Minggu, 01 Agustus 2021

AMUK DAN KERUSUHAN DI SANGUBANYU (KUTOARJO) 1918

Sumber: Amok, Amok, Amok - Javapost.nl

Sebuah peristiwa kerusuhan singkat pernah terjadi di salah satu desa di Kutoarjo pada tahun 1918, saat masih menyandang status regentschap (kabupaten) di bawah kepemimpinan R.A.A. Poerbohadikoesoemo. Lokasi peristiwa berada di desa Sangoebanjoe (Sangubanyu). Tokoh utama yang menjadi sorotan bernama Kario Taroena. Tanggal peristiwa, 10 Agustus 1918.

Dua surat kabar yang berbeda memberikan laporan yang cukup berharga untuk merekonstruksi peristiwa yang sudah berlalu tersebut. Surat kabar pertama yaitu De Preanger Bode (11 Agustus 1918) menurunkan judul, De Relletjes in het Koetoardjo'sche (Kerusuhan di Kutoarjo). Ulasannya lebih singkat dan berisikan semacam laporan telegram mengenai perkembangan situasi di lapangan ketika kerusuhan itu terjadi dan dapat diatasi dalam satu hari.

Sementara koran kedua yaitu De Locomotief (11 Agustus 1918) menurunkan judul, Het Verzet te Sangoebanjoe (Perlawanan Dari Sangubanyu). Uraiannya lebih panjang dan rinci meliputi akar persoalan dan ulasan kritis mengenai pemerintah daerah setempat yang dianggap kurang merespon dengan cepat peristiwa kerusuhan sehingga harus menerjunkan sejumlah aparat militer di garnisun Purworejo akibat kegagalan penanganan pertama sekalipun telah menerjunkan 118 polisi. Sayang naskah di surat kabar kedua ini banyak kata yang sudah rusak sehingga agak kesulitan menerjemahkan kata tertentu.

Dari kedua laporan surat kabar ini akan kita ringkaskan pokok persoalan kerusuhan lokal yang terjadi pada tanggal 10 Agustus 1918 tersebut. Peristiwa kerusuhan tersebut adalah klimaks setelah berbagai pendekatan selama beberapa hari menemui kegagalan. Namun kedua surat kabar mengambil kesimpulan yang sama bahwa peristiwa kerusuhan ini, Het verzet, dat geen politieke (perlawanan ini tidak mengandung muatan politik).


Sepanjang Abad 19 sampai 20 muncul gerakan Ratu Adil di berbagai wilayah Hindia Belanda sebagai bentuk perlawanan dengan kekuatan ideologis maupun senjata terhadap pemerintahan Belanda. Sebagaimana pernah terjadi di Prembun (Baca: Teguh Hindarto, Gerakan Ratu Adil di Prembun 1939 dan 1940http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/gerakan-ratu-adil-di-prembun-1939-dan.html). 

Peristiwa Kario Taroena mengingatkan sebuah peristiwa amok sebagaimana yang pernah terjadi di Kabupaten Karanganyar semasa masih menyandang status kabupaten (Baca: Teguh Hindarto, Wetan Kali Kulon Kali: Mengenang Kabupaten Karanganyar Hingga Penggabungan dengan Kabupaten Kebumen 1936, 2021:26-27)

Adalah Kario Taroena yang memiliki seorang ayah namun setelah meninggalnya sang ibu, ayahnya menikahi seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Namun ketika sang ayah sudah tidak cocok dengan istri pengganti ini maka dia menikahi perempuan lain sebagai gantinya. Namun istri yang kedua yang ditinggalkannya ini tidak ditalak alias tidak diceraikan secara resmi.

Sebelum sang ayah meninggal, dia mengumpulkan anak-anaknya untuk membagi warisannya. Kario Taroena pun mendapatkan bagiannya berupa pekarangan dan sawah. Pada suatu hari di tahun 1916, ibu tiri Kario Taroena datang dan meminta bagian warisan kepada Kario Taroena. Tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kario.

Namun sang ibu yang mengerti caranya mengurus persoalan ini membawa kasusnya ke pengadilan. Tindakan ibu tiri Kario dikarenakan dirinya merasa belum ditalak secara resmi sehingga meminta apa yang menjadi haknya sebagai istri. Sementara penolakkan Kario dan keluarganya dikarenakan sang ibu tiri telah bertahun-tahun meninggalkan desa mereka dan dianggap sudah menghilang.

Pengadilan memutuskan untuk memenangkan perkara sang ibu tiri Kario dan diharuskan memberi seperdelapan tanah untuk ibu tirinya. Keputusan lainnya, Hasil dari putusan pengadilan ini adalah, bahwa suatu hari tanah warisan itu diambil alih dan jatuh ke tangan Iurah dessa Sangoebanjoe. Namun dengan keras dan sengit Kario tidak mau tahu dan menolak semua keputusan pengadilan tersebut. Dirinya dibantu juga oleh salah seorang temannya yang memiliki pengaruh bernama Soeprawiro.

Dari tahun 1916-1918 Kario tetap menempati tanah dan rumah yang sudah diputuskan pengadilan bukan miliknya lagi. Berbagai upaya mediasi yang dilakukan pemerintah desa selalu gagal. Pada tahun 1918, keluar sebuah keputusan hukuman terhadap Kario oleh pelaporan lurah Sangubanyu karena buah-buah kelapa di pekarangan yang bukan lagi milik Kario selalu dipetik dan dianggap sebagai pencurian.

Namun alih-alih menuruti perintah, Kario menentang dengan sengit keputusan tersebut. Ketika asisten wedono menyampaikan surat penghukuman, Kario mengatakan lebih baik dirinya ditembak mati daripada harus dipenjara.

Kamis pagi atas perintah Controleur Kutoarjo, penangkapan terhadap Kario dilakukan. Hari itu, patih, asisten residen, asisten wedono, mantri-lumbung dan kepala dessa lainnya, serta seratus polisi desa, pergi ke Sangoebanjoe, total orang yang mendatangi lokasi tersebut sebanyak  118 orang.

Insiden dimulai ketika mantri lumbung hendak mengintai kediaman Kario dan pengikutnya justru dipukul dengan kayu sehingga mengalami luka. Dan dengan kekuatan yang tiba-tiba, Kario Taroena muncul dengan sejumlah masyarakat termasuk perempuan didalamnya yang melakukan perlawanan dengan tombak, pacul dan potongan kayu. Ke-118 belas orang tersebut mundur dan gagal menangkap Kario Taroena.

Jumat pagi, pejabat pemerintah daerah berencana menyelesaikan persoalan ini tanpa kekuatan militer. Bersama controlleur dan regent (bupati) Kutoarjo akan meninjau desa Sangoebanjoe namun baru dua pal jauhnya rombongan ini diperingatkan untuk kembali mengingat situasi tidak kondusif. Rombongan akhirnya menuju Purworejo untuk melaporkan situasi kepada Residen Kedoe di Magelang melalui telepon.

Hasil pembicaraan itu adalah Asisten Residen Purworejo, controleur dan regent Kutoarjo pergi ke rumah Residen di Magelang dan dari sana mereka kembali ke Poerworedjo menjelang malam bersama residen. Pada malam itu juga, Residen Kedu bernama Van Santwijk mengadakan pertemuan dengan komandan lokal, Mayor Koch, mengenai rencama pemberian bantuan militer dalam penangkapan kelompok perlawanan

Setelah pertemuan tersebut, Sabtu pagi berikutnya enam puluh prajurit, bersenjatakan bayonet di bawah komando Kapten Aukes, berangkat ke Kutoarjo dan dari sana menuju desa Sangubanyu, bergabung dengan residen dan bupati Kutoarjo.

Ketika Residen Santwijk melalukan mediasi dan meminta Kario menyerah namun ditolak mentah-mentah, maka pasukan militer segera merangsek maju mengepung rumah Kario Taroena. Lima orang berhasil diamankan termasuk Kario Taroena di dalamnya sementara 32 orang lainnya ditangkap serta sisanya kabur tunggang langgang.

Selebihnya isi artikel panjang dalam koran De Locomotief (11 Agustus 1918) ini menceritakan kedatangan sejumlah pejabat terkait dari propinsi yang berusaha melakukan proses investigasi peristiwa kerusuhan tersebut dengan mendatangi rumah Kario Taroena dan keluarganya serta mendengar duduk persoalan dari sudut pandang keluarga.

Artikel ini juga melakukan evaluasi terhadap kinerja pemerintahan daerah yang menaungi wilayah ini sehingga terkesan kurang tegas dalam melakukan eksekusi putusan peradilan dan mengutus 118 orang yang kapasitasnya lebih rendah sehingga dengan mudah dikalahkan yang akhirnya harus menerjunkan kekuatan militer.

Perlawanan Kario Taroena mungkin pelanggaran dengan keputusan hukum yang sah. Kario Taroena tidak patuh pada keputusan hukum yang ditetapkan pemerintah. Namun bisa jadi sikap perlawanannya dikarenakan adanya keputusan yang dianggap tidak adil dan tidak menguntungkan kedua belah pihak. Apalagi sampai Kario Taroena kehilangan hak atas tanah miliknya sendiri.

Filosofi Jawa, sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati (sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati) bisa jadi melatarbelakangi sikap pembangkangan tersebut karena tanah adalah harga diri yang harus dipertahankan hingga mati. Persoalan tanah warisan memang sudah menjadi persoalan klasik. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menyelesaikan perselisihan paham, berkaitan tanah warisan.

Kerusuhan di Sangubanyu tahun 1918 bisa menjadi catatan rujukan perihal persoalan-persoalan sosial yang pernah terjadi di era kolonial, di wilayah Karesidenan Kedu (sebelumnya bernama  Karesidenan Bagelen) dan bagaimana cara pemerintahan yang ada menangani sejumlah persoalan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar