Kamis, 23 November 2023

RENCANA PABRIK GULA DI WONOKRIYO DAN SRUWENG TAHUN 1909 DAN 1926

Gula (sebagaimana kopi,teh,kayu manis,lada dsj) merupakan komoditas primadona di era Hindia Belanda. Tidak mengherankan jika kita mendapati berbagai peninggalan pabrik gula, baik yang sudah tidak berfungsi maupun yang masih berfungsi sampai hari ini dari era Hindia Belanda yang tersebar khususnya di Jawa.

Sejak dihapuskannya cultuurstelsel (tanam paksa) dan dikeluarkannya Undang-Undang Agraria tahun 1870, terjadi perubahan skema peran dan fungsi dalam kegiatan ekonomi gula di Hindia Belanda. Jika di era cultuutstelsel pemain utama adalah pemerintah maka di era Liberal bersamaan dengan keliarnya UU Agraria tahun 1870, pemain utamanya swasta. Pola ekonomi tanam secara paksa digantikan dengan sewa tanah dan sistem kerja paksa digantikan pengupahan dengan diperkenalkannya sistem pembayaran dengan uang.

Kejayaan gula berlangsung setidaknya sampai tahun 1930-an sebelum badai malaise alias krisis ekonomi dunia memporak-porandakan segala bidang bisnis termasuk gula.

Desa Wonokriyo di Kawedanan (district) Gombong, Kabupaten (regentschap) Karanganyar sempat dilirik pengusaha gula swasta dari Malang berkebangsaan Belanda bernama A.Ch.G.van Cattenburch dan J.E. van Cattenburch pada tahun 1909. Menurut laporan surat kabar De Locomotief (10 Agustus 1909) bahwa Residen Kedu (P.Wijers) mengumumkan bahwa pihak swasta sebagaimana telah disebutkan kedua namanya di atas telah mengajukan permohonan izin pendirian pabrik gula di desa Wonokriyo Kawedanan Gombong Kabupaten Karanganyar Afdeeling Kebumen dengan jumlah penanaman maksimal 1000 bahu, dimana 200 bahu diantaranya di Kawedanan Kalirejo (Di Kalirejo, kelak pada tahun 1911 akan berdiri pabrik gula. Dapat dibaca pada artikel, Melacak Jejak Yang Tersisa Suikerfabriek Kaliredjo, Sumpiuh (historyandlegacy-kebumen.blogspot.com) Karesidenan Banyumas dan 400 bahu di Kawedanan Banyumudal serta 400 bahu di Kawedanan Gombong.

Nampaknya niatan mereka harus kandas karena menurut laporan surat kabar Bataviasch Nieuwsblad (2 April 1910) bahwa permohonan mereka untuk izin mendirikan dan mengoperasikan perusahaan gula masing-masing di desa Wonokriyo (kawedanan Gombong) dan Sokka (kawedanan Pejagoan), Afdeeling Kebumen, tidak dapat dikabulkan sehubungan dengan kondisi sistem irigasi (het bevloeiingswezen) saat itu.

Nasib serupa kelak akan dialami oleh penanam modal swasta di bidang gula ketika mereka mengincar lahan di desa Sruweng Kawedanan Pejagoan. Pada tahun 1926, dua orang Belanda bernama Heemskerek dari Yogyakarta dan Vendeloo dari Surakarta mengajukan konsesi kepada pemerintah daerah untuk membuka lahan seluas 5000 bahu di desa Sruweng, Kabupaten Karanganyar. Mereka berencana akan membuka lahan penanaman tebu di wilayah Kawedanan Rowokele, Gombong, Karanganyar, Puring dan Pejagoan Kabupaten Karanganjar.

Pemohon konsesi berkomitmen untuk membangun dua waduk; satu di Kali Luk Ulo dan satu lagi di dekat Sempor. Kedua waduk ini mampu mengairi area seluas 15.000 hingga 16.000 bahu. Pabriknya sendiri berlokasi di desa Sruweng, Kawedanan Pejagoan.

Nah, jangan-jangan rumah di mana Anda tinggal (khususnya yang sekarang berada di Wonokriyo atau Sruweng) dahulunya pernah menjadi sebuah lahan yang dilirik oleh pegusaha Belanda untuk dijadikan areal penanaman dan pabrik tebu ya?


Tidak ada komentar:

Posting Komentar