Senin, 01 Agustus 2022

PENANGKAPAN KECU DI DESA SUROTRUNAN 1922

Kita tentu masih ingat peristiwa beberapa tahun silam yaitu di tahun 2017 di mana seorang kepala desa di kecamatan Rowokele berurusan dengan polisi karena terlibat beberapa kali pencurian yang notabene di rumah warganya sendiri.

Ein kol khadash takhat ha shames (tidak ada yang baru di bawah matahari) demikian sebuah ungkapan kuno dalam bahasa Ibrani. Sebuah kejadian serupa pernah terjadi di tahun 1922 di Kebumen. Namun lokasi kejadian kali ini di Desa Surotrunan yang kala itu masuk District Alian Regentschap Kebumen. Bukan pencurian semata melainkan perampokan. Peristiwa perampokan sebelumnya terjadi di Mirit. Istilah untuk perampok/perampokan pada waktu itu disebut dalam bahasa lokal Ketjoe (kecu).

Apakah Ketjoe (Kecu) itu? P.A.F. van Veen en N. van der Sijs dalam  Etymologisch Woordenboek: de Herkomst van Onze Woorden (1997) menjelaskan mengenai istilah kecu sbb:

“ketjoe [roversbende] {1886} < maleis kecu [rover, rampokker, beroving] < javaans (ngoko) wong kecu, javaans (krama) tiyang kecu [bandiet(en)]”

(ketjoe [kelompok perampok] {1886} < bahasa Melayu, kecu [perampok, perampok, perampokan] < bahasa Jawa (ngoko) wong kecu, bahasa Jawa (krama) tiyang kecu [bandit])

Demikian dalam buku berjudul, Inleiding in het Maleisch, Zooals dat in Indiee Dagelijks Wordt Gesproken (1900) memberikan keterangan sbb:

“plunderen (rooven): rampas, iemand plunderen, berooven, hem zijn goed ontrooven, merampas barang orang; hij is door ketjoes van al zijn geld beroofd, oeangnja semoea dirampas ketjoe”

(menjarah (merampok): rampas, tindakan merampas, merampok seseorang, merampas hartanya, merampas barang orang; dia telah dirampok semua uangnya oleh para ketjoe, uangnja semoea dirampas ketjoe)

Jadi Ketjoe adalah istilah khas untuk tindakan kriminal di era kolonial yang bermakna pencurian. Ini dibedakan dengan tindakan pencurian biasa karena disertai tindakan kekerasan.

Menurut laporan surat kabar Het Nieuws van den dag Voor Nederlandsch-Indie (18 November 1922) bahwa aksi penangkapan yang mengejutkan ini dikarenakan kepala kecu (perampok) adalah sang kepala desa itu sendiri. Yang lebih mengejutkan lagi adalah menurut organisasi Boedi Oetomo bahwasanya sang kepala desa pernah mendapatkan sejumlah penghargaan karena “pengabdian dan perilaku baiknya (langdurigen dienst en goede trouw).

Cukup mengherankan berita ini. Bagaimana mungkin seorang terpandang secara sosial bahkan sempat mendapatkan medali penghargaan justru terlibat tindakan kriminal bahkan menjadi pimpinan tindakan kriminal yang disebut kecu. Itulah sebabnya surat kabar ini menutup dengan sebuah pertanyaan retoris, “Siapa tersenyum di sana?” (Wie lacht daar?)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar