Minggu, 08 Mei 2022

MELACAK JEJAK HOTEL DI KEBUMEN PERIODE KOLONIAL


Hotel Pusaka, Kebumen

Sebuah peristiwa penipuan menimpa seorang pemilik hotel di Kebumen pada tahun 1929. Nama hotel tempat kejadian perkara itu adalah Hotel Slamet. Beberapa surat kabar berbahasa Belanda memuat beritanya dengan judul, De Kiai en De Hotelhouder (De Locomotief, 10 Februari 1929), De Kiai en De Hotelhouder (Het Nieuws Van Den Dag voor Nederlandsch-Indië, 15 Januari 1929), De Wereld Wil Bedrogen Zijn: Een Sluwe Kiai (De Morgen, 11 Februari 1929), Handeldrijvende Heilige: Boorwater in Plaats van Brillanten (Nieuwe Venlosche Courant, 16 Februari 1929).

Jadi begini ceritanya menurut laporan berita sebagaimana disebutkan di atas. Pada suatu hari seorang yang mengaku sebagai Kiai Agoes Achmad dari Palembang menginap di Hotel Slamet, Kebumen. Dia mengaku sebagai pedagang dan memberi tahu pemilik hotel bahwa dia datang ke sini untuk melakukan bisnis sementara istri dan anak-anaknya di tinggal di  Tasikmalaja. Menurut pengakuannya dia baru akan bahwa keluarganya ke Kebumen jika semuanya berjalan lancar.

Untuk beberapa hari orang yang mengaku sebagai kiai tersebut tidak memperlihatkan gejala mencurigakan karena dia menjalankan kewajiban religius hariannya sebagaimana gelar yang dimilikinya, demikian tulis beberapa surat kabar tersebut. Namun pada suatu hari, orang tersebut menemui pemilik hotel dan mengutarakan niatnya untuk menjenguk keluarganya di Tasikmalaya selama beberapa hari.

Orang yang mengaku kiai tersebut mengutarakan maksudnya yaitu meminjam uang sebesar 450 florin (gulden) untuk biaya menjemput keluarganya karena uang miliknya sudah diserahkan pada keluarganya dan yang tersisa hanya modal usahanya saja.

Untuk meyakinkan sang pemilik hotel, orang tersebut memperlihatkan sebuah kain katun putih yang membungkus sebuah paket. Kemudian dirinya melakukan sobekan kecil dan memperlihatkan kepada pemilik hotel tersebut uang sebesar 10 florin di dalamnya. Menurut pengakuan orang yang mengaku sebagai kiai, bahwa dalam paket tersebut tersimpan uang sebanyak 5000 florin. Dia akan menyimpan paket bungkusan berisi uang ini dalam lemari kamar di mana dirinya menginap. Orang tersebut kemudian mengajak pemilik hotel untuk melihat di mana dirinya akan menyimpan paket tersebut di dalam kamar serta memperlihat koper yang menurutnya berisi beberapa ribu gulden di dalamnya. Pemilik hotel tersebut takjub mendengar penjelasan orang yang mengaku kiai tersebut.

Pergilah orang tersebut dengan membawa uang sebesar 450 florin setelah pemilik hotel meminjaminya dengan “jaminan” paket uang dan koper di dalam kamar. Beberapa hari sebagaimana dijanjikan orang yang mengaku kiai tersebut tidak kunjung datang. Pemilik hotel Slamet akhirnya melaporkan pada polisi.

Polisi datang dan membuka kamar serta memeriksa paket dan koper yang ditinggalkan di lemari kamar pengginapan. Ketika paket tersebut dibongkar, ternyata isinya hanyalah sobekkan kertas koran yang di atasnya diletakkan 10 florin dan saat koper dibuka isinya hanyalah sepasang sandal, baju lusuh, cermin serta air boorwater (pembersih mata) dalam sebuah botol yang cemerlang.

Namun sayang pemilik hotel harus merelakan uangnya 450 florin miliknya raib dan diganti uang 10 florin karena polisi tidak berhasil (zonder resultaat) melacak keberadaan orang yang mengaku sebagai kiai tersebut. Kasihan juga pemilik hotel ini ya?

 

Terlepas dari laporan berita penipuan di atas, keberadaan Hotel Slamet memberikan gambaran pada kita bahwa di tahun tersebut bisnis perhotelan sudah cukup berkembang di Kebumen. Belum didapatkan keterangan di mana letak Hotel Slamet ini di masa kini.

Sebenarnya sejak tahun berapakah keberadaan hotel hadir di Kebumen di era kolonial? Sebelum kita lanjutkan, perlu diketahui bahwa istilah “hotel” belum tentu sebuah bangunan mewah dan bertingkat sebagaimana layaknya hotel berbintang masa kini. Memang ada hotel-hotel mewah semacam itu seperti Des Indes (Batavia) dan Savoy Hooman (Bandung) namun itu di kota-kota besar yang berstatus gemeente (kotamadya). Keberadaan sejumlah hotel di Kebumen berbentuk rumah biasa dengan ukuran yang agak besar namun sederhana disesuaikan dengan kondisi di kota kecil (kleine stad) berstatus kabupaten (regentschap)

Teguh Hindarto dalam buku berjudul, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (2021:57-63) menjelaskan sbb:

“Sejumlah iklan telah beredar pada tahun 1890-1891 yang menyebutkan sebuah hotel di buka dekat pemadian air panas Krakal sebagaimana dilaporkan De Locomotief (1 Desember 1890) dengan menuliskan nama ‘Krakal’ dan ‘Hotel Geopend’ (Telah Dibuka Sebuah Hotel) dan diberi keterangan, ‘Salah satu tempat pemandian air panas  tersehat di Jawa untuk orang sakit dan sedang dalam pemulihan’. Dalam buku Handboek Voor Tourisme In Nederlandsch Indie (1929) disebutkan beberapa daftar berbagai hotel dan tempat wisata di seluruh Hindia Belanda yang terhubung dengan organisasi Java Motor Club termasuk di wilayah Kebumen dan Karanganyar (sebelum tahun 1937, Kebumen dan Gombong merupakan wilayah tersendiri. Gombong merupakan salah satu distrik dari Kabupaten Karanganyar). Sementara dalam buku Orang-Orang Tionghoa di Jawa (1936) disebutkan beberapa nama hotel yang pernah ada di Kebumen al., Hotel Slamet, Hotel Bian An Kie, Hotel Wan Lay Kie. Tidak sampai di sini, ada sejumlah nama hotel lain dilaporkan di Kebumen yaitu Hotel Le Bien Venu (De Locomotief, 11 Agustus 1900), Hotel Persijn (De Indische Courant, 28 Desember 1925), Hotel Slamet (Nieuwe Rotterdamsche Courant, 8 Februari 1929)”

Mengenai keberadaan pemandian air panas Krakal dan perannya di era kolonial dapat membaca kajian Teguh Hindaro dan Chusni Ansor dalam artikel, Geosite Pemandian Air Panas Krakal Sebagai Titik Pertemuan Legenda, Sejarah dan Geologi (Prosiding Geodiversity: Seminar Nasional Ilmu Kebumian 2019, Riset Ilmu Kebumian untuk Pengembangan Geopark Nasion - https://www.academia.edu/49339518/GEOSITE_PEMANDIAN_AIR_PANAS_KRAKAL_SEBAGAI_TITIK_PERTEMUAN_LEGENDA_SEJARAH_DAN_GEOLOGI).

Kembali kepada pelacakan sejumlah hotel di Kebumen, dalam artikel yang ditulis Teguh Hindarto dengan judul, Melacak Jejak Kisah Hotel Juliana di Kebumen - https://www.qureta.com/post/melacak-jejak-kisah-hotel-juliana-di-kebumen) dijelaskan sebuah keberadaan hotel bernama Juliana sbb:

“Dalam sebuah laporan surat kabar De Locomotief (14 Desember 1931) disebutkan, Sinds eenige jaren is Keboemen in het bezit vaneen zeer goed hotel, nl. Hotel Juliana (Selama beberapa tahun, Keboemen telah memiliki hotel yang sangat bagus, Hotel Juliana). Jika disebutkan “beberapa tahun” maka keberadaan hotel ini sudah ada sebelum tahun 1931. Dalam laporan surat kabar tersebut kita mendapakan sejumlah keterangan menarik mengenai deskripsi Hotel Juliana sbb: ‘Bangunan yang sekarang digunakan terlalu kecil, dan seringkali calon tamu harus ditolak. Namun, saat ini, sebuah paviliun yang sangat baik telah dibangun di sebelah gedung utama, di belakangnya masih ada beberapa kamar untuk tamu biasa. Keluarga Van Ginsbergen telah menunjukkan bahwa mereka sangat cocok untuk mengelola hotel dan sekarang memiliki reputasi yang sangat baik selama bertahun-tahun. Di masa lalu, sebagian besar orang melintas menuju Gombong, namun saat ini banyak dari mereka menginap di Kebumen’. Dari laporan berita di atas kita dapat melihat perkembangan Hotel Juliana yang semula gedungnya kecil (te klein) menjadi “paviliun yang sangat baik” (het hoofdgebouw) bahkan naik kelas menjadi “hotel yang sangat bagus” (goed hotel) dan “bereputasi baik” (goede reputatie)”

Sayangnya tidak satupun dari keberadaan hotel-hotel yang disebutkan di atas terlacak lokasinya di masa kini. Kecuali Hotel Juliana yang berlokasi di kawasan Bank Jateng di sebelah selatan Alun-alun tidak jauh dari aliran sungai Luk Ulo, sebagaimana deskripsi beberapa surat kabar semasa kolonial. Itupun sudah tidak ada wujud bangunan aslinya sama sekali. Hanya foto dan rekaman ingatan beberapa orang yang pernah menyaksikan gedung eks Hotel Juliana yang mengalami alih fungsi penggunaan pasca kemerdekaan.

Satu-satunya hotel di Kebumen yang masih tersisa hari ini dan memperlihatkan jejak kekunoan adalah Hotel Pusaka (Jl. Pemuda No 123, Panjer, Kebumen). Saat ini penginapan tua tersebut dihuni oleh Bapak Karno. Menurut pangakuan pak Karno, penginapan yang diwarisi dari orang tuanya dahulunya adalah Hotel Theresia di tahun 1950-an. Jika kita melihat ruang depan rumah yang ditinggali Pak Karno dan keluarganya akan nampak lengkungan khas bangunan lama era kolonial. Sementara penginapannya terletak di samping agak ke belakang. Di antara selasar ada kamar-kamar yang sangat luas sehingga cukup leluasa beraktifitas, meskipun bagi beberapa orang dirasakan kurang nyaman.




Pak Karno Pemilik Hotel Pusaka

Di masa kini, sejumlah hotel telah menghiasai sudut-sudut jalanan kota Kebumen. Ada hotel-hotel yang sudah berdiri sejak tahun 1970-an seperti Hotel Nasional yang kemudian mengalami sejumlah renovasi (saya mendapatkan fotonya dari Sdr. Ryan Sto seorang kolektor benda-benda bersejarah) dan ada hotel-hotel berbintang yang baru berdiri di tahun 2014 yaitu Hotel Meotel (sekarang Grand Kolopaking) dan Hotel Mexolie yang dibangun tahun 2016 dan masih ada sejumlah hotel lainnya tersebar di beberapa titik di pusat kota.

Demikianlah kisah pelacakan sejumlah hotel yang pernah ada di Kebumen di era kolonial. Menjadi tempat beristirahat para pelancong wisata atau mereka yang sedang melakukan bisnis serta menjadi sumber penghidupan bagi pengelolanya.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar