Rabu, 07 Juni 2023

MEMAHAMI NISAN TUA DENGAN PILAR BERGAYA EROPA (YUNANI) PADA PEMAKAMAN TIONGHOA (BONGPAY) PEJAGOAN

Pada terik siang pukul 12.00 penulis tiba di sebuah kompleks pekuburan Tionghoa (bongpay) di Desa Pejagoan Kecamatan Pejagoan. Lokasinya terletak di belakang Kolam Renang Gading. Kompleks pemakaman Tionghoa ini selain berbukit juga sangat luas.

Jika melihat daftar nama-nama orang yang dikebumikan di sini nampak melintasi kisaran tahun 1950-an sampai 200-an baik dengan aksara Latin biasa maupun aksara Han yang diterjemahkan. Ada juga yang ditulis dalam aksara Han yang masih teridentifikasi maupun yang sudah terhapus dimakan zaman. Menyiratkan betapa usia nisan dan kompleks pemakamaman sudah sangat tua.

Kompleks bongpay ini sudah ada sejak era kolonial. Hal ini dibuktikan dalam sebuah laporan berita mengenai penganggaran tahunan beberapa lokasi yang salah satunya kompleks pemakaman. Sebelum tahun 1936, Pejagoan adalah sebuah district (kawedanan) di bawah regentschap (kabupaten) yaitu Karanganyar. Dalam berita berjudul De Regentschapsraad yang dimuat De Locomotief (14 Maret 1930) disebutkan sejumlah penganggaran perawatan pemakaman Tionghoa yang ada di Kabupaten Karanganyar yang meliputi, pemakaman Tionghoa (Chineesche begraafplaats) Karanganayar, Gombong dan Pejagoan.

Bukti selanjutnya adalah tersebarnya sejumlah nama dengan menggunakan aksara Han yang tidak mudah untuk diterjemahkan mengingat usianya yang cukup tua. Baik di bawah bukit maupun di atas bukit. Bisa jadi dari periode tahun 1900-an atau mungkin sebelumnya.

Dari sekian penampakan makam Tionghoa ada tiga titik lokasi yang menarik yang penulis temukan saat menjelajahi kompleks bong pay tersebut. Ada yang terletak di tanah yang lapang dan ada yang tertutupi semak-semak. Satu hal yang mencolok adalah arsitektur yang mengitari makam tersebut.

Selain Mu Bei, yaitu nisan yang memuat tulisan identitas makam namun ada yang membedakan posisi ketika makam ini dibandingkan makam yang lain yaitu tidak terdapat Mu Gui atau Karapas Kura-Kura (gundukan bukit sebagai tempat peti jenazah disemayamkan). Sebaliknya, terdapat struktur lengkungan dan kolom pilar Yunani bergaya Doric di kedua sisi  Mu Bei dan tanpa adanya atap bangunan. Seolah hendak menyiratkan makna bahwa yang terbaring di tanah adalah beratapkan langit. Kesamaan bangunan ini bisa dimaknai ketiganya memiliki keterhubungan atau bisa jadi menjadi model arsitektur nisan pada zaman itu.


Sumber gambar: www.meneerpangky.com

Entah milik siapa pemilik nama ketiga bangunan makam kuno tersebut (penulis tidak memiliki kompetensi membaca teks berkarakter Hanzi). Nampak megah ditimpa cahaya matahari di atas perbukitan, sekalipun ada yang nampak kusut, kumuh dan menyeramkan karena tertutupi semak serta tidak terawat.

Adakah nilai penting mengkaji nisan-nisan di pemakaman Tinghoa khususnya yang berada di Pejagoan? Tentu saja ada. Pertama, keberadaan makam Tionghoa (termasuk makam non Tionghoa) bukan sekedar tempat untuk menguburkan jenazah orang-orang yang sudah meninggal. Sebaliknya, kompleks pekuburan bisa menjadi sarana kita memahami kompleksitas sosial budaya orang-orang yang dimakamkan di dalamnya. Keberadaan nisan berbeda abad dan tahun ibarat sebuah teks yang harus dibaca dan dianalisis.

Sebagaimana dikatakan Michael C.Keral, "Perhaps of all funerary artifacts, the cemetery is the most sociological didactic" yang artinya, “Nampaknya, dari semua artefak penguburan, kuburan adalah yang paling didaktik secara sosiologis” (Endings: A Sociological of Death and Dyng:1989:50). Keral melanjutkan, "Pekuburan adalah institusi budaya (Cultural institution) yang secara simbolis mendramatisir banyak kepercayaan dan nilai dasar masyarakat tentang masyarakat seperti apa, siapa anggotanya dan apa yang mereka cita-citakan" (1989:50)

Berangkat dari perspektif sosiologis di atas kita bisa mempelajari makna-makna simbolik keyakinan dan kebudayaan masyarakat Tionghoa di dalamnya. Mengapa setiap kompleks pekuburan selalu dipilih perbukitan, mengapa nisan Tionghoa mengikuti pola tertentu mulai dari Mu Bei (nisan yang memuat tulisan identitas makam), Mu An Qian Kao (bangunan berupa tembok yang mengelilingi makam), Mu An Qian Kao (bangunan berupa tembok yang mengelilingi makam), Mu Cheng (tembok pembatas pada sisi luar Mu An Qian Kao), altar di sekitar nisa dll



Kedua, Keberadaan makam Tionghoa di pejagoan khususnya juga menyediakan informasi berharga mengenai struktur sosial penyangga kota yang sudah ada sejak era kolonial. Masyarakat Tionghoa baik di Kabupaten Kebumen dan kabupaten Karanganyar era Hindia Belanda telah menjadi bagian dari struktur sosial selain masyarakat Jawa (dalam catatan statistik kolonial disebut dengan “inlander” alias “pribumi”) dan Eropa serta Timur Asing termasuk masyarakat Tionghoa di dalamnya.

Dalam sebuah laporan paling awal yang dapat dilacak dari sebuah artikel berjudul Fragmenten Eener Reis Over Java:Reis door de Binnenlanden van Midden-Java, Van Poerworedjo Naar Banjoemas  yang dimuat dalam Tijdschrift voor Nederland’s Indie (1850:84) kita mendapatkan keterangan berharga mengenai keberadaan etnis Tionghoa di Kebumen sbb: “Keboemen terletak di Looeloh dan merupakan kota utama dari Asisten residen Keboemen (yang juga termasuk Kabupaten Karanganjar di dalamnya) dan kabupaten dan kawedanan yang disebutkan dengan cara yang sama. Keboemen memiliki sedikit yang luar biasa. Rumah tinggal, kediaman bupati, masjid, gudang dan penjara tidak ada yang istimewa. Ada 50 Pradjoerits. Kabupaten Keboemen berpenduduk sekitar 37.000 jiwa, termasuk beberapa orang Eropa dan hampir 200 orang Tionghoa” (Teguh Hindarto, Pecinan Kebumen, Landskap Ekonomi Masa Kolonial dalam Pengembangan City Planning dan Cultural Tourism - https://suarabaru.id/2021/05/20/pecinan-kebumen-sebagai-landskap-ekonom-masa-kolonial-dalam-pengembangan-city-building-dan-cultural-tourism)



Ketiga, keberadaan makam Tionghoa di Pejagoan memperlihatkan status sosial seseorang. Keberadaan tiga makam Tionghoa dengan nisan beraksara Han dan tembok dengan kolom pilar Yunani bergaya Doric yang disinggung diawal tulisan ini tentu mencerminkan strata sosial mereka yang dimakamkan di sini. Bisa jadi seorang pengusaha (Teguh Hindarto, Eng Siang: Melacak Industri Rokok Klembak Menyan Kebumen Era Kolonial - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/05/eng-siang-melacak-industri-rokok.html) atau seorang pejabat publik di masa lalu. 

Karena etnis Tionghoa tidak semua berwirausaha. Sebagai contoh, etnis Tionghoa di tingkat kabupaten ada yang ditunjuk menjadi wakil etnisnya. Misalnya tercatat nama Khoe Ko Hoan sebagai Letnan Tionghoa di Kebumen dan Tiam Liang Tjoe Wikjmeester Tionghoa di Kebumen. Sementara Oeij Kong Tjien selaku Letnan Tionghoa di Karanganyar serta Tan Boen Joe selaku Wikjmeester Tionghoa di Gombong (Regeerings Almanak voor nederlandsch Indie 1890)

Hari semakin terik dan keringat sebesar biji jagung mulai menetes di kening dan lengan penulis ketika mencapai ketinggian bukit dan memasuki nisan tua dengan pilar Yunani yang mulai digerogoti zaman.

Sekalipun belum berhasil menuliskan kisah-kisah pemilik nisan (dikarenakan keterbatasan kemampuan bahasa), setidaknya memberikan sketsa struktur sosial penyangga kehidupan sosial dan ekonomi kota pada suatu masa. Tulisan ini hanyalah sebuah pendahuluan untuk memahami keberadaan kompleks pemakaman sebagai sebuan teks historis yang harus dianalisis dengan perangkat yang relevan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar