Selasa, 12 Mei 2020

LEBARAN DI PANTAI PETANAHAN TAHUN 1933


Sebuah laporan menarik dengan judul, De Lebaran te Petanahan (Lebaran di Petanahan) yang dimuat oleh koran De Locomotief (1 Febuari 1933) mendeskripsikan sebuah keramaian di masa Lebaran yang berpusat di Pantai Petanahan.

Dengan membaca laporan ini kita bisa melacak rantai asal usul historis sejumlah adat istiadat dan kebiasaan yang masih berlangsung hari ini di sebuah masyarakat, apakah tetap ataukah mengalami perubahan, modifikasi atau bahkan hilang alias tidak dilaksanakan kembali.

Mungkin ada yang bertanya, mengapa pejabat Belanda yang hadir beserta pejabat daerah khoq malah dari Karesidenan Banyumas dan Kabupaten Karanganyar? Perlu diketahui bahwa Kabupaten Karanganyar sebelum menjadi bagian dari Kebumen (1936) adalah kabupaten mandiri dan pernah menjadi bagian Karesidenan Bagelen (1841) Karesidenan Kedu (1901), Karesidenan Banyumas Selatan (1928) dan menjadi Karesidenan Kedu kembali (1936).


Mari kita simak isi beritanya dan kita berimajinasi menjelajahi ruang dan keramaian masa silam sebagaimana dilaporkan media surat kabar pada zaman itu.

Perayaan besar (de groote feesten) di Petanahan dimulai pada Sabtu pagi (zaterdagmorgen). Seperti yang diduga, ribuan penduduk pribumi (inlanders) berduyun-duyun ke sini setiap tahun untuk memberikan persembahan untuk menghormati Njai Loro Kidoel dan menyucikan diri (zuiveren) mereka dengan mandi air laut. Perayaan di lokasi ini sudah berusia tua (ouden datum). Meskipun orang akan mengharapkan bahwa Karangbolong, tempat bersemayam (kata “bed” secara literal “tidur” namun diterjemahkan secara dinamis menjadi “bersemayam”) Dewi Pantai Selatan (der Godin der Zuidkust) berada,  akan memenuhi syarat di tempat pertama, namun Petanahan selalu menjadi tempat utama di mana Dewi dipuja/dihormati (vereerd). Pantai yang luas, dengan kemiringan yang landai, ideal untuk perayaan Lebaran (viering van de Lebaran)

Pada hari sabtu pagi (zaterdagmorgen) pukul enam, sudah sangat ramai di laut. Banyak tenda dipasang di sepanjang pantai, untuk memuaskan rasa lapar dan haus (dorstigen te voldoen). Tidak hanya di sini, tetapi sudah dari jalan utama ke pantai kita menemukan warung kecil (warongs langs) di sepanjang jalan. Akses jalan telah mengalami peningkatan besar, banyak langkah polisi telah diambil untuk mengatasi kerumunan besar yang diharapkan selama tujuh hari ke depan. Pantai dapat dicapai hampir seluruhnya dengan mobil (auto). Bentangan terakhir, beberapa ratus meter, tidak dapat diakses oleh kendaraan

Sabtu pagi Residen Banjoemas, ditemani oleh Asisten Residen dari Karanganjar dan Poerwokerto dan Bupati Karanganjar mengunjungi perayaan. Itu hanya kunjungan sesekali, tidak memiliki karakter resmi. Jika Anda tertarik pada festival khas Jawa (typisch Javaansch feest), Anda masih bisa melihatnya di Petanahan dalam beberapa hari mendatang.

Beberapa tahun kemudian yaitu di tahun 1937 surat kabar De Locomotief (7 Desember 1937) melaporkan suasana hari raya Iedul Fitri di Kebumen pada tahun sbb:

Penduduk pribumi Keboemen dengan riang merayakan akhir bulan puasa ( vastenmaand), setidaknya dinilai dari banyaknya kembang api (vuurwerk) yang telah dinyalakan

Sepanjang pagi itu datang dan pergi di kaboepaten yang luas. Beberapa warga Eropa juga memanfaatkan kesempatan tersebut, ditemani oleh para istri mereka, untuk mengucapkan selamat kepada bupati dan dewi ajoe (istri) atas Hari Raja


Bagaimana? Sudahkah kita berhasil mengenali sejumlah lokasi dan aktivitas sosial budaya yang dilaporkan terjadi saat Lebaran pada tahun 1933 dan suasana di ibu kota kabupaten Kebumen pada saat Lebaran tahun 1937?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar