Minggu, 13 Februari 2022

JEJAK SISTEM KEPERCAYAAN HINDU KUNO DI PESISIR SELATAN KEBUMEN

Dalam artikel berjudul, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilyah Kecamatan di Kabupaten Kebumen, saya dan seorang kolega peneliti telah mengidentifikasi sejumlah penampakkan lapisan kepercayaan kuno yang pernah tinggal di wilayah yang sekarang disebut kabupaten Kebumen. Lapisan kepercayaan kuno tersebut adalah agama Hindu mazhab Siwa dan kepercayaan kepada arwah nenek moyang. Jika kepercayaan Hindu ditandai dengan keberadaan lingga dan yoni atau patung ganesha maka kepercayaan terhadap arwah leluhur ditandai dengan sejumlah peninggalan megalitikum.

Sistem kepercayaan masyarakat Megalitik dan Hindu kuno di Kebumen yang pernah penulis identifikasi adalah berupa: (1) Situs Lingga dan Yoni di Desa Ayah, Kecamatan Ayah. (2) Situs Punden Berundak “Masigit” di Desa Kretek, Kecamatan Rowokele. (3) Situs Punden Berundak di Desa Giyanti, Kecamatan Rowokele. (4) Patung Ganesha di Desa Kejawang Kecamatan Sruweng. (5) Arca Ganesha di SMPN 1, Jl. Mayjen Sutoyo, Kecamatan Kebumen (6) Situs Lingga dan Yoni dan di desa Sumberadi, Kecamatan Kebumen. (7) Situs Talangpati, situs peralihan Megalitik ke Hindu di Dusun Kalipuru, Desa Pujotirto Kecamatan Karangsambung (Teguh Hindarto dan Chusni Ansori, Jurnal Analisa Sosiologi, April 2020, 9(1): 224-266 - https://www.academia.edu/42966779/SISTEM_SOSIAL_DAN_KEAGAMAAN_MEGALITIK_DAN_HINDU_KUNO_DI_LIMA_WILAYAH_KECAMATAN_DI_KABUPATEN_KEBUMEN)

Namun demikian, dari penelusuran akhir-akhir ini, para penganut Hindu kuno bukan hanya berada di kawasan yang disebutkan dalam jurnal di atas. Di kawasan pesisir Kebumen ternyata ditemukan sejumlah penampakkan benda-benda yang disakralkan oleh umat Hindu berupa yoni namun tanpa lingga. Jika kita meneliti keberadaan lingga dan yoni di desa Sumberadi, Kecamatan Kebumen maka kedua material (lingga dan yoni) berada utuh hanya terpisah dari tempatnya masing-masing. Ukuran yoninya besar sampai sepinggang orang. Yoni tertanam di tanah bukan di lingga. 

 

 

Penampakkan seperti ini terjadi juga di di Desa Ayah, Kecamatan Ayah. Lingga ditanam di tanah namun tidak ada yoninya melainkan sejumlah artefak seperti kotak batu berhiaskan naga dan bertuliskan huruf kuno.

Keberadaan lingga dan yoni hampir tersebar merata di seluruh wilayah Jawa Tengah maupun Jawa Timur, baik di rumahkan dalam candi atau tanpa candi. Sebagaimana dikatakan Supratikno Rahardjo, “Peninggalan-peninggalan masa lalu, baik di Jawa Tengah maupun di Jawa Timur, menunjukkan bahwa agama Hindu yang dianut pada masa Jawa Kuno cenderung beraliran Siwa. Hal ini ditunjukkan oleh kenyataan bahwa hampir di semua candi yang ditemukan bersama-sama arcanya dijumpai arca Siwa atau Lingga yang menjadi simbolnya...Di Jawa, perwujudan yang paling sering dijumpai adalah dalam bentuk lingga. Petunjuk tertua yang menegaskan adanya pemujaan kepada Siwa dalam bentuk lingga ini dijumpai pada masa Jawa Tengah sebagaimana termuat dalam prasasti Canggal (732) dan Dinaya (760)” (Peradaban Jawa: Dari Mataram Kuno Sampai Majapahit Akhir, 2011:173)/

Menurut penganut Hindu, keberadaan  lingga dan yoni merupakan simbol terhadap Siwa dan Parwati. Lingga dan yoni bukan hanya obyek pemujaan namun juga perlambang kesuburan. Terkadang letaknya berada di kawasan persawahan dan tidak selalu di kawasan percandian.

Beberapa penampakkan yoni tanpa lingga di kawasan pesisir pantai Kebumen, sejauh yang penulis telusuri  sbb: Pertama, di dusun Kabuaran Desa Ayah Putih Kecamatan Buluspesantren. Berada di lokasi pekarangan warga dan dekat dengan kawasan persawahan. Bentuknya sudah tidak utuh karena hilang separuh. Ukurannya kecil dan tingginya hampir selutuh manusia. Ada cerat tempat keluar air. Hanya yoni ini batunya agak melengkung. Mungkin karena faktor usia yang merusakkan batu andesist tersebut. 

 

Masyarakat lokal biasanya selalu memberi nama lokal terhadap sebuah obyek yang tidak dipahami asal-usulnya. Yoni ini diberi nama “Watu Celeng”. Jika salah satu warga memiliki hajat tertentu biasanya akan menyambangi lokasi ini dan menaikan doa di sekitar benda tersebut. Sayangnya, benda ini tergeletak tidak terurus dan tidak diberi penanda apapun sebagai obyek yang ditengarai sebagai cagar budaya. 

Kedua, di desa Rowo, Kecamatan Mirit persisnya di belakang mesjid Nurul Huda. Bentuk yoni terlihat utuh dan setinggi lutut berukuran kecil dan saat ini dilapisi dengan cat berwarna kuning. Semula berwarna abu-abu sebagaimana lazimnya warna batu-batu andesit yang dipergunakan untuk keperluan pembuatan lingga dan yoni. Ada cerat tenpat keluarnya air. Keberadaannya terpelihara bersih dan rapih.  

Beberapa meter dari yoni terdapat makam kuno tidak bernama namun masyarakat menamainya “Mbah Grubug”. Demikian pula yoni ini setelah diberi cat emas diberi nama, “Mbah Kyai Lumpang Mas”. Beberapa masyarakat sekitar terkadang menjadikan air yang tersimpan di lubang bekas lingga sebagai sarana kesembuhan dari sakit mata, sebagaimana pengakuan seseorang yang penulis wawancarai. 

 

Ketiga, berlokasi beberapa ratus meter dari desa Rowo yaitu desa Singoyudan, Kecamatan Mirit. Persisnya di samping masjid “Baitul Izzah” terletak sebuah yoni tanpa lingga setinggi lutut. Arahnya menutupi jalan di lorong samping masjid. Ada cerat untuk keluar air namun yoni ini nampak sudah terbelah dua karena faktor usia. Sekalipun terbelah batunya namun masih berdampingan. 

 
                        

Apakah makna keberadaan yoni yang tidak utuh bentuknya dan membentang di kawasan pesisir Kebumen? Sebagaimana dalam artikel yang dituliskan di atas yaitu, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilyah Kecamatan di Kabupaten Kebumen. Dalam salah satu kesimpulan disebutkan bahwa keberadaan lingga-yoni dan arca Ganesha memberikan gambaran mengenai mazhab Hindu yang dianut kelompok masyarakat yang tinggal di wilayah Kebumen kuno yaitu Mazhab Siwa yang ditandai dengan keberadaan simbol lingga-yoni dan arca Ganesha. Sistem keagamaan Hindu Siwa menjadi mazhab dominan di Jawa dan kelompok masyarakat Hindu di wilayah Kebumen kuno merupakan bagian dari sistem keagamaan arus utama pada masa itu (Jurnal Analisa Sosiologi, April 2020: 263).

Selain kesimpulan di atas, perlu ditambahkan bahwa keberadaan yoni tanpa lingga tersebut memperlihatkan sebuah fakta bahwa di masa Hindu kuno telah terbentuk sejumlah desa-desa di kawasan pesisir selatan Kebumen. Keberadaan yoni tanpa lingga (belum dapat dipastikan apakah sejak awal tanpa lingga atau di kemudian hari lingga hilang) dipergunakan sebagai bagian dari ritual kesuburan sesuai dengan makna dan fungsi lingga dan yoni yang juga dikaitkan dengan lambang kesuburan.

Kiranya tulisan pendek ini bisa menjadi pengantar awal dan sebuah peta jalan untuk memahami lapisan-lapisan sistem kepercayaan kuno yang pernah mendiami kawasan pesisir selatan Kebumen di masa lalu.

 

 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar