Siapa yang tidak mengenal produk
genting Sokka di Kebumen? Kualitasnya telah dikenal sampai keluar kota Kebumen.
Keberadaan pabrik pembakaran batu bata dan genting di Sokka tidak bisa
dilepaskan dari satu nama yang sangat dikenal dan sering disebutkan di media
massa berbahasa Belanda yaitu Aboengamar. Hari ini beberapa tempat pembakaran
genting (tobong) berdiri di sekitar Sokka Kebumen yang tidak selalu berkaitan
dengan nama Aboengamar.
Dalam artikel sebelumnya penulis
pernah mengulas mengenai sosok Aboengamar melalui pelacakan sejumlah berita dan
artikel di surat kabar berbahasa Belanda (Teguh Hindarto, Aboengamar, Eksportir Genting Pribumi Dari Sokka: Dinamika Ekonomi
Swasta Pribumi dan Swasta Belanda di Kebumen Era Kolonial - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/06/aboengamar-eksportir-genting-pribumi.html).
Dan secara khusus penulis telah menuliskan mengenai Aboengamar dalam kedua berjudul,
Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika
Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (Deepublish, 2020) dan Wetan Kali Kulon Kali: Mengenang Kabupaten
Karanganyar Hingga Penggabungan Dengan Kabupaten Kebumen 1936 (Deepublsih,
2021).
Melalui artikel ini saya tidak
akan mengulas kembali sosok Aboengamar dan genting Sokka namun akan membuat
petikan fragmen berita surat kabar mengenai industri genting Aboengamar dan
deskripsi aktifitas industri pembakaran
genting dan batu bata di era kolonial. Selain itu akan disampaikan juga mengenai
nama sebuah pabrik genting dan batu bata yang tidak kurang penting dalam
dinamika ekonomi industri yaitu N.V. Tichelwerken di desa Keboeloesan.
Perlu diketahui baik Sokka maupun
Keboeloesan sebelum tahun 1936 masih masuk wilayah Regentschap (Kabupaten) Karanganyar District (Kawedanan) Pejagoan. Setelah 1936 keduanya masuk wilayah Regentschap Kebumen. Namun karena
letaknya yang berdekatan dengan Kebumen (niet
vier van Keboemen), maka Sokka kerap diidentikan dengan Kebumen pada masa
itu.
Kebumen dan Karanganyar sejak era
kolonial dikenal memiliki tanah liat yang baik sebagaiman dilaporkan dalam
sebuah berita berjudul, Pannen Indiustrie
oleh harian De Locomotief (13
Februari 1930) sbb:
Kabupaten Keboemen dan Karanganjar memiliki tanah liat yang sangat baik
(uitmuntenden kleigrond) untuk pembuatan genting. Dua pembuat genting besar
berlokasi di Soka, yaitu pabrik Hadji Aboengamar dan pabrik yang sangat modern (zeer
moderne fabriek) dari N. V. Tichelwerken “Palembang”, direktur Mr. W.D. van
Pelt.
Penyebutan Tichelwerken di Sokka
maksudnya lokasi pabrik ini berada di District
(Kawedanan) Sokka. Namun dalam laporan berita berjudul, N.V.V. Delegatie te Karang-Anjar oleh surat kabar De Locomotief
(7 Juli 1931), saat Tuan Hoyer dari Hortus Bogoriensis atau Departemen
Pertanian melakukan perkunjungan dengan didampingi Bupati Karanganyar, Iskandar
Tirtoekoesoemo, disebutkan nama desa Kebulusan sebagai lokasi N.V. Tichelwerken sbb:
Pabrik “Tichelwerken Keboemen” milik Tuan Pelt dan berlokasi di kawasan
Keboeloesan ini pertama kali dikunjungi
Sebelum kita mengulas secara singkat keberadaan pabrik genting Tichelwerken, ada beberapa keterangan menarik mengendai pabrik genting Sokka Aboengamar yang dilaporkan sejumlah media massa pada zamannya.
Mari kita perhatikan beberapa di antaranya. Dalam sebuah laporan
berjudul, Een Groote Inlandsche Industrie
yang dimuat harian Het Nieuws (17
Februari 1920) dikatakan bahwa bisnis pembakaran genting Aboengamar merupakan
kelanjutan bisnis ayahnya (Haji Achmad) yang telah memulai bisnisnya sejak 30
tahun lalu. Jika laporan koran ini tahun 1920 maka jika dikurangi 30 akan
didapatkan angka tahun 1890.
Berita ini tidak berbeda jauh
dengan laporan berjudul, Pannen Industrie
yang dimuat harian De Locomotief (13
Februari 1930) yang menuliskan sbb:
Pembuatan batu dan genting di Sokka dan Keboemen berasal dari masa Staatspoor untuk meletakkan jalannya (produksi) di kedua tempat. Ketika saya bertanya
kepada orang tertua desa bagaimana mereka bisa membuat genting, mereka memberi
tahu saya beberapa hal berikut: Ketika KA Djokja - Bandung dibangun, seorang
tuan datang ke desa Sokka dan membangun rumah, yang sekarang masih ada di sana
Jika merujuk artikel yang pernah
penulis sajikan bahwa pembangunan jalur kereta dan stasiun Kebumen dilakukan
pada tahun 1887 (Teguh Hindarto, Stasiun
Kebumen, Masa Lalu dan Masa Kini - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/stasiun-kebumen-masa-lalu-dan-masa-kini_13.html).
Maka keberadaan pabrik bata dan genting yang diinisiasi orang Belanda kemudian
dilanjutkan oleh ayahanda Aboengamar.
Menariknya, Tuan Belanda yang
tidak disebutkan namanya tersebut sangat dihormati masyarakat dan sebuah rumah
didirikan di dekat stasiun Sokka sebagaimana dilaporkan:
Rumah yang dihuni oleh pengawas perkeretaapian (spoorweg-opzichter,)
ini, juga pendiri kemakmuran di Sokka, dijaga sebagai penghormatan oleh orang
tua desa. Kemudian missigit (masjid) dibangun di sebelahnya, dan tempat tinggal
dari orang-orang dessa yang lebih kaya menyambut rumah itu dan sekarang
terletak di halaman dan masih menjadi saksi kemakmuran dan kemajuan yang
diberikan oleh penghuni pertamanya.
Di belakang Stasiun Sokka saat
ini masih berdiri sebuah rumah tua yang sudah mulai kelihatan rapuh dan ambruk
atapnya. Bisa jadi rumah ini adalah lokasi tempat pengawas kereta api yang
dimaksudkan dalam surat kabar di atas.
Haji Aboengamar baru melanjutkan
bisnis ayahandanya pada tahun 1906 karena menurut laporan surat kabar Het Nieuws (17 Februari 1920) bahwa
Aboengamar melanjutkan bisnis ayahnya 14 tahun sebelum tahun 1920. Pada tahun
1920 pabrik genting Aboengamar telah menyerap pekerja sebanyak 1600 orang.
Harian surat kabar yang sama
memberikan deskripsi aktfitas pengangkutan batu bata dan genting baik dari
lokasi pembakaran sampai Stasiun Sokka dan diangkut kereta sbb:
Lebih dari dua ratus grobak
bolak-balik hari demi hari antara halte Sokka dan pembakaran dan di antara
berbagai area pengeringan itu sendiri. Sepuluh hingga lima gerbong (wagons)
dikirimkan per hari. Tapi ini bukan hanya genting (pannen), tetapi juga
berbagai jenis batu bata dan ubin (baksteenen en tegels).
Bekas jalur grobak pengangkutan
dan rel yang membawa sampai ke Stasiun Sokka hanya menyisakan satu bantalan
baja yang masih terlihat di antara tempat penyimpanan bata dan genting yang
belum dibakar.
Sampai hari ini, bekas pabrik
genting Sokka Aboengamar masih berdiri dengan lima cerobong pabrik genting
namun sudah tidak difungsikan. Bentuknya seperti sebuah bangunan candi namun
dengan cerobong asab yang sangat tinggi. Jika memasuki ruangan dalamnya akan
ada lubang di bawah lantainya untuk mengalirkan asap pembakaran ke arah tobong.
Kapasitas pembakaran bisa mencapai 12.000 genting dengan waktu bisa mencapai ½
bulan lamanya.
Saat ini, model pembakaran yang
sudah dilakukan sejak tahun 1980-an disebut dengan oven bak terbuka dan bisa
menampung 20.000 genting dalam tempo beberapa hari saja. Tentu saja model baru
pembakaran ini berkaitan dengan perubahan zaman yang memerlukan efisiensi
waktu, sebagaimana dijelaskan Bapak Muchajin yang sedang melakukan pembakaran
di lokasi tobong baru.
Kita kembali membahasa mengenai keberadaan pabrik genting Tichelwerken. Dalam surat kabar yang sudah dikutip sebelumnya, dibedakan jenis pembakaran bata dan genting Aboengamar sebagai tradisional dan Tichelwerken sebagai lebih modern. Yang paling modern sejauh ini adalah N.V. Tichelverken. Perusahaan didirikan pada tahun 1921 dan kini memiliki dua pabrik besar - salah satunya, satu di Palembang (dari mana dia berasal) dan satu di Soka, demikian tulis De Locomotief (13 Februari 1930). Sekalipun dituliskan tahun 1921, namun menurut berita surat kabar De Preanger Bode (3 November 2020) dikatakan bahwa peletakan batu pertamanya dilakukan pada bulan November 1920 sebagamana dikatakan:
Begin November zal de eerste steenlegging plaats hebben van de nieuwe
fabriek van Tichelwerken te Keboeloesan in Zuid Kedoe (Peletakan batu pertama
pabrik baru bernama Tichelwerken di Keboeloesan di Kedoe Selatan akan dilakukan
pada awal November)
Pabrik genting Tichelwerken ini dikatakan telah
menyerap ratusan pekerja dan memiliki 6 oven besar, pesanan dalam jumlah besar
mengharuskan pembuatan oven lain. Omset pada tahun 1929 adalah: 486.000 genting
Echtsche, 170.000 genting Flemish, 47.000 nokpannen, 20.000 genting laki-bini,
112.000 ubin, 160.000 klinker (batu bata), demikian laporan De Locomotief (13 Februari 1930).
Jika lokasi genting Aboengamar
sudah banyak diketahui masyarakat Kebumen yaitu di belakang Stasiun Sokka
(sejak ada pemasangan rel ganda, stasiun ini berhenti beroperasi), maka lokasi N.V. Tichelwerken tidak banyak diketahui
dimana lokasi persisnya. Setelah beberapa bulan penulis melakukan pelacakkan
dengan mengandalkan keterangan lokasi Keboeloesan (Kebulusan), maka sampailah
penulis pada lokasi di mana pabrik genting Tichelwerken
berada yaitu SMP 1 Pejagoan (yang pernah menjadi lokasi STM Kebumen) yang telah
diresmikan sejak 17 Februari 1979.
Dugaan penulis dikuatkan melalui
keterangan seorang penjaga sekolah SMP 1 Pejagoan bernama Bapak Rubangi (65
th). Menurut kesaksiannya semasa masih kecil kerap bermain di lokasi eks pabrik
Tichelwerken yang sudah tidak berfungsi
lagi. Dalam kesempatan peninjauan hari Rabu (28 Juli 2021) bersama Bpk Ario
Sano dan Sdr. Sudarno Ahmad Nashori, penulis diajak melihat-lihat lahan sekolah
seluas kurang lebih 1,4 hektar tersebut.
Sayangnya tidak ada satupun jejak
artefak yang tersisa. Semua sudah bangunan baru. Namun Bapak Rubangi masih
mengingat lokasi tobong dan juga kantor Tichelwerken
di dekat pintu gerbang masuk sekolah. Menariknya, Bapak Rubangi sempat
meninggalkan penulis beberapa menit kemudian kembali dengan membawa sejumlah
ubin dan bata yang pernah diambil di bekas lokasi pabrik Tichelwerken.
Meskipun peninggalan berupa
artefak begitu minim, namun ketarangan berdasarkan memori Bapak Rubangi dan
beberapa pecahan bata serta bekas ubin Tichelwerken,
dapat memperkuat lokasi historis pabrik yang sekarang difungsikan sebagai SMP 1
Pejagoan.
Melihat kembali seluruh lanskap historis berupa bekas pabrik genting Aboengamar dan Tichelwerken, khususnya tobong-tobong kuno Aboengamar yang masih berdiri tegak mengamati perubahan zaman di sekelilingnya. Alangkah baiknya jika ada pihak-pihak yang peduli (baik dari keluarga ataupun sejarawan lokal serta pegiat wisata sejarah bahkan pengusaha) untuk menjadikan kawasan bukan sekedar lokasi yang dipenuhi tanaman liar dan tidak terawat. Termasuk Stasiun Sokka yang saat ini tidak langi berfungsi.
Bukankah akan lebih baik jika menjadikan kawasan Stasiun Sokka dan tobong tua bekas pabrik genting Aboengamar menjadi titik kumpul bertemunya berbagai elemen masyarakat dan komunitas dengan mengubahnya menjadi museum atau kafe dsj. Bukankah banyak lokasi-lokasi masa kini (entah rumah makam, SPBU, hotel dsj) yang mengalihfungsikan gedung dan bangunan pabrik menjadi lokasi yang bersifat publik?
Berhasilkah kita melakukannya untuk kota kita sendiri? mari kita temukan jawabannya bersama-sama.
adakah pemodal yang bersedia kerjasama menyiapkan dana cukup untuk merealisasikan kawasan pabrik genting AB Sokka dan sekitar stasiun Soka yang non aktif sesudah jalur rel ganda untuk komunikasi dengan ahli waris sah cucu Profesor Soenardjo Aboengamar pemilik pabrik genting AB- Aboengamar?
BalasHapus