bangunan era kolonial.

Menurut sejumlah nara sumber yang pernah bekerja di lingkungan DPU Cabang Gombong, al., Bpk Mulud (80 th) dan Bapak Sumardi (70 th) bahwa bangunan ini didirikan sekitar tahun 1925 dan masih menjadi bagian kawasan stasiun kereta api. Tidak begitu jelas keberfungsiannya pada masa itu apakah sebuah kantor atau rumah dinas petugas stasiun kereta api.

Pasca kemerdekaan setelah tahun 1945, bangunan ini mulai difungsikan sebagai kantor DPU Kebumen Cabang Gombong dengan pimpinannya berturut-turut sbb: Mardjoened, R.M. Soetrisno, R. Roemintoyo (13 Juli 1974), Sadikoen (10 Juli 1978), Soebijadi (April 1981), D. Soetrisno, BE. (20 Maret 1985), Bambang Sudarmadji, BE., S.Sos., (1990), Sumardi (1996), Tarmuji (2001), Sarikun (2005), Suryantoko (2009), Darno (Mei 2018), Noor Adi Wibowo, ST., M.Eng (1 Feb 2019 – sekarang).


Beberapa foto di bawah ini (sumber foto, Bapak Suparmo) memperlihatkan sejumlah aktivitas di sekitar kantor DPU Gombong al., syukuran kemerdekaan (tahun 1977) dengan makan bersama bancakan alias makan nasi di atas daun pisang dan apel persiapan Pemilu untuk menyukseskan Partai Golkar. Nampak latar belakang pintu yang semula tinggi (gigantis) telah mengalami pemangkasan dan dijadikan tembok tertutup sebagaimana terloihat saat ini.


 

Mengutip pendapat Wijanarka dalam bukunya, Semarang Tempo Dulu: Teori Desain Kawasan Bersejarah, bahwa Kota yang baik adalah kota yang memiliki kenangan tahapan pembangunan. Dengan kenangan tahapan tersebut, sejarah pembentukan kota dapat dinikmati....Adanya pembentukan kawasan yang terbentuk secara berurutan tersebut akan menjadikan kota sebagai lintasan cerita yang dapat dilihat. Produk cerita yang dapat dilihat tersebut pada dasarnya berupa arsitektur kota (urban architecture). Arsitektur kota yang dimaksudkan adalah kekhasan arsitektur kota yang mana antara kota satu dengan kota lainnya memiliki identitas yang berbeda (2007:1). Kiranya sejumlah bangunan lawas peninggalan era kolonial – baik yang masih difungsikan dan dialihfungsikan – khususnya yang berada di kawasan kota Gombong dapat tetap dilestarikan dan dipertahankan keberadaannya, sebagai sebuah kenangan dan penanda peristiwa di masa lalu, khususnya di era kolonial.

Menghilangkan bangunan lama tanpa bekas begitu saja, bukan saja sebagai bentuk kurangnya awareness of history namun berdampak menghilangkan jejak tahapan sejarah yang berlangsung di sebuah kota. Menjadikannya sebagai kawasan perkantoran pemerintah, kafe dan hotel serta museum, lebih baik daripada menghancurkannya bukan? Merawat dan mempercantik bangunan serta mengidentifikasi riwayat historisnya akan semakin memperkuat nilai keberadaan bangunan tersebut dalam lintasan waktu.

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar