Rabu, 03 Mei 2023

SETELAH TIGA PULUH TAHUN: HARI PERTAMA MENONTON SEWU DINO DAN MEMBINCANG GENRE HOROR

Setelah kurang lebih tiga puluh tahun masyarakat Kebumen tidak dapat lagi menikmati tayangan film layar lebar karena bioskop kesayangan bernama “Indrakila’ dan “Star” telah lama gulung tikar (Teguh Hindarto, Bioskop Kebumen:Antara Masa Lalu dan Yang Akan Datang - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/03/bioskop-dan-film-di-kebumen-antara-masa.html), maka untuk pertama kalinya pada tanggal 19 April 2023 masyarakat Kebumen kembali dapat menikmati tayangan film layar lebar di Platinum Cineplex di lantai UG Trio Mall Kebumen, Jalan Sarbini 109 Kebumen. Pembukaan tayangan untuk publik dimulai tanggal 20 April 2023 dan diresmikan Bupati dan Wakil Bupati Kebumen pada tanggal 26 April 2023.

Akhirnya, tidak harus ke Yogyakarta atau ke Purwokerto untuk menikmati tayangan film layar lebar luar negeri maupun dalam negeri. Penulis mencoba bergabung dengan keramaian anak-anak muda yang begitu antusias menjelang dan pasca Iedul Fitri masih menjejali studio dengan kapasitas kursi 150-an tersebut.

Kompas.com

Sewu Dino, menjadi film yang dipilih penulis untuk dinikmati. Selain ingin menikmati suasana studio film kiwari (terkini) di Kebumen juga ingin mengapresiasi sejauh mana plot film horor Indonesia berkembang. Ternyata tidak mengecewakan. Film yang disutradarai oleh Kimo Stamboel tidak mengecewakan.

Buat penulis yang sekedar menjadi penggemar film dan bukan kritikus ahli, setidaknya cukup puas dengan teknik visual CGI (Computer Generated Imagery) yang memperlihatkan adegan gore (berdarah) secara dramatis dan nyaris sempurna. Plot cerita tidak monoton hanya sekedar menceritakan hantu lokal seperti pocong, kuntilanak, jailangkung seperti yang sudah-sudah. Tidak berlebihan jika penulis mengatakan bahwa tidak kalah dengan alur kisah dalam film Conjuring (Teguh Hindarto - Film "The Conjuring: The Enfield Poltergeist" dan Fenomena Demonik di Sekitar Kita - https://pijarpemikiran.blogspot.com/2016/06/film-conjuring-enfield-poltergeist-dan.html)yang juga diangkat dari kisah nyata.

Sayangnya pengucapan logat Jawa Timuran (di mana setting peristiwa ini terjadi) oleh para pemain kurang kental dan pergantian bahasa campuran Indonesia ke bahasa Jawa masih terasa kagok.

Sewu Dino diangkat dari kisah nyata yang berlangsung pada tahun 2001, erdasarkan thread dari Twitter yaitu Simple Man, kisahnya diperoleh dari seseorang dengan identitas dirahasiakan. Manoj Punjabi selaku produser menyebutkan, jika kisah dalam twitter 70% kisah nyata maka film ini 40% didasarkan kisah nyata.

Sewu Dino berfokus pada sosok perempuan yang bernama Sri yang mengalami kesulitan ekonomi dan mencoba mencari pekerjaan karena sedang membutuhkan banyak uang untuk pengobatan ayahnya. Waktu menuntun Sri bekerja di rumah Mbah Atmojo dengan bayaran tinggi (10 juta). Pertimbangan dirinya diterima kerja karena lahir pada hari Jumat Kliwon. Persyaratan yang membuat Sri bertanya-tanya sendiri.

Sri tidak bekerja seorang diri melainkan ditemani oleh dua perempuan lain bernama Dini dan Erna. Mereka dibawa ke gubuk yang tersembunyi di hutan. Setelah sampai gubuk, ketiganya diberitahu bahwa tugas mereka ialah memandikan dan menjaga Dela Atmojo (cucu Mbah Atmojo yang terkena santet sewu dino) yang diikat dan ditempatkan ke dalam keranda. Dela yang tiak sadarkan dir dirasuki oleh roh bernama Sangarturih

Beragam kejadian mistis semakin menghantui mereka,selama bekerja di gubuk tersebut terutama saat hari menuju malam dan tugas memandikan Dela harus segera dikerjakan.

Sri, Dini dan Erna harus menyelesaikan ritual hingga hari ke-1000, sesuai judul film ini Sewu Dino. Ketiganya terikat perjanjian mistis dengan Mbah Karso dan harus berjuang bertahan hidup samai Dela mengalami kesembuhan. Mereka tidak bisa kabur dari gubuk tersebut dan jika melanggar perjanjian maka nyawa menjadi taruhannya. Kira-kira demikianlah ringkas isi filmnya.

Apakah masyarakat kita belum bisa bergeser dari fenomena mistik? Tentu ada ruang khusus untuk menjawab persoalan tersebut. Namun secara historis, tema-tema bernuansa mistik, horor, gaib atau dalam bahasa Belanda stille kracht (kekuatan diam) sudah mewarnai genre sastra kolonial di Hindia Belanda.

Sebut saja novel Goena-Goena karya P.A. Daum (1889). Novel ini pertama kali muncul di surat kabar Bataviaasch Nieuwsblad antara 16 April sampai 16 Agustus 1887. Kemudian cerita serial tersebut dibukukan pada tahun 1889. Ada pula buku Goena-Goena karya Caesar Kijdsmeir (nama samaran untuk A. Zimmerman), De Orient, 1930.

Selain itu sebuah naskah drama berjudul Roemah Angker diterbitkan oleh J. W. Boissevain & Co – Haarlemo 1922 ditulis oleh Johan Wilhelm Henri van Wermeskerken

Mengapa penulis Belanda tersebut menuliskan realitas sosial kultural yang hidup di Hindia Belanda dalam tulisan mereka? Tentu saja karena mereka pernah tinggal di Hindia Belanda selama beberapa tahun dan berinteraksi dengan berbagai sistem kepercayaan lokal yang dipercayai masyarakat Hindia.

Johan Wilhelm Henri van Wermeskerken kelahiran Rotterdam yang bekerja sebagai jurnalis dan penulis naskah drama telah membawa dirinya ke Hindia Belanda. Di Hindia Belanda ia menetap dan menjadi koresponden surat kabar De Telegraaf dan Soerabaijasch Dagblad selama empat tahun Di sini para penggemar Batavia memintanya untuk menulis sebuah karya yang akhirnya meledak dengan judul Tropenadel (1916) dan ditayangkan di Surabaya. Anehnya, Wikipedia tidak mencantumkan naskah berjudul, Roemah Angker dalam ulasannya (Henri van Wermeskerken - https://nl.wikipedia.org/wiki/Henri_van_Wermeskerken)

Bedanya, pada masa itu tema-tema kepercayaan lokal belum diangkat menjadi sebuah tayangan film layar lebar. Nah, dari aspek historis kita telah mendapatkan jawabannya bahwa kesadaran tentang keberadaan “yang lain” dan “yang gaib” sudah berakar sejak sebelum era kolonial bahkan era kolonial dan menjadi komoditas baik roman, novel, drama bahkan film di masa kini.

Yuk, nonton film...


 

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar