Kamis, 28 April 2022

DARI NASI GORENG HINGGA SATE KAMBING: JEJAK KULINER MASA KOLONIAL (Cerita Warung Sate Amad Kusni, Prembun)

Geef mij maar nasi goreng met een gebakken ei

Wat sambal en wat kroepoek en een goed glas bier erbij

Beri saja aku nasi goreng dengan telur dadar

Dengan sambal dan kerupuk dan segelas bir

Lirik di atas adalah petikan lirik lagu berjudul, Geef Mij Maar Nasi Goreng (Beri Saya Nasi Goreng) yang diciptakan dan dilantunkan keturunan Belanda kelahiran Surabaya bernama Louisa Johanna Theodora "Wieteke" van Dort (1943) atau Tante Lien pada tahun 1977. Di setiap penampilannya di televisi Belanda selalu mengenakan pakaian kebaya Indonesia.

Meskipun lagu tersebut lebih mencerminkan kerinduan dan ketidakrelaan Wieteke Van Dort saat harus meninggalkan Indonesia ketika Sukarno menggencarkan nasionalisasi sejumlah perusahaan Belanda, namun nasi goreng memiliki sejarah panjang dalam daftar menu Rijstafel yaitu menu Indisch yang disajikan di rumah atau rumah makan era kolonial. Bahkan dalam buku De Indisch Tafel (1938) nasi goreng bersama jenis sambal masuk dalam daftar menu rijstafel (Rijstafel dan Menu Kuliner Pertemuan Dua Budaya - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/08/rijstafel-dan-menu-kuliner-pertemuan.html).

Tapi bukan hanya nasi goreng lho? Masih banyak menu Nusantara yang dimasukkan dalam daftar buku-buku menu yang diterbitkan orang-orang Belanda yang tinggal di Hindia. Salah satunya adalah sate. Perhatikan dalam daftar menu De Indisch Tafel (1938) mengenai jenis sate yaitu, sate koening, sate koewah, sate toesoek (mulai dari ayah sampai daging sapi muda), sate pentool, sate kambing.

 

Omong-omong mengenai sate kambing, di depan Stasiun Prembun yang sudah tidak beroperasi kembali, terdapat sebuah warung sate bernama Amad Kusni yang menurut keterangan pihak keluarga telah dimulai oleh pendirinya yaitu Alm. Amad Kusni sejak akhir pemerintahan Belanda menjelang Jepang masuk ke wilayah Kebumen (Prembun).

Mbah Amad Kusni sendiri adalah anak ketiga dari enam bersaudara. Lahir di Prembun sekitar th 1920an (asumsi menikah usia 20a-n saat Jepang masuk Prembun dengan pilihan menikah atau sekolah di Yogkarata. Beliau lebih memilih menikah dan berjualan untuk menghidupi keluarga barunya. 

Orang tua Mbah Amad Kusni sendiri yaitu  Mbah Semidikromo sudah mengawali berjualan sop di Pasar Prembun. Awalnya Mbah Semidikromo berjualan di depan stasiun memakai grobogan yg dipanggul hingga akhirnya bisa membeli rumah dan menempati sebelah utara irigasi depan stasiun sampai sekarang. Kemudian dilanjutkan oleh Mbah Amad Kusni dengan menu sate kambing.

Yang membeli dagangan Mbah Amad Kusni pada waktu itu masyarakat sekitar Prembun mulai dari petani, pejabat daerah, kuli panggul. Menurut keterangan Mbah Turi (adik ragil Mbah Amad Kusni) permah menyaksikan pada jaman Belanda tentara Belanda makan sate kambing Mbah Amad Kusni di warungnya dan turut membayar seperti pembeli lainnya.

Saat ini yang meneruskan mengelola warung sate Amad Kusni adalah cucu dari Mbah Amad Kusni yang bernama Ibu Sari Kusniati. Ibu Sari Kusniati adalah putri Ibu Sayem (atau Suyani) putri dari Mbah Amad Kusni. Meskipun menempati di lokasi yang sama namun bangunan yang sekarang merupakan hasil renovasi sekitar tahun 1980-an.

Prembun, bukan hanya lekat dengan keberadaan Suikerfabriek Remboen yang pernah berjaya hingga tahun 1935-an (Loji dan Suikerfabriek Remboen di Prembun: Mengumpulkan Kepingan Berita - https://www.inikebumen.net/2019/09/loji-dan-suikerfabriek-remboen-di.html) namun  menyimpan kisah-kisah tindakan ekonomi masyarakat sekitar melalui penyajian sejumlah menu kuliner seperti sate, yang juga menarik perhatian orang-orang Belanda untuk menjadikannya sebagai salah satu daftar menu Indisch Tafel

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar