Rabu, 04 Agustus 2021

RIJSTAFEL DAN MENU KULINER PERTEMUAN DUA BUDAYA

Sejak Bangsa Belanda datang ke Nusantara maka terjadi sebuah kontak budaya yang saling mempengaruhi satu sama lain. Pertemuan saling silang budaya ini terbalut dalam konteks dan bingkai kolonialisme. Djoko Soekiman menyebut pertemuan dua budaya ini sebagai “Kebudayaan Indis”, “Yaitu kebudayaan campuran yang didukung oleh segolongan masyarakat Hindia Belanda” (Kebudayaan Indis dan Gaya Hidup Masyarakat Pendukungnya di Jawa Abad XVIII-Medio Abad XXI, Bentang Budaya, 200:39).

Percampuran kebudayaan ini meliputi dalam bahasa, model pakaian, bangunan, sistem kemasyarakatan, ilmu pengetahuan termasuk gaya hidup dalam hal ini menu makan. Salah satu gaya makan yang berkembang di Hindia Belanda pada waktu itu adalah rijsttafel. Sementara hidangan yang membuat rijsttafel sebagian besar berasal dari Indonesia, konsep rijsttafel sepenuhnya Belanda. Rijsttafel adalah pesta hidangan yang benar-benar dari seluruh pulau yang membentuk kepulauan Indonesia, disertai dengan nasi.

Sementara penduduk lokal kemungkinan besar akan makan satu atau dua hidangan lokal ke wilayah mereka dalam sekali duduk, namun orang Belanda ingin memamerkan kelimpahan koloni mereka kepada para tamu. Sajian berlimpah ini dalam satu kata disebut rijsttafel. 

Hidangan yang tersaji bisa 20 atau bahkan 30 piring muncul, dalam berbagai tingkat kepedasan dan dengan asal-usul yang berbeda-beda. Beberapa menu Indis al., Salat Solo, Sop Brenebon (dari istilah bruine bonen alias kacang merah), Sop Snerek (dari istilah snert soup alias sop kacang polong), sambal, sate serta nasi goreng


Menu hidangan rijstafel di rumah keluarga Japing di Bandung (Tropenmuseum)

Buku dengan judul Groot Nieuw Volledig Oost-Indisch Kookboek Cartenius van der Meijden merupakan 1381 catatan resep masakan yang dikumpulkan oleh nyonya J.M.J. Catenius van der Meijden. Cartenius van der Meijden (1860-1926) adalah salah seorang wanita Belanda yang menghabiskan hidupnya di Pulau Jawa. Pada abad ke-20 van der Meijden banyak menulis buku panduan rumah tangga dan memasak. Buku itu ditujukan bagi para nyonya Belanda yang bermukim di Hindia Belanda. Buku tersebut sangat populer pada masanya. Sebagai nyonya ia berkepentingan mengetahui semua jenis makanan yang disukai keluarganya. 

Buku resep ini telah mencatat hampir semua jenis masakan Indonesia termasuk beberapa makanan Belanda, mulai dari sup, sayuran hingga puding dan beragam camilan. Buku tersebut diterbitkan oleh G.T.C Van Dorp & CV N.V di Semarang, Bandung dan di Surabaya pada tahun 1942 (Fadly Rahman, Rijsttafel: Budaya Kuliner di Indonesia Masa Kolonial 1870-1942, Gramedia Pustaka Tama 2016). Namun buku ini sudah terbit sejak tahun 1900-an karena beberapa surat kabar telah mengiklannya, salah satunya di surat kabar De Preanger Bode bertanggal 9 April 1903.

Dalam sebuah buku menu masakan oleh J. Braam dengan judul De Indische Tafel (1938) disebutkan adanya menu sambel tempe goreng. jauh sebelumnya, telah diterbitkan sebuah buku menu Indis pada tahun 1870 yaitu Oost Indsich Koekboek dengan 570 resep. Di dalamnya ada menu Indis al, sambel ikan kering, sambel oedang kering, sesate mentool Batawie, sambel badjak, kerrie soep selain menu Belanda seperti klappertart

    

Tahun 2016, Penerbit Komunitas Bambu menerbitkan ulang buku kumpulan menu Nusantara yang telah diiniasi Presiden Sukarno di tahun 1960-an, dengan judul Mustikarasa: Resep Masakan Indonesia Warisan Sukarno.

Era kolonial, bukan sekedar kisah konflik, diskriminasi rasial, kontestasi dan hegemoni, heroisme serta patriotisme sebagaimana tergambar di layar lebar. Interaksi sosial dan pertukaran budaya menjadi sebuahfakta historis yang turut membentuk landskap sosial, ekonomi, kebudayaan termasuk budaya kuliner di kedua belah pihak.

Orang Belanda masih menyukai menu sate dan nasi goreng (bukan sekedar menyanyikan lagu, Geef Mij Maar Nasi Goreng) sebagaimana orang Indonesia menggemari salat Solo, sop Brenebon, sop Snerek.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar