Kamis, 19 Mei 2022

DRAMA PERCINTAAN BERDARAH DI PURWOKERTO TAHUN 1925

Dalam beberapa tulisan sebelumnya penulis pernah mengisahkan beberapa kisah tragis dan dramatis di Kebumen tahun 1929 al., terbunuhnya seorang agen Electriciteit Maatschappij Banjoemas (EMB) oleh seorang pembantunya melalui media serbuk untuk alias mata dan pemilik bioskop lokal (Kebumen dan Kopi Beracun 1929 - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/11/kebumen-dan-kopi-beracun-1929.html) dan  kisah Henri van Thienen, yang bekerja di kantor pos Kebumen namun menembak dirinya sebelum menembak keponakannya - Poppie van Thienen - di Blitar (Brievenbus di Kantor Pos Kebumen: Saksi Bisu Perubahan Zaman dan Monumen Kenangan Sebuah Masa - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/brievenbus-di-kantor-pos-kebumen-saksi_13.html). Jika kasus pertama tidak jelas motif yang melatarbelakanginya sementara kasus kedua berlatar belakang asmara.

Kisah dramatis berdarah dengan latar belakang asmara kembali terjadi di Purwokerto tahun 1925. Sebuah berita dengan judul Het Drama te Poerwokerto yang diterbitkan Bataviaasch Nieuwsblad (22 Mei 1925) melaporkan perihal kasus bunuh diri bersama akibat hubungan pernikahan yang tidak mendapatkan restu orang tua pihak perempuan.

Peristiwa dramatis dimulai dari hilangnya seorang anak perempuan berusia 18 tahun yang disebut Nona R (koran tidak menyebutkan namanya hanya inisialnya) dari Semarang yang pergi bersama pasangannya Tuan L dari Semarang ke Purwokerto sejak sabtu hingga minggu. Orang tuanya perempuan yang merasa kehilangan melaporkan kepada polisi untuk dilakukan pencarian.

Pukul setengah tujuh malam komandan polisi di Poerwokerto memerintahkan anggotanya untuk memeriksa apakah Nona R ada di rumah Tuan L. Jika ditemukan maka akan diantar ke Semarang keesokan paginya. Ketika komandan polisi datang ke rumah Pak L, semuanya tertutup. Semua pintu dan jendela tertutup dan tidak ada satu lampu pun yang menyala. Seorang pembantu wanita (baboe) menjelaskan bahwa tuan rumah belum pulang ke rumahnya.

Setengah jam kemudian, komandan polisi kembali ke rumah Tuan L  dia melihat semua jendela menyala. Di sana sang komandan polisi menemukan bahwa Tuan L. telah menembak dirinya sendiri dan melukai gadis itu dengan luka serius namun keadaan gadis tersebut masih hidup.

Terdapat bekas luka tembak di jantung Tuan L beserta tiga surat di atas meja di ruangan tempat drama itu berlangsung, yang salah satunya ditujukan kepada orang tua Nona R  yang isinya antara lain menyatakan bahwa semua yang terjadi telah disepakati di antara mereka berdua. Kondisi gadis yang terluka parah dibawa ke klinik, namun apa daya dia menyusul kekasihnya dan meninggal sekitar pukul 00.00 di malam saat kejadian penembakan terjadi.

Jenazah Tuan L. telah dikebumikan sementara Nona L jenazahnya dibawa dengan mobil dari Purwokerto ke Semarang. Surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad mengakhir beritanya dengan menyebutkan latar belakang pekerjaan Tuan L sebagai, “De heer L. was directeur der ijsfabriek te Poerwokerto” (Tuan L. adalah direktur pabrik es krim di Poerwokerto).

Menarik mengikuti laporan Bataviaasch Nieuwsblad. Kejadian perkara tanggal 18 Mei 1925 tersebut langsung dilaporkan pada tanggal 18 Mei 1925 dengan berita satu paragraf dengan menyebutkan inisial L yang adalah direktur pabrik es Purwokerto dengan nama Lange sementara Nona R yang dimaksudkan adalah anak perempuan Tuan Ravensberg. Pada laporan tanggal 19 Mei 1925 nama Ravensberg pun disebutkan. Entah mengapa pada pemberitaan yang agak panjang pada tanggal 22 Mei 1925 sebagaimana dikutip di awal tulisan ini, nama-nama orang yang terlibat perkara hanya ditulis inisial saja.

Ada satu surat kabar yang cukup lengkap memberitakan peristiwa memilukan tersebut yaitu dengan judul, Een Tragisch Gebeuren: Twee Geliefden Zoeken Hereeniging in den Dood (Sebuah Peristiwa Memilukan: Dua Kekasih Mencari Penyatuan Melalui Kematian) yang dimuat surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië (19 Mei 1925).

Melalui pemberitaan surat kabar ini kita mendapatkan gambaran peristiwa dengan lebih terang dan gamblang. Ringkasnya bahwa Lange mencintai putri Ravensberg. Namun sang ayah tidak menyetujui niatan tersebut dikarenakan status Lange yang pernah diceraikan oleh istrinya yang ternyata adalah adik ipar Ravensberg yang juga tante/bibi dari anak perempuan Ravensberg. Apalagi anak Ravensberg baru berusia 18 tahun dan baru lulus sekolah. Selain itu usia keduanya terpaut jauh di mana Lange sudah berusia 45 tahun.


Pada hari Sabtu, Lange menuju Semarang karena tahu akan ada kegiatan Fancy Fair (pameran mewah) di mana putri Ravensberg akan menjaga salah satu stan. Lange menyewa sebuah kamar di rumah Smaber di dekat Bojong di mana keluarga Ravensberg tinggal. Diperkiraan kedua pasangan yang hendak merencanakan kawin lari (schaking) ini bertemu di taman kota untuk membahas rencana mereka berdua.

Pada sabtu malam nampaknya putri Ravensberg mulai kabur dari rumahnya karena keesokan harinya jendela kamarnya ditemukan terbuka dan minggu dini hari mulai meninggalkan Semarang. Beberapa tetangga sempat memergoki mereka pada hari minggu sebelum peristiwa nahas tersebut.

Setelah ditunggu sepanjang hari putri Ravensberg tidak kunjung pulang, keluarga mulai gelisah dan menduga telah terjadi penculikan dan melapor kepada pihak kepolisian Semarang yang dilanjutkan oleh kepolisian Semarang meminta bantuan kepolisian Purwokerto.

Akhirnya kepolisian Purwokerto berusaha mencari rumah kediaman Lange. Namun karena tidak menemukan dan sang pembantu berkata, “meneer nog niet thuis was” (tuan tidak ada di rumah). Sebenarnya mereka berua ada di rumah hanya sang pembantu disuruh berbohong. Jika Bataviaasch Nieuwsblad melaporkan kedatangan polisi tiga puluh menit setelah kedatangan pertama, maka laporan Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië  menyebutkan satu jam kemudian polisi datang kembali.

Sisa kisahnya surat kabar Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indië  memberikan laporan yang sama di mana ketika polisi datang, mereka melihat pemandangan tragis di mana baik Lange dan putri Ravensberg bersimbah darah dengan luka di jantung. Kesaksian pembantu mendengar dua tembakan saat polisi meninggalkan rumah mereka.

Drama percintaan berdarah ini 2 tahun berselang setelah diterbitkannya roman karya Marah Rusli oleh Balai Poestaka dengan judul, Sitti Nurbaya: Kasih Tak Sampai. Tentu tidak ada kesamaan kisah sama sekali karena roman Siti Nurbaya mengisahkan terpisahnya cinta Samsulbahri dengan Siti Nurbaya yang berujung kematian di tangan Datuk Maringgih, sementara drama berdarah di Purwokerto mengakibatkan kedua pasangan Belanda yang tidak direstui orang tua berujung kematian keduanya.

Kesamaan di antara kisah fiktif dan fakta tersebut bahwa keduanya tidak mencapai cinta mereka masing-masing.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar