Kamis, 04 Maret 2021

SITI SEWU DAN NUMBAK ANYAR: MEMAHAMI PEMBAGIAN WILAYAH DI BAGELEN SEBELUM DAN SESUDAH PERJANJIAN GIYANTI SERTA PENEMPATAN DINASTI ARUNG BINANG DI KEBUMEN

Dalam artikel sebelumnya (Teguh Hindarto, Berita Koran/Buku/Jurnal Semasa Kolonial Sebagai Sumber Data - https://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2021/02/berita-koranbukujurnal-semasa-kolonial_17.html), penulis telah meyakinkan pembaca khususnya mereka yang meminati pengkajian sejarah era kolonial untuk tidak berprasangka negatif dan menjauhi sumber-sumber dokumen yang dikumpulkan oleh pemerintahan Belanda baik dalam bentuk surat keputusan (besluit), lembaran negara (staatblad), surat kabar, jurnal, majalah, buku-buku bertema sejarah ataupun laporan geologis dll.

Selain sumber-sumber dokumen yang ditulis orang-orang Belanda tersebut (surat kabar, surat perjanjian, jurnal, lembar negara dan) adalah penting meneliti sumber-sumber dokumen Jawa selain babad (pranatan, undang-undang, kekancingan, piyagem dsj).

Sebuah karya akademis yang patut mendapat apresiasi adalah apa yang dilakukan oleh Prof. DR. Sri Margana dalam sebuah bukunya yang berjudul, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 yang diterbitkan pada tahun 2004 (edisi pertama) dan 2010 (edisi kedua). Buku setebal 865 halaman ini adalah hasil penyuntingan terhadap naskah berbahasa Jawa koleksi G.P. Rouffaer yang tersimpan di Koninkelijk Instituut voor Taal, Land en Volkenkunde (KITLV), Leiden, Belanda dengan kode Or 265 dengan judul, Kopieboek van Raden Ngabehi Hardjopradoto: Copies het verschillende Javaansche copijen ten geschenken gekregen van mijn vried Raden Ngabehi Hardjopradoto, Wakil Kliwon Politie te Klaten, Desember 1889 atau disebut juga dengan Javaansche Copijen.

Arsip-arsip Jawa yang disalin dan diterjemahkan dalam bahasa Indonesia ini meliputi dokumen sebelum Perjanjian Giyanti dan pasca Perjanjian Giyanti baik dari Kasultanan Yogyakarta maupun Kasunanan Surakarta.

Beberapa hal yang menarik dari penerjemahan dokumen ini salah satunya yang relevan untuk memahami kewilayahan Kebumen di era sebelum dan sesudah berakhirnya Perang Jawa (1830). Dalam naskah no 1 berisikan catatan tentang pembagian wilayah kerajaan, struktur birokrasi dan nama-nama kesatuan prajurit Mataram pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645).

Dalam naskah ini disebutkan bahwa pada tahun Jawa 1555 (Masehi 1636), Sultan Agung Hanyakrakusuma mulai membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan yang terdiri dari 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi Lebet serta membagi tanah pedesaan di luat wilayah Negara Agung bukan tanah Mancanegara yang terdiri dari:

(1) Tanah di Pagelen (Bagelen) dibagi menjadi dua bagian yaitu sebelah barat sungai Bogowonto disebut Siti Sewu dan sebelah timur sungai Bogowonto disebut Numbak Anyar. (2) Tanah di Kedu menjadi dua bagian. Di sebelah barat disebut Siti Bumi dan di sebelah timur disebut Siti Bumijo. (3) Tanah Pajang dibagi menjadi dua bagian. Sebelah barat disebut Siti Penumping dan sebelah timur disebut Siti Panekar. (4) Tanah diantara Demak dan Pajang disebut Siti Ageng. Wilayah-wilayah tersebut menjadi tanah gaduhan abdi dalem delapan orang Bupati Nayaka beserta panekarnya (2010:1)

Yang disebut Siti Sewu meliputi Dhuduwala, Telaga Bulu Kapitu, Dhadhap Agung sementara yang disebut Numbak Anyar meliputi Sungai Bogowonto ke tiur sampai Kulonprogo (2010:19)

Pasca Perjanjian Giyanti (1755) wilayah Bagelen menjadi berubah statusnya dari Negara Agung menjadi wilayah Mancanegara milik Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Siti Sewu menjadi milik kasunanan Surakarta dan Numbak Anyar milik kasultanan Yogyakarta.

Tidak mengherankan jika pasca Perang Jawa berakhir (1830), Arung Binang IV (pejabat Surakarta) yang ditunjuk menata wilayah yang disebut Kebumen hingga berlanjut sampai Arung Binang VIII (1942). Arung Binang I (Tumenggung Hanggawangsa atau Jaka Sangkrip) sampai Arung Binang III adalah para pejabat yang mengabdi di Kraton Surakarta.

Arung Binang I berperan besar dalam pencarian dan penetapan lokasi kraton baru yang didirikan Paku Buwono pasca perusakan Kartasura oleh pasukan Tionghoa. Desa Solo kelak menjadi pusat kraton Surakarta dan dibangun tahun 1743-1745 atas saran dan petunjuk Arung Binang I atau Tumenggung Hanggawangsa (Deny Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, 2008:109).

Panjer (kelak berubah menjadi Kebumen) dan Remo Jatinegara (kelak berubah menjadi Karanganyar) adalah berada di wilayah Bagelen. Sejumlah wilayah di Panjer ada yang menjadi milik sunan dan sultan demikian pula sejumlah wilayah di Remo Djatinegara ada yang menjadi milik sunan maupun sultan.

Kenyataannya, masing-masing wilayah yang menjadi milik kekuasaan kedua kerajaan ini saling tumpang tindih. “Catatan yang disimpan di pencatatan, yang menunjukkan hasil, diambil dari daerah yang berbeda, menunjukkan pembagian yang jauh lebih rumit”, demikian tulis CL. Van Doorn dalam laporannya yang berjudul, Schets van de Ecomische Ontwikkeling der Afdeeling Poerworejo (Residentie Kedoe) (1926: 18-19)

Pasca Perang Jawa berakhir (1830), Bagelen jatuh ke tangan pemerintahan Belanda dan dijadikan sebuah wilayah karesidenan dengan nama Karesidenan Bagelen. Jika tahun 1830, Karesidenan Bagelen terdiri dari empat regentshap (kabupaten) yaitu Brengkelan (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ungaran (Kebumen), Karangdhuwur (Karanganyar) maka tahun 1869 berubah menjadi enam regentshap yaitu Purworejo, Kutoarjo, Ledok (Wonosobo), Kebumen, Karanganyar.


1 komentar: