Alun-alun bukan sekedar sebuah pelataran luas dengan bentuk bujur sangkar melainkan sebuah lokasi yang memiliki makna dan fungsi serta filosofi tersendiri berkaitan dengan keberadaan kraton (kerajaan) dan wilayah bawahan (kadipaten).
Keberadaan alun-alun telah lama ada sejak era pra kolonial dan era kolonial hingga pasca kolonial. Sekalipun keberadaan alun-alun mengalami pergeseran fungsi di setiap era (pra kolonial, kolonial, pasca kolonial) namun konsepsi makna dan filosofinya tetap tidak berupah dari masa ke masa.
Sejak abad ke-18 (pasca Perjanjian Giyanti 1755 yang dikenal dengan istilah “Palihan Nagari”) Mataram Islam dibagi dua menjadi Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Kekuasaan raja Jawa bahkan harus berbagi dengan kekuasaan pemerintah kolonial Belanda yang telah membagi wilayah Mataram tersebut.
Akibat dari keadaan politik tersebut, ibukota kerajaan Surakarta dan Yogjakarta tidak bisa dirancang sesuai dengan konsep yang telah ada sejak jaman Hindu Jawa. Itulah sebabnya pada pusat kota Surakarta maupun Yogjakarta terdapat benteng dan kantor Gubernur Belanda.
Sejak Abad ke-19 (pasca berakhirnya Perang Jawa 1825-1830, terjadi penataan wilayah dan administrasi baru di mana Jawa dibagi menjadi 3 propinsi dengan 16 karesidenan serta 66 kabupaten. Konsekwensi logis penataan wilayah dan administrasi tersebut menjadikan adanya bangunan tambahan di sekitar alun-alun. Yang semula kraton dan kabupaten maka bertambah menjadi kantor gubernur jendral (propinsi), kantor residen (karesidenan), kantor asisten residen (kabupaten).
Keberadaan kantor dan bangunan Belanda tersebut sebagai representasi sistem pemerintahan tidak langsung (indirect rule) dimana diadakan pembagian wilayah pemerintahan antara binnenlandsch bestuur (pemerintahan dalam negeri yang diwakili oleh pejabat Eropa) dan inlands bestuur (pemerintahan pribumi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan Belanda.
Jika diawal Abad ke-18 lokasi pusat pemerintahan kolonial terpisah dari pemerintahan pribumi (model ini disebut sebagai Oud Indische Stad) maka diakhir Abad 18, pusat pemerintahan kolonial dan pemerintahan pribumi dijadikan satu (model ini disebut sebagai Nieuwe Indische Stad).
Alun-alun tetap menjadi menjadi bagian penting dalam tata ruang kota pusat pemerintahan kabupaten, sekalipun telah berganti dengan sistem pemerintahan kolonial. Kalau mengacu pada arah mata angin, keletakan alun-alun selalu berada di tengah-tengah bangunan-bangunan penting, yaitu pendopo di sebelah selatan dan masjid agung di sebelah barat.
Sementara itu, keletakan pasar ada yang sebelah barat, selatan, atau timur. Pada masa kolonial, penataannya ditambah oleh penjara dan kantor asisten residen atau controleur yang keletakannya bisa di sebelah utara atau timur.
Bagaimana dengan keadaan alun-alun di Kebumen semasa kolonial? Tidak jauh berbeda dengan keterangan di atas demikian pula struktur yang mengitari alun-alun Kebumen adalah kantor kabupaten (utara), kantor asisten residen (timur), masjid agung (barat), hotel Juliana dan kantor pos (selatan).
Menarik jika melacak sejumlah laporan surat-surat kabar yang menceritakan berbagai kegiatan sosial budaya karena kita bisa merasakan keramaian dan kemeriahan di masa lampau di kota Kebumen.
Namun sebelum kita melihat beberapa laporan surat kabar tersebut ada sebuah pemandangan menarik di alun-alun Kebumen yaitu berupa patung Ratu Wilhelmina di depan kantor kabupaten Kebumen sebagaimana telah ditampilkan di halaman judul tulisan ini.
Foto ini saya dapatkan dari Conrad Worlding di mana orang tuanya yang bernama Oscar Worlding dan Nelly Worlding pernah tinggal dan bekerja di Kebumen dari tahun 1932-1942 dan banyak mengabadikan beberapa lokasi di kota Kebumen.
Sayang plakat yang tertulis di bawah patung tidak bisa terbaca. Namun keterangan dibalik kartu pos dan foto ini berbunyi dalam bahasa Prancis demikian: Le Aloen-Aloen, la grande place du village, avec le buste de la Reine. Au fond l’hotel Juliana (Aloen-aloen, lapangan desa yang luas, dengan patung Ratu, di latar belakangi Hotel Juliana). Mengenai Hotel Juliana dapat dibaca dalam artikel berjudul, Melacak Jejak Kisah Hotel Juliana di Kebumen - https://www.qureta.com/next/post/melacak-jejak-kisah-hotel-juliana-di-kebumen)
Apakah di kemudian hari saat Jepang menguasai kota Kebumen atau pasca kemerdekaan patung ini mengalami perubahan bentuk menjadi monumen bunga padma atau teratai sebagaimana saat ini berdiri tegak lurus di depan pendopo kabupaten Kebumen, belum dapat dipastikan. Penulis memiliki dugaan ini dikarenakan adanya kesamaan penopang berbentuk persegi empat. Hanya saja, pada monumen yang sekarang plakat tersebut telah kosong tidak berisikan tulisan apapun.
Kiranya setelah tulisan ini dipublikasikan ada informasi penting yang menjelaskan asal-usul dan makna monumen bertangkai padma atau teratai dilabur putih dan merah di depan pendopo kabupaten Kebumen.
Selanjutnya kita akan melihat bagaimana aktifitas sosial budaya di seputar alun-alun Kebumen melalui sejumlah pelacakan berita-berita di surat kabar berbahasa Belanda untuk mendapatkan gambaran kehidupan sosial pada masa kolonial.
Rencana Penanaman Waringin dan Jam Listrik Kota
Sebuah berita dengan judul, Een Eeuw Regentschap (Satu Abad Kabupaten) yang ditulis surat kabar bernama Algemeen Handelsblad voor Nederlandsch-Indie (27 September 1929) melaporkan berita pendek sbb:
"Bulan April tahun berikutnya seratus tahun yang lalu Kabupaten Keboemen berdiri. Agar tidak luput dari perhatian, beberapa waktu kemudian di bawah kepemimpinan Raden Mas Soetomo, Patih Keboemen, dibentuklah panitia pendahuluan untuk menyelenggarakan pesta peringatan (een herdenkingsfeest). Bupati Keboemen didaulat menjadi pelindung (beschermheer). Jika hasil dari daftar penandatanganan yang beredar saat ini di kalangan warga Kaboepaten memenuhi harapan, jam listrik kota (een electrische stadsklok) akan ditawarkan sebagai kenang-kenangan permanen seratus tahun ini, di samping waringin untuk ditanam di Aloon-aloon yang akan diletakkan di tengah kota".
Berita pendek ini sekaligus memberikan kejelasan mengenai usia kabupaten Kebumen sebagai sebuah administrasi baru pasca Perang Jawa berakhir menggantikan Panjer. Arung Binang IV (Mangundiwiryo) diangkat sebagai bupati Kebumen pertama pada tanggal 22 Agustus 1831 dan berakhir pada 30 Juni 1849 (Sugeng Priyadi, Sejarah dan Kebudayaan Kebumen, 2004:68). Maka jika dihitung dari tahun 1930 ke belakang sampai tahun 1830 maka usia Kebumen sudah 100 tahun.
Namun demikian berita pendek ini juga menyisakan sejumlah pertanyaan. Apakah pemasangan jam listrik kota sebatas sebuah rencana ataukah sudah terealisasikan? Jika sudah terealisasi, kemana jam listrik kota yang pernah hendak dipasang pada peringatan satu abad pemerintahan Kebumen yang jatuh April 1930 tersebut? Apakah waringin yang nampak di masa kini ini waringin yang ditanam pada tahun 1930?
Perayaan Menyongsong Kelahiran Cucu Wilhelmina
Pada saat saat cucu Ratu Wilhelmina atau anak Juliana lahir yang bernama Beatrix di tahun 1938 terjadi keramaian luar biasa baik di alun-alun maupun tempat peribadatan (gereja, mesjid, klenteng). Digambarkan dalam laporan berita berjudul, Feest te Keboemen (Pesta di Kebumen) bahwa kembang api ditembakkan ke udara di alun-alun untuk memberitahukan kepada penduduk Kebumen mengenai kelahiran seorang putri kerajaan Belanda (De Locomotief, 5 Februari 1938).
👍😀
BalasHapusPak teguh salam kenal dari Masdar bs kebumen tak posting ya ijin pak teguh
BalasHapusSilahkan. Yang penting disertakan sumber rujukan tulisannya (nama penulis dan judul artikel serta alamat blog)
HapusPak Teguh, apa boleh fotonya saya upload ke IG @potretlawaskebumen? Jika diperbolehkan, kira-kira apa saja yang harus dicantumkan, nggih? Matur nuwun
BalasHapusSilahkan. Sertakan sumber foto dan jika ada parafrase isi artikel bisa direfer judul artikel dan alamat artikel serta IG HST dan IG saya ditag
Hapus