Minggu, 07 Agustus 2022

SISI LAIN PENAMPILAN REOG PONOROGO DI PANTAI BRECONG

Sempat diguyur hujan semalam hingga pagi di musim kemarau Agustus, akhirnya cuaca kembali cerah dan bisa memenuhi undangan Kepala Desa Brecong dan menikmati sebuah perform kesenian lokal di pesisir pantai.

Yang tidak biasa pada pementasan kesenian lokal kali ini adalah penampilan kesenian lokal luar daerah yang sudah dikenal masyarakat Indonesia dan menjadi ikon kabupaten yaitu Reog Ponorogo.

Cahaya matahari yang semakin menaik tinggi dan menimbulkan bayang-bayang di bawah pepohonan mengiringi kepulan asap kemenyan yang menguarkan aroma khas dari sebuah ukupan sesaji dengan dikelilingi sejumlah orang dengan berkostum khas.

Beberapa orang mulai memainkan cemeti dengan mengeluarkan suara-suara letupan keras di udara sementara sejumlah orang berkostum dan bertopeng mulai meliuk-liuk membuka tarian.

Tokoh utama mulai muncul yaitu sosok orang memanggul topeng singa dengan ekor burung merak yang besar. Meliuk-liuk kesana-kemari dalam kondisi trance. Nampak bapak Kepala Desa yaitu Bapak Triyono diminta untuk ke tengah lapangan dan mulai naik ke kepala singa berhias ekor burung merak

Episode berikutnya adalah penampilan sejumlah penari kuda kepang yang terdiri dari sejumlah remaja putri serta sejumlah atraksi pemuda bertopeng seperti Bujangganong memperlihatkan kepiawaian menari dan salto sembari melalukan sejumlah gerakan yang menimbulkan gelak tawa ketika berinteraksi dengan beberapa penonton. Semakin sore, semakin banyak penonton memenuhi dan memadati lapangan berpasir di pesisir Pantai Brecong dengan antusiasme yang tinggi.


Figur-figur dalam kesenian Reog adalah Singa Barong (topeng singa dengan berhias ekor burung merak), jaran kepang sebagai lambang pasukan Raja Klana Sewandana serta sejumlah warok memainkan pecut melambangkan senjata pusaka Klana Sewandana yaitu Pecut Samandiman.

Latar belakang Reog Ponorogo dilatarbelakangi oleh kisah perjalanan Raja Kelana saat akan meminang Dewi Songgo Langit sebagai calon permaisurinya, calon permaisuri yang bernama Dewi Sanggalangit adalah putri Kerajaan Kediri. Tokoh antitesis dari Raja Klana Sewandana adalah Raja Singabarong (untuk narasi mengenai tarian ini dapat menyimak tayangan animasi di tautan berikut beserta varian kisahnya yaitu: https://youtu.be/no1xmv-9bIU dan https://youtu.be/zrw3t7KmPzw)

Keberadaan Reog Ponorogo dan kesenian jaran kepang sudah terlacak sejak era kolonial menjadi iringan kegiatan pada waktu tertentu. Sejumlah peneliti Belanda telah melakukan pencatatan dan inventarisasi ekspresi seni budaya lokal Jawa.

Sebuah foto (tidak ada keterangan tahun namun beberapa sumber lain menuliskan tahun 1920) yang memperlihatkan penampakan reog Ponorogo di era kolonial sebelum mengalami fase modifikasi dan institusionalisasi di masa kini. Judul fotonya Koeda Kepang Ponorogo. Babak 1: Bantarangan, Bojowono, 4 Penunggang Kuda dan Boedjangganong. Perhatikan penggunaan kostum dan tokoh yang mengalami perkembangan di masa kini meski esensinya tidak jauh berubah.

Sebuah foto dengan keterangan koeda kepang dalam sebuah buku karya M. Kunst dengan judul, Een en Ander Over de Javaansche Wajang (Beberapa Penjelasan Mengenai Wayang Jawa) diterbitkan di Amsterdam 1940. Di dalam buku ini dijelaskan berbagai ekspresi kesenian wayang dengan segala variannya. Ada wayang kulit, wayang wong, wayang topeng, wayang karucil/kalitik.

Termasuk menyebutkan jenis kesenian di Ponorogo dengan sebutan topeng Barongan untuk menamai jenis mahluk menyeramkan dari hutan yang diwujudkan dalam topeng dengan mulut yang bisa membuka menutup yang dimainkan dua orang pria.

Selain itu diiringi dengan jaran kepang yaitu kuda terbuat dari bambu dengan ditunggangi kesatria dan para punggawanya yaitu Pentul (bertopeng putih) dan Tembem (bertopeng hitam). Menariknya, yang disebut reog dalam buku ini adalah para penunggang kuda tersebut sementara di saat ini istilah Reog Ponorogo sudah menggambarkan keseluruhan wujud kesenian meliputi, barongan, para warok, jathilan, Bujangganong dll.

Terlepas berbagai varian narasi latar belakang Reog Ponorogo, ada dua catatan menarik dari pementasan Reog Ponorogo di kawasan pesisir Pantai Brecong ini. Pertama, media interaksi dan pertukaran budaya dalam wujud materialnya berupa sebuah kesenian. Melalui pementasan ini masyarakat Kebumen dapat melihat kekayaan budaya wilayah lain di luar wilayahnya sehingga memperkaya pengetahuan dan wawasan mengenai jenis-jenis kesenian lokal kabupaten lain.

Kedua, media saling bertukar pemahaman simbol-simbol kebudayaan. Ada kejadian menarik saat sedang konsentrasi menyimak penampilan para penari tiba-tiba salah satu penari mendekati kami yang sedang duduk di tempat yang dikhususkan. Entahkah penari tersebut dalam keadaan trance atau tidak, dia mulai menyalami kami satu persatu

Tidak berapa lama salah satu orang laki-laki mendekati kami dan menjelaskan bahwa jika kami disalami kiranya dapat membalas dengan memberikan "saweran" yaitu sumbangan uang seikhlasnya kepada sang penari. Kamu yang ada di ruang penonton saling bertatap muka dan tertawa serta mulai paham bahasa simbolik yang disampaikan penari tersebut. Dari kejadian ini kita bisa mendapatkan pelajaran bahwa masing-masing budaya sebuah daerah memiliki bahasa-bahasa simboliknya sendiri. Seandainya kami telah diberitahu dari awal tentu kami tidak akan membiarkan si penari kembali dengan tangan kosong bukan?

Jika pementasan kesenian lain kebudayaan dan luar daerah dapat memperkaya khasanah pengetahuan mengenai kesenian dan simbol-simbol kebudayaan lain, adalah baik membuat agenda-agenda pertukaran kebudayaan ini bukan hanya sebatas mengundang kesenian daerah lain pada kesempatan berikutnya namun para seniman Kebumen pun dapat  berlaga menawarkan atau memenuhi undangan dari daerah di luar Kebumen untuk memperkenalkan kesenian khasnya mulai dari Cepetan, Ebleg, dll

Tidak ada komentar:

Posting Komentar