Rabu, 18 Januari 2023

MENGENANG TIRTOWENANG KOLOPAKING, MENGAPRESIASI LEGACY YANG DITINGGALKANNYA

Sebuah pesan Whatsapp penulis terima pada tanggal 3 Januari 2023 yang berisikan berita duka mengenai wafatnya Bapak Tirtowenang Kolopaking pada tanggal 2 Januari pk 22.35 di R.S. Carolus Ruang Gabriel A. Lt. 6. Penulis tidak tahu persis seberapa paham masyarakat Kebumen mengenai figur almarhum mengingat tidak ada satupun media sosial yang memberitakan kewafatannya. Namun bagi Trah Kolopaking (di Kebumen khususnya), tentulah nama ini tidak asing. Apalagi beberapa tahun lalu pernah diadakan sebuah pertemuan di Kebumen dengan mengambil tema, “Temu Kangen Trah Kolopaking” (11 Januari 2020).


Penulis sendiri tidak pernah bertemu beliau sekalipun dan tidak memiliki hubungan secara personal. Namun penulis merasa terhubung dengan almarhum Tirtowenang Kolopaking melalui sebuah buku tebal yang ditulisnya dengan judul, “Sejarah Dinasti Kanjeng Raden Adipati Tumenggung Kolopaking Pendopo Panjer Rooma Kebumen” yang diterbitkan tahun 1997 dan direvisi serta diterbitkan ulang dengan judul, “Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas: Kia Ageng Manger, Kolopaking, Arung Binang” tahun 2006. Edisi revisi ini memiliki tebal sebanyak 490 halaman.

Meskipun buku ini lebih bersifat historis naratif tinimbang historis analitis dan masih banyak dijumpai kekurangan dalam hal metodologis (dengan rendah hati almarhum mengakui miinimnya sumber data primer dengan mengatakan, “simpang siurnya cerita Kolopaking dari dongeng versi ketoprak yang kebanyakan mengandung mistik”, 2006:vii) namun bagi penulis, buku ini tetap menjadi sebuah literatur berharga yang ditulis oleh kalangan non akademisi sejarah. Bahkan buku ini ditulis dalam keadaan beliau masih sakit stroke, sebagaimana disebutkan dalam kata pengantar buku yang dituliskan oleh DR. Ir. H. KPA. Yuwono Joyonegoro Kolopaking (2006:v). Luar biasa!

Apa nilai penting buku karya Tirtowenang Kolopaking yang sekaligus menjadi sebuah legacy yang ditinggalkannya bagi generasi yang hidup di masa kini? Pertama, buku ini menjadi sebuah jembatan penghubung antara masa kini dan masa lalu Kebumen. Tirtowenang Kolopaking berusaha melacak tradisi lisan yang masih diingat dan beberapa tulisan berupa babad yang mengisahkan ketika Kebumen masih bernama Panjer dan dipimpin oleh dinasti Kolopaking. Demikian pula ketika perpindahan dan pergantian dari Panjer menjadi Kebumen dan dipimpin oleh dinasti Arung Binang. Kedua, kita tidak akan pernah mengenal tokoh pendekar wanita bernama Tan Peng Nio yang dinikahi Kolopaking III (Sulaiman Kertowongso) dan keturunannya di masa kini.

Sekalipun penuturan yang disampaikan Tirtowenang dalam buku ini masih terbuka dikritisi perihal akurasi kehistorisannya, namun setidaknya melalui buku ini kita bisa mengetahui latar belakang historis Kebumen di era Hindia Belanda. Tidak kurang Prof. Sugeng Supriyadi menjadikan buku Tirtowenang  sebagai salah satu rujukan dalam buku yang beliau tulis (pada waktu itu beliau masih Lektor Kepala pada FKIP Universitas Muhamadiyah Purwokerto dan belum menjadi Guru Besar) dengan judul, “Sejarah dan Kebudayaan Kebumen” (2004). Selain Prof. Sugeng, penulis sendiri kerap mengutip buku Tirtowenang dalam beberapa artikel yang dipublikasikan di blog pribadi (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com).

Tidak banyak yang diketahui mengenai Tirtowenang Kolopaking (Alm). Penulis hanya mendapatkan beberapa keterangan yang bersifat fragmentaris dari pihak keluarga (Bapak Bambang Kolopaking) bahwa beliau dilahirkan tahun 1940 (wafat dalam usia 82 tahun). Putra Tan Kie Lip (cucu Tan Eng Kiat dan Tan Eng Kiat sendiri putra pendekar wanita Tan Peng Nio) ini memiliki nama Tionghoa Chen Tju Sie. Nama panggilan masa kecilnya, Bonang. Siapa nama ibundanya? Tidak ada kejelasan mengenai ini. Ada yang mengatakan bernama “Bibi Cuwo” ada yang mengatakan “Ibu Marfuah”. Sang ayah dinyatakan hilang sejak tahun 1947. Tidak disebutkan apa  latar belakang hilangnya sang ayah. Apakah karena terdampak peristiwa Agresi Militer I (1947) atau karena sebab lain, tidak ada satupun yang mengetahuinya.

Kehidupan yang dijalani Tirtowenang Kolopaking sangat sulit (apalagi dengan hilangnya figur penopang keluarga yaitu sang ayah yang hilang entah kemana dan di mana). Namun karena ketekunannya dalam bekerja keras, perlahan kehidupan ekonominya mulai membaik. Sekitar tahun 1958 Tirtowenang tinggal di Gombong dan kerap pulang pergi ke Surabaya dengan meengendarai kereta api untuk menjual kelapa dan beras di Surabaya. Tempat menginap selama di Surabaya di rumah Gan Tjong Un. Selain ke Surabaya kemudian menjual kelapa ke Jakarta.

Kehidupan ekonomi semakin membaik saat Tirtowenang bekerja di perusahaan kimia. Setelah menikah kemudian tinggal di Jakarta dan berhasil membeli gudang untuk kemudian disewa-sewakan sebagai tempat penitipan barang. Sebuah masalah besar melanda kehidupan ekonominya saat dituduh menyimpan barang curian di gudangnya sehingga menyebabkan gudang yang dimilikinya dijual. Uang penjualan terkuras untuk membiayai perkara persidangan. Persoalan ini tentu berdampak secara psikis sehingga turut berkontribusi terhadap sakit stroke yang dideritanya pada tahun 1998.

Meskipun latar belakang kehidupan beliau masih banyak diselimuti kabut sehingga kita tidak mendapatkan gambaran keseluruhan kisahnya, namun melalui legacy yang telah ditinggalkan Tirtowenang Kolopaking yaitu buku berjudul, “Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas: Ki Ageng Manger, Kolopaking, Arung Binang” (2006), generasi kini di Kebumen dapat sedikit menyibak kabut melihat gambaran sejarah masa lalu kotanya.

Tulisan pendek ini adalah sebentuk penghormatan dan kenangan terhadap upaya literasi yang telah dilakukan oleh Tirtowenang Kolopaking semasa hidupnya (sekalipun penulis terbilang terlambat mempublikasikan karena sejumlah kesibukan). Selamat jalan Bapak Tirtowenang Kolopaking. Kekallah kenangannya.

1 komentar:

  1. Disitu disebutkan Dr Ir Yuwono Joyonegoro Kolopaking. Kemungkinan beliau adalah Ir Yuwono Kolopaking yg pernah menjadi Dirut Buton Aspal, kemudian Dirut Jasa Marga. Saya kenal baik dgn beliau thn 1973 - 1976 ketika saya bekerja di PT Multi Agro (anak perusahaan Astra International) dimana beliau jadi salah satu Komisaris. Dlm silsilah Eyang Kromoleksono juga disebutkan Eyang Putri Kromoleksono masih keturunan Kolopaking.

    BalasHapus