Selasa, 10 September 2019

MENEMUKAN DAN DITEMUKAN


Gombong, bukan hanya kota yang menjadi melting pot (titik pertemuan) keragaman etnis dan dinamika ekonomi melainkan menjadi kota yang penuh dengan jejak-jejak kolonial yang terpajang dalam bentuk bangunan warisan Belanda, bangunan bergaya Indisch yang dimiliki sejumlah etnis Tionghoa serta benteng yang dibangun di era pasca Perang Jawa bernama Fort Cochius yang sejak tahun 2000 lebih dikenal dengan nama Benteng Van Der Wijk.

Dalam sebuah artikel berjudul, Hotel Para Meneer dan Mevrouw di Gombong Era Kolonial (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com) yang ditulis oleh Teguh Hindarto, seorang peneliti sosial dan sejarah dijelaskan bahwa di Gombong sejak tahun 1800-an telah terlacak keberadaan sejumlah hotel melalui “advertentie” (iklan) di surat-surat Kabar. Nama sejumlah hotel tersebut al., Hotel Gombong milik M. Pellen terlacak dalam iklan De Locomotief  bertanggal 5 Mei 1880. Hotel Richter milik A.A. Richter tercatat dalam iklan koran De Preanger-bode  bertanggal 07 November 1898. 

Kemudian Hotel dan Toko Limun dan Mineral milik Ch. Rapaport tercatat dalam iklan surat kabar De Preanger-bode  bertanggal 1 November 1915. Bisnis air mineral dan limun Ch. Rapaport sudah dimulai sejak tahun 1894 sebagaimana terlacak dalam iklan yang dimuat surat kabar De Locomotief bertanggal 3 Desember 1895.

 

 

Artikel di atas telah menarik perhatian seseorang bernama Uri Rapaport - seorang buyut dari keturunan Ch. Rapaport yang tinggal di Belanda – karena nama leluhurnya disebutkan. Ketertarikannya menghantarnya untuk menelusuri jejak pekerjaan dan tempat tinggal buyutnya.

Pada tanggal 29 Juli 2019 akhirnya Uri Rapaport ditemani seorang wanita dari Yogya bernama Nuning berhasil bertemu dengan Teguh Hindarto, penulis artikel tersebut dengan didampingi teman-teman dari Komunitas Pusaka Gombong (KOPONG) di Rumah Martha Tilaar. Percakapan berlangsung dengan hangat dan saling bertukar informasi dan data terjadi.

Pertemuan diakhiri dengan menelusuri sejumlah tempat yang diduga bekas bangunan toko dan hotel dengan bantuan peta Gombong yang dibuat oleh orang Belanda yang memberi nama beberapa lokasi penting dengan penomoran yang terpajang di Rumah Martha Tilaar.

Hotel Rapaport saat ini telah menjadi kawasan rumah dengan lahan yang sangat luas karena saat dibeli tahun 1950 terbagi menjadi 17 kapling. Rumah itu saat ini dihuni oleh keluarga ibu Sukardi. Lokasinya di samping kiri Gereja Kristen Indonesia (GKI) Gombong.  Sementara pabrik dan depot limun dan air mineral saat ini telah menjadi rumah milik Ibu Supini.




Kedua belah pihak nampak puas. Uri Rapaport nampak puas telah berhasil menemukan lokasi bekas leluhurnya pernah tinggal dan membuka usaha. Penulis artikel dan juga teman-teman Komunitas Pusaka Gombong mendapatkan sejumlah informasi yang melengkapi narasi yang selama ini masih teka-teki.

  

 


“The past in the key to the present” (masa lalu menjadi kunci memahami masa kini), demikian ungkap Teguh Hindarto. Melalui pelacakkan sejumlah dokumen kuno (past) baik berupa surat kabar, surat perjanjian, jurnal - khususnya yang berbahasa Belanda – maka keberadaan sebuah bangunan di masa kini (present) dapat dipahami konteks sosial politik dan sosial budaya yang melatarbelakanginya.


**Artikel ini dimuat di Koran Kebumen Ekspres, 31 Juli 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar