Minggu, 06 Maret 2022

PEMBOMAN CILACAP MARET 1942 DAN RUANG KOSONG NARASI SEJARAH ERA JEPANG DI KEBUMEN

Tanggal 4 Maret 1942 lalu, angkatan laut Jepang berhasil merangsek ke Cilacap dan menenggelamkan 23 kapal dan menahan 4 kapal yang hendak menerobos blokade angkatan laut Jepang. Sebanyak 100 awak kapal ditahan.

Satu skuadron pesawat angkatan laut Jepang memporak-porandakan pelabuhan Cilacap dengan bom dan menenggelamkan lima dari tujuh kapal di pelabuhan. Bom telah mengakibatkan kebakaran hebat di galangan kapal dan gudang penyimpanan. Dua pesawat terbang Belanda hancur di sekitar Cilacap, demikian laporan surat kabar Dordrechtsche Courant (9 Maret 1942).

Inilah detik-detik keruntuhan pemerintahan Hindia Belanda di Banyumas dan Kedu dan awal pemerintahan Jepang yang dalam ramalan yang dipercaya masyarakat Jawa berasal dari Prabu Jayabaya sebagai, "kejajah seumur jagung karo wong cebol kepalang"

Susanto Zuhdi dalam bukunya menjelaskan bahwa balatentara Jepang masuk ke Jawa melalui beberapa tempat yaitu Merak di Teluk Banten oleh pasukan infantri dan melalui Eretan dekat Cirebon oleh Brigade Shoji serta di Kragan, Jawa Timur oleh pasukan infanytri divisi ke-48. Divisi ke-48 dibagi dua yang satu menuju Surabaya hingga terus ke Malang dan divisi yang satu lagi menuju Cilacap. Gerak pasukan divisi ke-48 melalui Sampang, kota kecamatan di utara Cilacap. Sementara sejumlah pesawat terbang telah memasuki kota Cilacap untuk menjatuhkan sejumlah bom. Sejumlah tempat yang mengalami pemboman di Cilacap al., Bataafsche Petroleum Maatschappij (BPM), pabrik minyak kelapa Mexolie Olvado serta perumahan buruh di Tambakreja (Cilacap 1830-1942: Bangkit dan Runtuhnya Suatu pelabuhan di Jawa, 2016:138).

Sayangnya, tidak ada peristiwa penting dan genting yang tercatat selama 3,5 tahun apa saja yang telah diperbuat Jepang di Kebumen meliputi kapan mereka masuk kota Kebumen, siapa perwira yang berkuasa di kebumen, kebijakan ekonomi politik yang dijalankan di Kebumen, seberapa besar perlawanan pemerintahan Hindia Belanda di Kebumen, bagaimana respon masyarakat serta apa yang terjadi selama Jepang berkuasa di Kebumen dll.

Satu-satunya artefak Jepang hanyalah benteng pengawasan di bukit Gajah, Argopeni Kecamatan Ayah http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2018/01/jejak-jepang-di-bukit-gajah-argopeni_94.html).

Sekalipun belum ditemukan sejumlah dokumen yang menggambarkan pemerintahan Jepang selama 3,5 di Kebumen namun dapat dipastikan bahwa sebagaimana di wilayah lain yang dikuasainya, Jepang senantiasa membentuk organisasi militer al., Heiho dan PETA. Demikian juga di wilayah Kebumen. Data ini didapatkan ketika membaca buku berjudul, Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003)

Dalam buku ini dijelaskan ketika Indonesia telah memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 maka di sejumlah daerah termasuk Purworejo, Kutoarjo, Kebumen, Karanganyar, Gombong dilakukan rekrutmen BKR (Badan Keamanan Rakyat) yang kemudian akan menjadi TKR (Tentara Keamanan Rakyat) serta TNI (Tentara Nasional Indonesia), di mana keterlibatan sejumlah eks pasukan PETA dilaporkan dalam proses rekrutmen.

Badan Keamanan Rakyat (BKR) adalah suatu badan yang dibentuk untuk melakukan tugas pemeliharaan keamanan bersama-sama dengan rakyat dan jawatan-jawatan negara. BKR dibentuk oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dalam sidangnya pada tanggal 22 Agustus 1945 dan diumumkan oleh Presiden Soekarno pada tanggal 23 Agustus 1945. Sementara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) adalah sebuah nama angkatan perang pertama yang dibentuk oleh Pemerintah Indonesia pasca Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. TKR dibentuk pada tanggal 5 Oktober 1945 berdasarkan maklumat yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia. TKR dibentuk dari hasil peningkatan fungsi Badan Keamanan Rakyat (BKR) yang sudah ada sebelumnya dan tentara intinya diambil dari bekas PETA.

Di dalam kesatuan PETA ada sejumlah struktur kepangkatan yang terdiri dari Daidanco, Cudanco, Shodanco serta Budanco. Sebutan Daidanco merupakan tingkatan tertinggi pasukan PETA, yaitu komandan batalion. Sementara Cudanco adalah pemimpin kompi. Adapun Shodanco adalah prajurit yang masuk dan pernah mengenyam pendidikan pada tingkat menengah pertama. Mereka diperbolehkan memimpin pleton yang terdiri dari 20-40 orang. Akhirnya Budanco, yaitu prajurit yang masuk dan pernah mengenyam sekolah pada tingkat dasar.

Ketika pembentukan TKR Resimen Purworejo Divisi V (kemudian nanti akan berganti menjadi Resimen XX Divisi III Pangeran Diponegoro), Kebumen masuk dalam Batalion III. Sejumlah eks pasukan PETA berpangkat Shodanco dan Budanco seperti Shodanco Eri Soeperdjan, Shodanco Goenoeng, Budancho Marsoem dan Aboe Soedjak serta eks Heiho Bawoek dan Saimin di Kutowinangun. Sementara di Prembun ada eks Sersan KNIL Soedirman dan eks Heiho Soegiarto (2003:29). Nama Shodanco Soedarmin, Soeprapto dan Budancho Arifin muncul dalam rekrutmen BKR di Pejagoan. Nama Shodancho Chanafie muncul saat pembentukan BKR Kebumen dan ditunjuk menjadi Perwira Logistik BKR Kebumen (2003:32). Di Karanganyar ada Budancho Bambang Widjanarko. Di Gombong ada Shudanco Soedarsono Bismo, Slamaet Soebyakto, Soetjipto dan Budancho A.A. Djoerdani dan Bagyoto serta eks Heiho Soemarto Atmadji (2003:34-35).

Dalam buku Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003) juga diperlihatkan sebuah foto rumah di Jl. Sarbini (sekarang Jl. Dr Moehiman) yang di era kolonial di sebut Asemstraat, dan diberi keterangan, “Masa Jepang gedung ini dihuni Mayor Obata, pimpinan Tentara Teritorial Jepang di Kebumen” dan digedung ini juga terjadi pelucutan senjata Jepang oleh Chudancho Sudrajat (2003:90). Sayang tidak ada keterangan lanjutan berkaitan dengan nama-nama perwira lainnya yang memerintah di Kebumen.

Kiranya tulisan singkat ini mendorong siapapun yang membaca dan memiliki sejumlah kisah dan dokumen yang dapat dibagikan mengenai Kebumen era Jepang sehingga melengkapi narasi yang hilang selama 3,5 tahun kekuasaan Jepang di Kebumen

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar