Selasa, 05 Juli 2022

KARANGSAMBUNG DALAM RISET GEOLOGI R.D.M. VERBEEK DAN R. FENNEMA (1896) SERTA CH. E.A. HARLOFF (1933)

 

Ketika kita mendengar nama Kecamatan Karangsambung di masa kini maka ada tiga hal yang setidaknya diakrabi oleh masyarakat yaitu: Pertama, Lokasi dengan kekayaan singkapan geologis yang bertebaran di tepian jalan, perbukitan, persawahan. Berbagai singkapan geologis tersebut meliputi batuan beku (basal, granit, gabro, andesit, diabas, dasit), batuan sedimen (rijang, konglomerat, batu pasir, batu gamping, batu gamping merah, kalkarenit), batuan metamorf (kuarsit, serpentinit, sekis mika, filit, karmer, gnels). Termasuk berbagai jenis batuan mulia. 

Kedua, pusat penelitian geologi yang disebut Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung LIPI yang telah berdiri sejak tahun 1964. Berdirinya pusat penelitian ini diinisiasi oleh Profesor Dr. Sukendar Asikin yang ketika lulus dari jurusan Geologi ITB tahun 1958. Sekarang bernama BRIN Karangsambung

Ketiga, sejak Tahun 2018 menjadi bagian dari kawasan bernama Geopark Karangsambung-Karangbolong yang meliputi kawasan seluas 543,599 Km2 dengan cakupan 12 Kecamatan dengan 117 Desa. Terdapat 41 (empat puluh satu) situs geologi yang menjadi situs utama di dalam Kawasan Geopark Karangsambung-Karangbolong. Situs tersebut dilengkapi oleh 8 (delapan) situs biologi dan 10 (sepuluh) situs budaya. Secara keseluruhan kawasan Geopark Karangsambung-Karangbolong akan terbagi menjadi 3 (tiga) segmen, yaitu Kawasan Karangsambung (Kawasan Cagar Alam geologi Karangsambung di Bagian Utara), Kawasan Sempor (Bagian Tengah) dan Kawasan Pesisir Ayah yang merupakan kawasan karst dan vulkanik tua (Bagian Selatan).

Sejumlah peneliti geologi telah menorehkan karya penelitianya di kawasan singkapan geologis Karangsambung, mulai dari H.D. Tjia (1966) Sukendar Asikin (1974), F. Paltrinieri, S. Sajekti, Suminta (1976), M.E. Suparka, (1988), C. Ansori (2011) dan masih banyak lagi.

Namun demikian, kawasan Karangsambung ini sebelumnya telah diteliti secara seksama di tahun 1800-an oleh beberapa geolog ternama dan telah menghasilkan sejumlah karya akademik yang melandasi berbagai penelitian geologi pasca kemerdekaan dan masa kini.

Nama-nama seperti R.D.M. Verbeek dan R. Fennema serta Ch. E.A Harloff menjadi peletak dasar penelitian geologi di kawasan Karangsambung dan Kebumen utara (Teguh Hindarto, R.D.M. Verbeek (1845-1926) Dan Jejak Riset Geologi Arkeologi di Kebumen - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/06/rdm-verbeek-1845-1926-dan-jejak-riset.html). Buku berikut memberikan kajian penting mengenai singkapan geologis Karangsambung dan wilayah-wilayah yang dilintasi Sungai Luk Ulo yaitu Beschrijving Geologische Van Java en Madoera (R.D.M. Verbeek dan R. Fennema, 1896) dan Geologische Kaart Van Java: Toelechting Bij Blad 67 (Bandjarnegara) (Ch. E.A Harloff, 1933). 

Tahun 1881, R.D.M. Verbeek dan R. Fennema telah lebih dahulu menulis sebuah risalah berjudul, Nieuwe Geologische Ontdekkingen op Java (Penemuan Geologi Baru di Jawa) di mana wilayah Karesidenan Bagelen di mana Kebumen termasuk di dalamnya menjadi wilayah penelitiannya. Di tahun 1929, Ch. E.A Harloff telah menullis kajian penting berjudul, Loh Oelo (Luk Ula).

Pada kesempatan ini kita akan menelaah secara ringkas buku-buku yang telah dituliskan oleh para peneliti geologi yang telah meletakkan dasar bagi penelitian geologi masa kini. Sekalipun penelitian di masa kini telah mengembangkan berbagai teori dan riset yang lebih canggih, salah satunya dengan mengadaptasi Plate Tectonic Theory alias Teori Lempeng Tektonik (https://www.earthquakeauthority.com/Blog/2020/Understanding-Plate-Tectonic-Theory) yang diinisiasi J. Tuzo Wilson tahun 1965, namun penelitian masa lalu menyediakan dasar penting bagi penelitian geologi masa kini di Karangsambung.

Beschrijving Geologische Van Java en Madoera (R.D.M. Verbeek dan R. Fennema, 1896) 

 

Buku setebal 1100-an halaman ini mengkaji berbagai topografi dan singkapan geologis berbagai wilayah di Jawa dan Madura. Dalam Bagian II Bab XIV berjudul Bagelen (351-390) kita mendapatkan sejumlah keterangan  berkaitan topografi dan geologi kawasan karesidenan Bagelen di mana Kebumen dan Karanganyar termasuk di dalamnya. Beberapa keterangan informatif yang dapat kita peroleh al., Pertama, mengenai topografi Bagelen. Bagelen memiliki bentuk segitiga, karena karesidenan ini meruncing di utara hingga Pegunungan Prahu. Di sebelah timur berbatasan dengan Kedu dan Yogyakarta, ke selatan dengan laut, ke arah barat dan barat laut berbatasan dengan Banyumas. Bagelen tidak memiliki batas utara yang nyata, karena di sini lima karesidenan yaitu Bagelen, Kedu, Semarang, Pekalongan dan Banyumas bertemu di satu titik yaitu Pegunungan Prahu sementara bagian utara Bagelen membentang tajam membentuk segitiga antara Kedu dan Banyumas menuju gunung itu

Kedua, keberadaan sungai-sungai utama yang melintasi wilayah karesidenan Bagelen yaitu Sungai Lerong (Kali Lereng?), Sungai Luk Ulo, Sungai Karangbolong, Sungai Ijo. Keberadaan sungai-sungai tersebut tidak dapat dilepaskan dari kondisi topografis di mana daerah aliran sungai membentang dari puncak Sindoro di perbatasan Kedu dan Bagělen menuju Pegunungan Prah kemudian menuju perbatasan Banyumas dan Pekalongan. Oleh karena itu karesidenan Bagelen sepenuhnya menjadi bagian dari cekungan/daerah tangkapan air  Pantai Selatan.

Ketiga, formasi sedimen kuno  dan tersier dimana didapati formasi batuan serpih (schiefergesteenten) dengan batuan erupsi tua (eruptiegesteenten) yaitu diabas dan gabro yang mana lokasi ini dilintasi oleh sungai Luk Ulo dan anak-anak sungainya yaitu Kali Gebang I, Kali Loning, Kali Cangkring dekat Sadang, Kali Paladadi di Sěboro, Kali Wates di Pucangan, Kali Loh Kidang, Kali Cacaban, Kali Gebang II, Kali Karang. Sedikit catatan mengenai batu serpih dimaksudkan adalah batuan sedimen klastik berbutir halus yang terdiri dari lumpur yang merupakan campuran dari serpihan mineral-mineral lempung dan fragmen-fragmen kecil dari mineral lainnya, terutama kuarsa dan kalsit.

Keempat, ditemukannya batuan granit di aliran sungai Luk Ulo di selatan Sadang. Pada waktu penemuan granit, Verbeek dan Fennema belum mendapati singkapan granit baik di hilir dan hulu Sungai Luk Ulo, namun di masa kini singkapan granit didapati di hulu Sungai Luk Ulo sebagaimana penelitian Nugroho Imam Setiawan dkk dalam artikelnya, Petrologi, Geokimia dan Umur Batuan Granitoid di Kompleks Luk Ulo, Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah - Proceeding, Seminat Nasional Kebumian ke-8, Academia-Industry Linkage, 15-16 Oktober  2015; Grha Sabha Pramana). Bahkan jika Verbeek dan Fennema belum dapat memastikan usia batua granit yang ditemukan di Sadang, Nugroho Imam Setiawan dkk sudah dapat memastikan usianya dengan bantuan teknologi terkini. 

Namun demikian, Nugroho Imam Setiawan mengatakan bahwa penelitian granit di Karangsambung dilaporkan pertama kali oleh K.B. Katner tahun 1976 melalui artikelnya berjudul, Pre-Eocene rocks of Java, Indonesia yang dimuat  Journal of Research United States Geological Survey. Namun dengan membaca riset Verbeek dan Fennema kita menjadi tahu bahwa merekalah yang pertama kali menemukan dan mengidentifikasi keberadaan granit di aliran sungai Luk Ulo khususnya di selatan Sadang. Bahkan dalam buku Verbeek mengatakan bahwa dirinya dan Fennema bakal menemukan kembali batuan granit di aliran Sungai Luk Ulo

Kelima, sebuah kurun waktu di mana rawa-rawa besar dan gumuk pasir masih ada. Dilaporkan dalam buku ini mengenai Rawa Wawar di Barat Daya Kutoarjo dan Rawa Tambakboyo di sekitar perbukitan Karangbolong. Di antara rawa-rawa tersebut dengan laut terdapat hamparan pasir laut setinggi 5-11 meter yang menjadi penyebab terhambatnya aliran sungai dan tergenangnya kawasan pesisir. Tidak kalah menariknya informasi mengenai keberadaan gumuk-gumuk pasir di kawasan pesisir selatan Kebumen di masa Verbeek dan Fennema menulsiakn penelitiannya. Dijelaskan bahwa di sepanjang pantai terdapat hamparan pasir laut yang luas, terdiri dari tiga rangkaian bukit pasir tandus setinggi 5 hingga 11 meter dan di belakangnya beberapa rangkaian bukit pasir yang lebih tua, di mana desa-desa telah dibangun, sedangkan lembah-lembah perantara telah diubah menjadi sawah. Deretan desa-desa di pesisir pantai dari perbatasan Yogyakarta hingga pegunungan Karangbolong ini disebut “Urut Sewu” dengan jarak sekitar 60 km. Keberadaan sawah-sawah tersebut sekitar 2-3 meter di wilayah desa Puring, Petanahan, Ambal dengan panjang sawah antara 5-6 kilometer

Geologische Kaart Van Java: Toelechting Bij Blad 67 (Bandjarnegara) (Ch. E.A Harloff, 1933)


Buku setebal 47 halaman ini (disertai lampiran peta Banjarnegara dan Kebumen) mengkaji berbagai morfologi pegunungan Serayu Selatan dan Lembah Serayu serta formasi geologis yang membentuk wilayah Banjarnegara termasuk wilayah utara Kebumen yang berdekatan dengan Banjarnegara. Dalam pembahasan ikhtisar formasi geologis dibagi menjadi tiga masa yaitu masa Pretersier, masa Tersier dan masa Kuarter, batuan erupsi, peristiwa tektonik serta mineral yang berguna. Riset ini menjadikan buku karya Verbeek dan Fennema menjadi salah satu sumber rujukan.

Riset lapangan dimulai pada bulan September 1928 dan selesai pada tahun 1931. Riset yang dipimpin  ahli geologi Dr. Ch. E.A. Harloff ini dibantu oleh mantri opnemer Sajadi, Mardjo, Ngadiroen serta mahasiswa opnemer Suroto, Panuju, Mudasir. Ahli petrologi Dr. P. Esenwein melakukan analisis beberapa batuan. Data paleontologi tersebut, setelah penelitian menyeluruh, diproses oleh geolog dan  Pimpinan Pemataan Jawa, Ir. W. F. F. Oppenoorth  dan oleh ahli paleontologi Dr. Ch. Ostingh serta Dr. Tan Sin Kok. Dasar topografis untuk pencatatan merujuk pada Lembar 1:50.000 yang telah dibuat sejak  tahun 1897 -1903 oleh Dinas Topografi.

Beberapa keterangan informatif yang dapat kita peroleh al., Pertama, keberadaan rute jalan penghubung di wilayah utara Kebumen. Harloff melaporkan dari Kebumen seseorang dapat mencapai desa Banioro dengan mengendarai mobil di sepanjang lembah Luk Ulo, sementara jalan lain mengarah dari Kebumen ke Krakal, dekat Alian. Dari Gombong dua jalan mobil berjalan lancar ke Kedungbulus dan ke Sempor. Informasi ini menggambarkan situasi infrastruktur wilayah Kebumen utara di tahun 1933 sudah dapat ditempuh dengan lebih baik tinimbang di masa Verbeek dan Fennema melakukan riset di tahun 1880-an dan 1890-an.


Selanjutnya Harloff menjelaskan bahwa jalan raya utama antara Utara dan Selatan, yang harus ditempuh dengan berjalan kaki atau menunggang kuda, ada empat jalur. Jalur pertama adalah dari Banjarnegara sampai Banioro (yang melewati desa-desa al., Banjarnegara-Blimbing-Siranti-Banjaran-Karangtengah-Sirongge-Lokidang).. Jalur kedua membentang dari Banjarnegara melewati Blimbing ke Pesangkalan, dari sini mengikuti jalur Sungai Loning ke pusat kota kecamatan Sadang-Wetan, melintasi Sungai Luk Ulo di Sadang-Kulon, mendaki gunung melewati antara Igir Gandoel dan Igir Dliwang kemudian mencapai kampung Wadasmalang melalui Pujegan. Jalur ketiga dimulai di Lembah Serayu di kampung Pucang tepat di sebelah barat km-paal 30 dari jalan raya utama. Sepanjang jalur ini seseorang bisa mencapai desa Somarame melalui Watuurip dan Wiramastra, dari mana jalur berlanjut ke selatan melalui Sipanjang ke Kedungbiru dan ke pusat kota kecamatan Pagebangan. Dari sini, melalui Pingit, seseorang mencapai pusat kota kecamatan Karanggayam dan kemudian Karanganjar. Jalur keempat dimulai dari Mandiraja, terletak di jalan raya besar Lembah Serayu (km –paal 20) dan mengarah ke Merden, Kalitengah dan Pasuruhan menuju Somagede. Dari jalur ini mengikuti lembah Sungai Watoebarut dan melalui Kenteng dan Kedungbulus menuju Gombong.

Kedua, keberadaan batuan granit sebagai batuan beku hasil pendinginan erupsi vulkanik ditemukan di Kali Wora-Wari (tidak jelas di masa kini posisi sungai ini di mana). Harloff menjelaskan bahwa potongan balok granit ini bervariasi dalam ukuran antara ukuran kepalan tangan dan balok bulat dengan volume beberapa meter kubik. Meskipun ada beberapa spesies, yaitu granit biotit, granit biotit mus covite, potas feldspar (ortoklas dan mikroklin), plagioklas dan kuarsa, dan granodiorit atau tonalit, namun ada kesamaan cukup besar untuk membenarkan asumsi bahwa batuan ini datang dari satu dan intrusi yang sama.  Keberadaan batu granit dalam bentuk balok-balok ini pada zaman Eosen membuktikan bahwa batu tersebut telah mengalami intrusi, pemadatan dan tersingkap oleh erosi selama periode tersebut.


Ketiga, dalam kajian berjudul Nuttige Delfstoffen (Mineral yang bermanfaat) disebutkan sejumlah material seperti Bijih Tembaga, Fosfat, Blok Bangunan, Batu Hias, Dasit. Harloff menyinggung juga sebuah keberadaan pusat industri genteng dan batu bata di dekat stasiun kereta (Soka). Menurutnya, keberadaan tanah liat sebagai bahan pembuatan batu bata dan genteng ini merupakan produk pelapukan dari endapan Kuarter Lama, dari mana dataran Kebumen, Karanganyar, Gombong dibangun. Mengenai keberadaan batu hias, Harloff menyebutkan nama Kecamatan Pagebangan, Kabupaten Karanganjar, sebagai pusat industri. Banyak sungai kecil yang menghasilkan jasper merah, coklat yang berasal dari breksi horizon dan breksi andesit. Selain Pagebangan, nama Curukdawa dan Pegunungan Kayubima di Kabupaten Karanganyar disitir sebagai lokasi “mengandung batuan terindah yang tentunya bisa memenuhi syarat untuk batu hias” dikarenakan mengandung batuan Dacit. Dasit adalah batuan beku berbutir halus yang biasanya berwarna terang. Terkadang hadir dalam textur porfiritik. Dasit dalam aliran lava, kubah lava, dike, sill, dan ditemukan-pecahan piroklastik. 

Keempat, keberadaan pemandian air panas Krakal. Dalam riset Harloff, pemandian air panas kala itu dikelola oleh badan kesehatan pemerintah dan rumah sakit zending dan dimanfaatkan oleh kabupaten Kebumen sebagai lokasi penyembuhan penyakit khususnya rematik. Pada tahun 1930 pemandian air panas Krakal memiliki dua hotel kecil Eropa dan beberapa penginapan Pribumi. Ada juga rumah sakit misi kecil, “cabang” dari rumah sakit misi besar di Kebumen. Menurut laporan Harlof, suhu air panas pada musim kemarau tahun 1930 adalah lebih dari 40°C, kandungan garamnya terutama terdiri dari klorida, sedangkan yodium terdeteksi sedikit. Menariknya, Harloff mencatat perubahan luar biasa kandungan air panas Krakal. Terjadi perubahan bertahap dalam komposisi kimia air, yang telah dilakukan sejak 1871, 1916 dan 1932. Perubahan ini memanifestasikan dirinya dalam peningkatan NaCl dan CaCl dan penurunan KCl, MgCl dan Yodium.


Demikian pembahasan ringkasan buku berjudul, Beschrijving Geologische Van Java en Madoera (R.D.M. Verbeek dan R. Fennema, 1896) dan Geologische Kaart Van Java: Toelechting Bij Blad 67 (Bandjarnegara) (Ch. E.A Harloff, 1933) yang menjadi fundasi riset-riset geologis di kemudian hari. Sebagaimana kerap penulis (Teguh Hindarto) sampaikan dalam banyak kesempatan, “Masa lalu adalah kunci memahami masa kini”. Maka dengan meneliti tulisan-tulisan terdahulu, kita bisa mengerti sejauh mana hubungan masa lalu dengan masa kini terbentuk. Riset-riset geologis di masa kini merupakan kelanjutan dari riset sebelumnya dengan segala kekurangan dan kelebihannya. Dengan membaca riset-riset di masa lalu, kita mendapatkan informasi penting perkembangan sebuah wilayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar