Senin, 13 Maret 2023

DARI HALTE WONOSARI MENJADI STASIUN WONOSARI: JEJAK MODA TRANSPORTASI ERA STATSPOORWEGEN (S.S) DI KEBUMEN

Matahari sore nampak mulai bergeser ke Barat, menjatuhi hamparan padi yang mulai menguning menunggu panen. Di kejauhan sebelah utara barisan perbukitan melengkapi keindahan pemandangan sore di lihat dari sebuah stasiun tua yang sejak pemasangan double track  (2019) lebih difungsikan sebagai gudang dan fungsi stasiun dipindah ke sebelah timur, demikian keterangan dari Bapak Danang selaku Kepala Stasiun Wonosari, Kebumen.

Inilah Stasiun Wonosari yang berada tidak jauh dari Jalan Raya Kebumen-Purworejo, hanya berjarak 40 meter ke arah Timur Laut. Kondisi stasiun nampak terawat sekalipun tidak difungsikan selain menjadi gudang. Kondisinya berbeda dengan eks Stasiun Soka yang sudah tidak difungsikan sama sekali dan mulai terlihat lusuh sekalipun pernah menyimpan kisah (Teguh Hindarto, Soka Dari Masa ke Masa - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2022/01/soka-dari-masa-ke-masa.html).

Bangunan bercorak Indisch dan menyimpan jejak sentuhan arsitektral era kolonial ini nampak dari lengkungan di pintu masuk dan ventilasi berbentuk bulatan dengan tirai besi.

Keberadaan bangunan yang menyimpan jejak kekunoan ini menarik untuk ditelisik, sejak kapan dibangun dan difungsikan. Sebelum kita memasuki pembahasan tersebut kita melakukan flash back sejenak mengenai sejarah diberlakukannya moda transportasi kereta api di era kolonial.

Dari Gerobak Sapi ke Kereta Api

Ketika sistem Tanam Paksa (Cultuurstelsel) masih diberlakukan di seantero Jawa, berbagai komoditas hasil bumi yang harus dibawa ke pelabuhan (untuk Jawa Tengah di pelabuhan Cilacap dan Semarang) biasanya di bawa dari pedalaman dengan melewati jalur darat dan sungai. Beberapa sungai terkenal seperti Brantas, Bengawan Solo, Serayu, Citarum, Citandui, Cimanuk menjadi jalur penghubung menuju pelabuhan. Jalan darat yang dilakui belum mengalami pengaspalan sebelum tahun 1900-an. Sarana transportasi yang dipergunakan adalah gerobak sapi (pedati) dan kuda.

Dengan moda transportasi yang sedemikian dan infrastruktur yang belum memadai, berpengaruh terhadap performa komoditas yang akan dikirimkan ke pelabuhan. Penyusutan kualitas komoditas umumnya dipengaruhi saat proses bongkar muat, pengaruh cuaca, pencurian dan tumpahan.

Biaya transportasi sangat tinggi pada saat itu. Transportasi di jalan pedesaan di daerah datar menelan biaya setidaknya 1,5 sen per pikol-paal (18 sen per ton-kilometer), seringkali naik menjadi 2,5 sen (27 sen per ton-kilometer). Di daerah pegunungan 3,5 hingga 4 sen per pikol-paal (37 hingga 43 sen per ton-kilometer) adalah harga normal, tetapi dalam kondisi yang tidak menguntungkan harga ini sering naik menjadi 5 hingga 6 sen per pikol-paal (54 hingga 64 sen per ton-kilometer), demikian tulis buku De Tramwegen Op Java; Gedenkboek Samengesteld Ter Gelegenheid Van het Vijf en Twintig Jarig Bestaan der Samarang-Joana Stoomtram Maatschapij (1907:10)

Tarif pengangkutan di Sungai Solo rendah (2,5 sampai 3,5 sen per ton-kilometer) pada saat kapal besar dapat digunakan, tetapi hampir sepanjang tahun navigasi terbatas pada rakit kayu dan perahu kecil

Untuk produk utama hasil bumi yaitu beras, pengangkutan dengan jarak yang cukup jauh menjadi terlalu mahal. Akibatnya, dengan kelangkaan bahan pangan lokal, perbedaan harga beras yang cukup besar terjadi di Jawa. Di Semarang pada tahun 1860 harga beras ƒ 18 sampai ƒ 20 per pikol dan pada saat yang sama di Karesidenan Priangan hanya ƒ 1,50 (Ibid.)

Berbagai persoalan dan kendala teknis terkait moda transportasi dan infrastruktur yang melahirkan gagasan pembukaan jalur kereta api sebagaimana telah dilakukan di Belanda.

Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M) dan Staatspoorweg (S.S)

Kereta api pertama yang berfungsi di Jawa dimulai dari kalangan swasta yaitu Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij (N.I.S.M). Pada tahun 1862, Mr. Poolman diberikan konsesi membangun lintasan Semarang—Vorstenlanden (Yogyakarta-Surakarta) diikuti dua tahun kemudian dengan konsesi jalur Batavia - Buitenzorg.

Perusahaan ini menugaskan insiyur J.P. de Bordes untuk membuka jalur kereta api di Jawa Tengah dengan lebar jalur (spoorwijdte) 1.435 mm. Kemudian tanggal 17 Juni 1864 Gubernur Jenderal Sloet van de Beele menancapkan sekop ke tanah sebagai awal pekerjaan dimulai. Pekerjaan dilanjutkan dengan giat, sehingga tanggal 10 Agustus 1867 jalur Semarang-Tanggung sepanjang 24,7 km dapat dioperasikan. Kemudian untuk jalur lintasan Solo Yogyakarta diselesaikan Tanggal 10 Juli 1872 (S.A. Reitsma, Korte Geschiedenis der Nederlandsche Indische Spoor en Trawwegen, 1928:21).

Setelah N.I.S.M berhasil membuka jalur kereta api disusul Statspoorwegen (S.S) alias perusahaan kereta api negara melalui Undang-Undang anggal 6 April 1875 (Statblad Indie no. 141) diberikan izin untuk membangun jalan kereta api negara di Hindia Belanda dengan jalur lintasan Surabaya — Pasuruan — Malang. Proyek ini dipimpin oleh Inspektur Jendral D. Maarschalk (D.G. Stibbe, E.M. Uhlenbeck, Encylopaedie Van Nederlandsch Indie, 1921:69)

Selain Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij masih ada beberapa pihak swasta yang menanamkan modal di bidang moda transportasi kereta api yaitu: Semarang—Joana Stoomtram, Nederlandsch-Indische Tram; Oost-Java Stoomtram; Tramwegen van de Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, Semarang—Cheribon Stoomtram, Sèrajoêdal Stoomtram, Kediri Stoomtram, Malang Stoomtram, Pasoeroean Stoomtram, Probolinggo Stoomtram, Modjokërto Stoomtram, Babat — Djombang Stoomtram, Madoera Stoomtram, Tramwegen van de Deli Spoorweg Maatschappij, Batavia Electrische Tram. (Ibid, 78-79)

Kita kembali ke Stasiun Wonosori. Keberadaan jalur kereta dari Yogyakarta sampai Cilacap tidak bisa dilepaskan dengan pembukaan jalur Staatspoorwegen pada tahun 1887 (Teguh Hindarto, Stasiun Kebumen: Masa Lalu dan Masa Kini - http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2019/11/stasiun-kebumen-masa-lalu-dan-masa-kini_13.html). Perlu diketahui bahwa ada pembedaan antara stasiun dan halte. Keberadaan halte lebih kepada lokasi perhentian kereta untuk beberapa saat jika berpapasan dengan kereta lain. Namun di era pasca kemerdekaan tidak ada lagi pembedaan antara halte dan stasiun.

Tahun Stasiun Wonosari Dibangun

Keberadaan Stasiun Wonosari ini dahulu berstatus halte dan bukan stasiun. Jika Stasiun Kebumen sudah ada sejak 1887 maka halte Wonosari ini dibangun setelah tahun 1890 sebagaimana sebuah pemberitahuan di surat kabar de Locomotief (28 November 1890) sbb:

“Diumumkan akan didirikan tempat pemberhentian untuk publik di halte Tambak (antara halte Idjoe dan Soempioeh) dan di Wonosari (antara halte Koetowinangoon dan stasiun Keboemen). Transportasi ke dan dari halte ini akan dibatasi untuk pelancong/penumpang (reizigers) dan barang bawaan untuk saat ini”

Jika pemberitahuan ini diumumkan 28 November 1890 maka halte ini bisa jadi dibangun awal tahun 1891 karena dalam sebuah laporan berita oleh de Locomotief (29 Juni 1895) keberadaan halte Wonosari sudah difungsikan.

“Anda melewati Sroeweng — yang terletak di tengah sawah di mana Anda akan melihat banyak bambu — Anda tiba pada pukul 14:00 di Keboemen, setelah melewati jembatan kereta api besar. Ini adalah tempat yang besar dengan bangunan yang luas. Tidak ada pemandangan yang mengesankan selama rute yang ditempuh. Anda melihat jalan teduh yang lebih baik. Sampai Wonosari tidak ada perubahan medan, hanya jalan rel yang mendekati perbukitan rendah. Tepat sebelum halte Prambon (maksudnya Prembun)pertama-tama Anda akan melihat pohon tebu kemudian kereta berjalan di antara sawah yang luas melewati jembatan kereta api yang besar”

Kiranya bangunan penting era kolonial ini dapat tetap lestari dan dirawat bukan dihancurkan demi efisiensi dan pembangunan. Keberadaanya menjadi penanda waktu ketika moda transportasi kereta menjadi idola menggantikan gerobak dan kuda.

Kenangan yang tersisa dari tempat ini bagi penulis adalah saat menaiki kereta Mutiara Selatan dari Bandung. Jika tidak salah sebelum tahun 2012. Sayangnya kereta tidak berhenti di Kebumen. Padahal waktu sudah menunjukkan jam 01.00 malam. Puji syukur ada kereta dari arah berlawanan dan kereta yang penulis dan istri tumpangi berhenti. Berhasil turun dan sempat disorientasi ada di mana. Pertama dan terakhir kalinya turun di Stasiun Wonosari. Beruntung ada abang beca yang masih bisa mengantar sampai rumah. Apa cerita Anda dengan stasiun kuno ini?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar