Sumber: Amok, Amok, Amok - Javapost.nl
Sebuah peristiwa kerusuhan
singkat pernah terjadi di salah satu desa di Kutoarjo pada tahun 1918, saat
masih menyandang status regentschap (kabupaten) di bawah kepemimpinan R.A.A.
Poerbohadikoesoemo. Lokasi peristiwa berada di desa Sangoebanjoe (Sangubanyu). Tokoh
utama yang menjadi sorotan bernama Kario Taroena. Tanggal peristiwa, 10 Agustus
1918.
Dua surat kabar yang berbeda
memberikan laporan yang cukup berharga untuk merekonstruksi peristiwa yang
sudah berlalu tersebut. Surat kabar pertama yaitu De Preanger Bode (11 Agustus 1918) menurunkan judul, De Relletjes in het Koetoardjo'sche
(Kerusuhan di Kutoarjo). Ulasannya lebih singkat dan berisikan semacam laporan
telegram mengenai perkembangan situasi di lapangan ketika kerusuhan itu terjadi
dan dapat diatasi dalam satu hari.
Sementara koran kedua yaitu De Locomotief (11 Agustus 1918)
menurunkan judul, Het Verzet te
Sangoebanjoe (Perlawanan Dari Sangubanyu). Uraiannya lebih panjang dan
rinci meliputi akar persoalan dan ulasan kritis mengenai pemerintah daerah
setempat yang dianggap kurang merespon dengan cepat peristiwa kerusuhan
sehingga harus menerjunkan sejumlah aparat militer di garnisun Purworejo akibat
kegagalan penanganan pertama sekalipun telah menerjunkan 118 polisi. Sayang
naskah di surat kabar kedua ini banyak kata yang sudah rusak sehingga agak
kesulitan menerjemahkan kata tertentu.
Dari kedua laporan surat kabar
ini akan kita ringkaskan pokok persoalan kerusuhan lokal yang terjadi pada
tanggal 10 Agustus 1918 tersebut. Peristiwa kerusuhan tersebut adalah klimaks
setelah berbagai pendekatan selama beberapa hari menemui kegagalan. Namun kedua
surat kabar mengambil kesimpulan yang sama bahwa peristiwa kerusuhan ini, Het verzet, dat geen politieke
(perlawanan ini tidak mengandung muatan politik).
Sepanjang Abad 19 sampai 20 muncul gerakan Ratu Adil di berbagai wilayah Hindia Belanda sebagai bentuk perlawanan dengan kekuatan ideologis maupun senjata terhadap pemerintahan Belanda. Sebagaimana pernah terjadi di Prembun (Baca: Teguh Hindarto, Gerakan Ratu Adil di Prembun 1939 dan 1940 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/gerakan-ratu-adil-di-prembun-1939-dan.html).
Peristiwa Kario Taroena mengingatkan sebuah peristiwa amok sebagaimana yang pernah terjadi di Kabupaten Karanganyar semasa masih menyandang status kabupaten (Baca: Teguh Hindarto, Wetan Kali Kulon Kali: Mengenang Kabupaten Karanganyar Hingga Penggabungan dengan Kabupaten Kebumen 1936, 2021:26-27)
Adalah Kario Taroena yang
memiliki seorang ayah namun setelah meninggalnya sang ibu, ayahnya menikahi
seorang perempuan untuk menjadi istrinya. Namun ketika sang ayah sudah tidak
cocok dengan istri pengganti ini maka dia menikahi perempuan lain sebagai
gantinya. Namun istri yang kedua yang ditinggalkannya ini tidak ditalak alias
tidak diceraikan secara resmi.
Sebelum sang ayah meninggal, dia
mengumpulkan anak-anaknya untuk membagi warisannya. Kario Taroena pun
mendapatkan bagiannya berupa pekarangan dan sawah. Pada suatu hari di tahun
1916, ibu tiri Kario Taroena datang dan meminta bagian warisan kepada Kario
Taroena. Tentu saja ditolak mentah-mentah oleh Kario.
Namun sang ibu yang mengerti
caranya mengurus persoalan ini membawa kasusnya ke pengadilan. Tindakan ibu
tiri Kario dikarenakan dirinya merasa belum ditalak secara resmi sehingga
meminta apa yang menjadi haknya sebagai istri. Sementara penolakkan Kario dan
keluarganya dikarenakan sang ibu tiri telah bertahun-tahun meninggalkan desa
mereka dan dianggap sudah menghilang.
Pengadilan memutuskan untuk
memenangkan perkara sang ibu tiri Kario dan diharuskan memberi seperdelapan
tanah untuk ibu tirinya. Keputusan lainnya, Hasil dari putusan pengadilan ini
adalah, bahwa suatu hari tanah warisan itu diambil alih dan jatuh ke tangan
Iurah dessa Sangoebanjoe. Namun dengan keras dan sengit Kario tidak mau tahu
dan menolak semua keputusan pengadilan tersebut. Dirinya dibantu juga oleh
salah seorang temannya yang memiliki pengaruh bernama Soeprawiro.
Dari tahun 1916-1918 Kario tetap
menempati tanah dan rumah yang sudah diputuskan pengadilan bukan miliknya lagi.
Berbagai upaya mediasi yang dilakukan pemerintah desa selalu gagal. Pada tahun
1918, keluar sebuah keputusan hukuman terhadap Kario oleh pelaporan lurah
Sangubanyu karena buah-buah kelapa di pekarangan yang bukan lagi milik Kario
selalu dipetik dan dianggap sebagai pencurian.
Namun alih-alih menuruti
perintah, Kario menentang dengan sengit keputusan tersebut. Ketika asisten
wedono menyampaikan surat penghukuman, Kario mengatakan lebih baik dirinya
ditembak mati daripada harus dipenjara.
Kamis pagi atas perintah Controleur Kutoarjo, penangkapan
terhadap Kario dilakukan. Hari itu, patih, asisten residen, asisten wedono,
mantri-lumbung dan kepala dessa lainnya, serta seratus polisi desa, pergi ke
Sangoebanjoe, total orang yang mendatangi lokasi tersebut sebanyak 118 orang.
Insiden dimulai ketika mantri
lumbung hendak mengintai kediaman Kario dan pengikutnya justru dipukul dengan
kayu sehingga mengalami luka. Dan dengan kekuatan yang tiba-tiba, Kario Taroena
muncul dengan sejumlah masyarakat termasuk perempuan didalamnya yang melakukan
perlawanan dengan tombak, pacul dan potongan kayu. Ke-118 belas orang tersebut
mundur dan gagal menangkap Kario Taroena.
Jumat pagi, pejabat pemerintah
daerah berencana menyelesaikan persoalan ini tanpa kekuatan militer. Bersama controlleur dan regent (bupati) Kutoarjo akan meninjau desa Sangoebanjoe namun baru
dua pal jauhnya rombongan ini diperingatkan untuk kembali mengingat situasi
tidak kondusif. Rombongan akhirnya menuju Purworejo untuk melaporkan situasi
kepada Residen Kedoe di Magelang melalui telepon.
Hasil pembicaraan itu adalah
Asisten Residen Purworejo, controleur
dan regent Kutoarjo pergi ke rumah
Residen di Magelang dan dari sana mereka kembali ke Poerworedjo menjelang malam
bersama residen. Pada malam itu juga, Residen Kedu bernama Van Santwijk
mengadakan pertemuan dengan komandan lokal, Mayor Koch, mengenai rencama
pemberian bantuan militer dalam penangkapan kelompok perlawanan
Setelah pertemuan tersebut, Sabtu
pagi berikutnya enam puluh prajurit, bersenjatakan bayonet di bawah komando
Kapten Aukes, berangkat ke Kutoarjo dan dari sana menuju desa Sangubanyu,
bergabung dengan residen dan bupati Kutoarjo.
Ketika Residen Santwijk melalukan
mediasi dan meminta Kario menyerah namun ditolak mentah-mentah, maka pasukan
militer segera merangsek maju mengepung rumah Kario Taroena. Lima orang
berhasil diamankan termasuk Kario Taroena di dalamnya sementara 32 orang
lainnya ditangkap serta sisanya kabur tunggang langgang.
Selebihnya isi artikel panjang dalam koran De Locomotief (11 Agustus 1918) ini menceritakan kedatangan sejumlah pejabat terkait dari propinsi yang
berusaha melakukan proses investigasi peristiwa kerusuhan tersebut dengan
mendatangi rumah Kario Taroena dan keluarganya serta mendengar duduk persoalan
dari sudut pandang keluarga.
Artikel ini juga melakukan
evaluasi terhadap kinerja pemerintahan daerah yang menaungi wilayah ini
sehingga terkesan kurang tegas dalam melakukan eksekusi putusan peradilan dan
mengutus 118 orang yang kapasitasnya lebih rendah sehingga dengan mudah
dikalahkan yang akhirnya harus menerjunkan kekuatan militer.
Perlawanan Kario Taroena mungkin pelanggaran
dengan keputusan hukum yang sah. Kario Taroena tidak patuh pada keputusan hukum
yang ditetapkan pemerintah. Namun bisa jadi sikap perlawanannya dikarenakan
adanya keputusan yang dianggap tidak adil dan tidak menguntungkan kedua belah
pihak. Apalagi sampai Kario Taroena kehilangan hak atas tanah miliknya sendiri.
Filosofi Jawa, sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan
pati (sejari kepala, sejengkal tanah dibela sampai mati) bisa jadi
melatarbelakangi sikap pembangkangan tersebut karena tanah adalah harga diri
yang harus dipertahankan hingga mati. Persoalan tanah warisan memang sudah
menjadi persoalan klasik. Dibutuhkan kehati-hatian dalam menyelesaikan
perselisihan paham, berkaitan tanah warisan.
Kerusuhan di Sangubanyu tahun 1918 bisa menjadi catatan rujukan perihal persoalan-persoalan sosial yang pernah terjadi di era kolonial, di wilayah Karesidenan Kedu (sebelumnya bernama Karesidenan Bagelen) dan bagaimana cara pemerintahan yang ada menangani sejumlah persoalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar