Dalam artikel sebelumnya (Teguh
Hindarto, Berita Koran/Buku/Jurnal Semasa
Kolonial Sebagai Sumber Data - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/berita-koranbukujurnal-semasa-kolonial_17.html),
penulis telah meyakinkan pembaca khususnya mereka yang meminati pengkajian
sejarah era kolonial untuk tidak berprasangka negatif dan menjauhi
sumber-sumber dokumen yang dikumpulkan oleh pemerintahan Belanda baik dalam
bentuk surat keputusan (besluit), lembaran negara (staatblad), surat kabar,
jurnal, majalah, buku-buku bertema sejarah ataupun laporan geologis dll.
Selain sumber-sumber dokumen yang
ditulis orang-orang Belanda tersebut (surat kabar, surat perjanjian, jurnal,
lembar negara dan) adalah penting meneliti sumber-sumber dokumen Jawa selain
babad (pranatan, undang-undang, kekancingan, piyagem dsj).
Sebuah karya akademis yang patut
mendapat apresiasi adalah apa yang dilakukan oleh Prof. DR. Sri Margana dalam
sebuah bukunya yang berjudul, Kraton
Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 yang diterbitkan pada tahun 2004 (edisi
pertama) dan 2010 (edisi kedua). Buku setebal 865 halaman ini adalah hasil
penyuntingan terhadap naskah berbahasa Jawa koleksi G.P. Rouffaer yang
tersimpan di Koninkelijk Instituut voor
Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Belanda dengan kode Or 265 dengan judul, Kopieboek van Raden Ngabehi Hardjopradoto:
Copies het verschillende Javaansche copijen ten geschenken gekregen van mijn
vried Raden Ngabehi Hardjopradoto, Wakil Kliwon Politie te Klaten, Desember
1889 atau disebut juga dengan Javaansche Copijen.
Arsip-arsip Jawa yang disalin dan
diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ini meliputi dokumen sebelum Perjanjian
Giyanti dan pasca Perjanjian Giyanti baik dari Kasultanan Yogyakarta maupun
Kasunanan Surakarta.
Beberapa hal yang menarik dari
penerjemahan dokumen ini salah satunya yang relevan untuk memahami kewilayahan
Kebumen di era sebelum dan sesudah berakhirnya Perang Jawa (1830). Dalam naskah
no 1 berisikan catatan tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi
dan nama-nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung
Hanyakrakusuma (1613-1645).
Dalam naskah ini disebutkan bahwa
pada tahun Jawa 1555 (Masehi 1636), Sultan Agung Hanyakrakusuma mulai membentuk
dan mengatur birokrasi kerajaan yang terdiri dari 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi
Lebet serta membagi tanah pedesaan di luat wilayah Negara Agung bukan tanah Mancanegara
yang terdiri dari:
(1) Tanah di Pagelen (Bagelen)
dibagi menjadi dua bagian yaitu sebelah barat sungai Bogowonto disebut Siti Sewu dan sebelah timur sungai
Bogowonto disebut Numbak Anyar. (2)
Tanah di Kedu menjadi dua bagian. Di sebelah barat disebut Siti Bumi dan di sebelah timur disebut Siti Bumijo. (3) Tanah Pajang dibagi menjadi dua bagian. Sebelah
barat disebut Siti Penumping dan
sebelah timur disebut Siti Panekar.
(4) Tanah diantara Demak dan Pajang disebut Siti
Ageng. Wilayah-wilayah tersebut menjadi tanah gaduhan abdi dalem delapan
orang Bupati Nayaka beserta panekarnya (2010:1)
Yang disebut Siti Sewu meliputi Dhuduwala, Telaga Bulu Kapitu, Dhadhap Agung
sementara yang disebut Numbak Anyar
meliputi Sungai Bogowonto ke tiur sampai Kulonprogo (2010:19)
Pasca Perjanjian Giyanti (1755)
wilayah Bagelen menjadi berubah statusnya dari Negara Agung menjadi wilayah Mancanegara
milik Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Siti Sewu menjadi milik kasunanan Surakarta dan Numbak Anyar milik kasultanan
Yogyakarta.
Tidak mengherankan jika pasca
Perang Jawa berakhir (1830), Arung Binang IV (pejabat Surakarta) yang ditunjuk
menata wilayah yang disebut Kebumen hingga berlanjut sampai Arung Binang VIII
(1942). Arung Binang I (Tumenggung Hanggawangsa atau Jaka Sangkrip) sampai
Arung Binang III adalah para pejabat yang mengabdi di Kraton Surakarta.
Arung Binang I berperan besar
dalam pencarian dan penetapan lokasi kraton baru yang didirikan Paku Buwono
pasca perusakan Kartasura oleh pasukan Tionghoa. Desa Solo kelak menjadi pusat
kraton Surakarta dan dibangun tahun 1743-1745 atas saran dan petunjuk Arung
Binang I atau Tumenggung Hanggawangsa (Deny Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris,
2008:109).
Panjer (kelak berubah menjadi Kebumen) dan Remo Jatinegara (kelak berubah menjadi Karanganyar) adalah berada di wilayah Bagelen. Sejumlah wilayah di Panjer ada yang menjadi milik sunan dan sultan demikian pula sejumlah wilayah di Remo Djatinegara ada yang menjadi milik sunan maupun sultan.
Kenyataannya, masing-masing wilayah yang menjadi milik kekuasaan kedua kerajaan ini saling tumpang tindih. “Catatan yang disimpan di pencatatan, yang menunjukkan hasil, diambil dari daerah yang berbeda, menunjukkan pembagian yang jauh lebih rumit”, demikian tulis CL. Van Doorn dalam laporannya yang berjudul, Schets van de Ecomische Ontwikkeling der Afdeeling Poerworejo (Residentie Kedoe) (1926: 18-19)
Pasca Perang Jawa berakhir (1830), Bagelen jatuh ke tangan pemerintahan Belanda dan dijadikan sebuah wilayah karesidenan dengan nama Karesidenan Bagelen. Jika tahun 1830, Karesidenan Bagelen terdiri dari empat regentshap (kabupaten) yaitu Brengkelan (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ungaran (Kebumen), Karangdhuwur (Karanganyar) maka tahun 1869 berubah menjadi enam regentshap yaitu Purworejo, Kutoarjo, Ledok (Wonosobo), Kebumen, Karanganyar.
Kereennn ini ..
BalasHapus