Minggu, 20 Maret 2022

PERAN INDUSTRI SERABUT KELAPA DI KLIRONG ERA HINDIA BELANDA

Klirong adalah sebuah kecamatan di wilayah selatan Kebumen dengan luas 68,4 km² dan jumlah penduduknya 59.651 jiwa dan membawahi 24 desa. Salah satu produk unggulan di Kecamatan Klirong saat ini adalah industri sabut kelapa. Sabut kelapa dapat diolah menjadi sebuah industri kerajinan mulai dari keset, tambang, pot serabut kelapa. Beberapa desa yang mengembangkan industri sabut kelapa al., Tambakprogaten dan Pandanlor.

Tidak mengherankan karena kawasan selatan Kebumen dipadati dengan pohon kelapa di perkampungan-perkampungan penduduk bahkan hingga kawasan pesisir. Kebumen menjadi kabupaten penghasil kelapa terbesar ketiga di Pulau Jawa setelah Pandeglang dan Banten. Di Indonesia, Kabupaten Kebumen menempati peringkat ke 14 sebagai daerah penghasil kelapa terluas (Kebumen Miliki Tanaman Pohon Kelapa Terluas Ketiga di Pulau Jawa - Inikebumen.net).

Jika melakukan pelacakan dokumen di era kolonial, kita akan mendapati data-data menarik bahwa ternyata sejak dahulu, Klirong menjadi salah satu wilayah penting yang menjadi pusat industri serabut kelapa.

Di era kolonial, Klirong adalah sebuah onderdistrict (kecamatan) di bawah district (kawedanan) Pejagoan yang merupakan bagian dari regentschap (kabupaten) Karanganyar. District Pejagoan membawahi onderdistrict Pejagoan, Sruweng, Petanahan, Klirong (Geïllustreerde Encyclopaedie Van Nederlandsch-Indië, 1934:562). 

Sebagaimana kerap penulis sampaikan dalam banyak artikel bahwa Karanganyar sebelum tahun 1936 adalah sebuah regentschap (kabupaten) bersama dengan Kebumen. Jumlah penduduk di onderdistrict (kecamatan) Klirong menurut data statistik 1930 adalah 22.109 jiwa pribumi Jawa yang terbagi menjadi 10.669 pria dan 11.440 wanita. Tidak ada penduduk etnis Tionghoa/Arab dan Eropa yang tinggal di onderdistrict ini (Volkstelling 1930 Deel II: Inheemsche Bevolking van Midden Java en De Vorstenlanden, 1934:112-113)

 

Tidak begitu jelas sejak kapan industri yang berawal dari lingkungan masyarakat miskin (menurut laporan kolonial) ini berawal. Namun merujuk pada sebuah publikasi Dr. A.J. Kluyver yang berjudul, Klappervezel En Klappergaren Nijverheid (1923) penulisnya merujuk pada sebuah pidato bupati Karanganyar R.A.A. Tirtoekoesoemo pada tahun 1911 Kongres Serabut Kelapa di Surabaya. R.A.A. Tirtoekoesoemo bukan hanya bupati Karanganyar namun pernah menjabat sebagai Ketua Boedi Oetomo pertama hasil pemilihan Kongres Yogyakarta (Teguh Hindarto, Mengenang Tirtokoesoemo:Ketua Pertama Boedi Oetomo - https://www.qureta.com/post/mengenang-tirtokoesoemo)

Dalam kongres tersebut, R.A.A. Tirtoekoesoemo menjelaskan penggunaan praktis industri serabut kelapa ini al., tali pikulan, kuas, sapu, keset, pelana kuda, pengisi kasur dll. Demikian pula secara ringkas Tirtoekoesoemo menjelaskan metode pembuatannya dimulai dari perlakuan awal terhadap buah kelapa yang sudah dipetik. Selain proses penumbukkan dan perendaman ada proses pemintalan secara tradisional - yang disebut "ageles" - yang nampaknya di masa kini sudah tidak dimanfaatkan kembali.

R.A.A. Tirtoekoesoemo juga menjelaskan bahwa pembuatan tali serabut kelapa pada tahun 1911 dipusatkan di 23 desa al., Kedawung, Kroganajan, Gadoengan, Djetis, Alasmalang, Karangjati, Karangtoeri, Wonosari, Djeroekkedoeng dan Klirong. Omzet tahunan kurang dari 10.000 gulden dan Karanganyar mampu menyediakan 70.000 pikul tali serabut kelapa per tahunnya.

Selain Klirong, Soka, Gombong, Rowokele menjadi sentra industri sabut kelapa. Setelah penggabungan dengan Kebumen maka Klirong menjadi bagian dari kabupaten Kebumen dan tetap menjadi salah satu sentra penopang industri serabut kelapa.

Pada masa itu dibedakan antara cocosvezel (serabut kelapa) dan cocosgaren (tali serabut kelapa). Cocosvezel dibutuhkan untuk institusi penjara di Pekalongan, sementara cocosgaren dikirim ke pusat kerja di Yogja. Selain itu, baik cocosvezel maupun cocosgaren kelapa bukan berwarna putih diekspor ke luar negeri.

Pengiriman dilakukan melalui pelabuhan Semarang setelah sebelumnya dikirim ke Cilacap untuk dilakukan pembersihan. Dalam berita berjudul, Cocosvezel Industrie (Het Nieuws Van Den Dag Voor Nederlandsch Indie ,16 April 1938) disebutkan bahwa 66.000 kilo vezel dan 6.000 kilo garen dibeli masing-masing hingga 4 sen dan 8 sen per kilonya sehingga penduduk menerima keuntungan sekitar 3.450 florin.

Tali serabut kelapa Klirong, menurut sebuah artikel berjudul, De Cocosgarens (Algemeen handelsblad voor Nederlandsch-Indië, 18 Desember 1933) dikatakan, "Tali serabut kelapa Klirong memiliki peluang terbaik untuk mempertahankan pasar Belanda sebagai area penjualan" dan mengalahkan produk dari Jakenan (Pati) dan Semarang. Bahkan kualitasnya hampir mendekati produk ekspor dari Ceylon (Srilanka) sebagaimana dikatakan, "Tali serabut kelapa Klirong adalah yang paling dekat dengan Aratory superior (Ceylon)"

Dengan membandingkan peran Klirong di era kolonial sebagai salah satu pusat industri serabut kelapa - bahkan kualitasnya mendekati produk dari Ceylon - maka industri serabut kelapa yang saat ini masih berjalan dan berkembang memiliki pijakan historisnya.

Kiranya industri berbasis pemanfaatan serabut kelapa di Kecamatan Klirong tetap inovatif dan modern dengan memanfaatkan sejumlah sentuhan teknologi untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas produksinya




Tidak ada komentar:

Posting Komentar