Sabtu, 21 September 2019

KRAA. POERBONEGORO DAN NASIB HISTORIS PENGHAPUSAN KABUPATEN AMBAL 1872


Sate Ambal, sebuah produk makanan khas yang  melekati ingatan  mengenai Ambal, sebuah wilayah di bagian selatan Kebumen. Aneka warung sate berjajar di sepanjang Jalan Daendels yang menandai keberadaan makanan khas yang terdiri daging ayam yang dilumuri saus tempe dengan campuran beberapa rempah.


Namun dibalik jalan utama yang dilalui para pengendara motor dan mobil serta menjadi pusat aktivitas pemerintahan kecamatan, pendidikan serta ekonomi warga, terdapat sebuah jalan membujur dari barat ke timur yang menyimpan kisah sejarah mengenai Ambal di era kolonial. Tepatnya di utara Jalan Daendels dan dikenal sebagai Jl. Poerbonegoro di Desa Ambalresmi.

Kisah sejarah tersebut tertutup rimbunan aneka pohon dan tersemat dalam sejumlah bangunan kuno yang tersebar di sejumlah titik belahan Jl. Poerbonegoro, mulai dari rumah, tugu, masjid kuno, pesarean. Kisah apakah yang dapat kita ketahui perihal Ambal di era kolonial?


Pasca kekalahan Perang Jawa (1825-1830), khususnya sejak ditandatanganinya kontrak politik 27 September 1830, terjadilah apa yang disebut sebagai "peralihan nagara", terlepasnya daerah-daerah pesisir dari kekuasaan Mataram (Yogyakarta dan Surakarta) dan juga termasuk di dalamnya wilayah “mancanegara” dalam hal ini Bagelen.

Wilayah Bagelen kemudian dijadikan Karesidenan dengan ditetapkannya Tumenggung Cokronegoro I sebagai Bupati pertama oleh Gubernur Van Den Bosch. Ambal adalah  salah satu afdeling (sebuah wilayah administratif pada masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda setingkat Kabupaten) dari Karesidenan Bagelen.

Adalah KRAA (KRAT?). Poerbonegoro yang kemudian ditunjuk oleh pemerintahan Belanda dan juga Kesultanan Yogyakarta untuk menjadi seorang bupati. Ada sejumlah perbedaan pendapat mengenai penunjukkan Poerbonegoro menjadi seorang bupati. Ada yang mengatakan dikarenakan berhasil mengalahkan Ki Begal alias Gamawijaya yang kerap menghadang bulu bekti yang hendak dikirimkan ke kesultanan Yogyakarta maupun kesunanan Surakarta. Namun ada yang berpendapat dikarenakan prestasinya meredam sejumlah kekacauan yang ditimbulkan oleh sisa-sisa pengikut Pangeran Diponegoro.

Media Surat Kabar Samarangsch advertentie-blad bertanggal 07 April 1854 memberikan sebuah berita singkat mengenai Poerbonegoro sbb:

“Bij besluit van Zijne Excellentie den Gouverneur—Generaal van Nederlaindsche-Indie van 20 Maart 1854 no. 10, is aan den regent van Ambal (resid., Bagelen), radhen toemengoong Poerbo Negoro, toegekend de rang en titel van Adhipati”

Terjemahan bebas:

“Dengan keputusan Yang Mulia, Gubernur Jenderal Hindia Belanda tanggal 20 Maret 1854 No. 10, bupati Ambal (Karesidenan Bagelen) Raden Toemenggoeng Poerbo Negoro, diberi pangkat dan gelar Adhipati”


Jika merujuk pada berita koran di atas, maka penyingkatan gelar Poerbonegoro seharusnya menggunakan KRAT namun entah mengapa ahli waris menuliskan gelarnya dengan KRAA.


Jika mengunjungi areal pemakaman Poerbonegoro, kita akan membaca sebuah keterangan pendek yang akan menceritakan akhir dari riwayat Ambal sebagai sebuah afdeling atau regentschap. Ketika kita memasuki areal pekuburan akan tertulis sebuah keterangan, “Makam KRAA Poerbonegoro (Bupati Ambal Th 1830-1871). Wafat 7 Maret 1871. Kasowak 17 Maret 1872”. Apa yang dimaksudkan “kasowak” (dihapus). Istilah ini berkaitan dengan sebuah batu (semacam prasasti) yang tergeletak di nisan KRAT. Poerbonegoro yang bertuliskan aksara Jawa kawi yang isinya berbunyi, “Seda Setu Legi 7 Maret 1871, Suwaking Nagari 17 Maret 1872”.

Kabupaten Ambal pada tahun 1872 dihapuskan dan dijadikan distrik dari Karanganyar. Menurut M.M. Purbo-Hadiwidjoyo, “Pendopo dengan empat 'soko guru', tiang utamanya yang terbuat dari kayu jati mutu-tinggi yang sangat langka dipindah ke rumah kediaman Bupati Karanganyar” (Sejarah Pembentukan Bangsa Indonesia: Dari sejak Cikal-bakal. Sudut Pandang Pengalaman Pribadi - http://sejarah.purbo.org/1-7.html).

Nasib historis Ambal tidak jauh berbeda dengan Karanganyar. Jika Karanganyar sebelumnya adalah sebuah regentschap (kabupaten) di bawah residentie (karesidenan) Bagelen (sejak 1901 menjadi Karesidenan Kedu) bersama dengan Kebumen. Namun sejak 1 januari 1936 dihapuskan dan dijadikan distrik Kebumen, maka Ambal telah mendahului di tahun 1872 menjadi sebuah afdeling yang dihapuskan keberadaannya dan dijadikan salah satu distrik dari Karanganyar. De Locomotief  bertanggal 21 Maret 1874, disebutkan bahwa Regentschap Karanganyar memiliki sejumlah distrik, yaitu Karanganyar, Gombong, Soka, Petanahan, Puring, Karangbolong.

Apa alasan pemerintahan Belanda menghapus Kabupaten Ambal tahun 1872 belum dapat dipastikan. Penulis hanya mendapatkan suasana kebatinan Sang Bupati saat keputusan tersebut dikeluarkan, melalui sebuah untaian tembang macapat gubahan Bapak Sudarto. Buku ini saya dapatkan dari Bapak Hardi Nugroho (guru SMP 1 Ambal) yang meminjam naskah tersebut untuk dipelajari oleh penulis.


Tembang macapat tersebut ditulis dalam bentuk tulisan tangan latin yang ditulis dalam sebuah buku tebal dengan merujuk Buku “Babad Ambal” yang dimiliki Bapak Raden Parnedi putra Bapak Raden Soembardjo (halaman 506, tanpa judul). Sayang tidak ada satupun catatan tanggal dan tahun tembang macapat ini ditulis. Dari hasil wawancara singkat dengan Bapak Sudarto (83 tahun) tembang ini ditulis sekitar tahun 1970-an.

Berikut kutipan bait ke 20 dan ke 21 tembang macapat tersebut (hal 504, tanpa judul):

20.
Wus yuswa Kangjeng Bupatinya
Tinantun Kangjeng Gupermin
Rehne Kabupaten Ambal
Karsanya dipun icali
Yen kersa Jeng Bupati
Kapindah mengetan mengku
Ing kuta Surabaya
Ing kono lowong samangkin
Wangsulannya mojoo Jeng Bupati Ambal

21.
Tan arsa lamun kapindah
Sayekti bade netepi
Prajanjiyan duk  samana
Yen dipun angkat Bupati
Amung sayuswaneki
Embuh-embuh darah mbesuk
Mung Allah kang uninga
Mila yasa Gentan nuli
Bade papan sumarenya jeng Bupatinya

Intisari bait 20 dan 21 memperlihatkan bahwa penghapusan Kabupaten Ambal adalah inisiatif pemerintahan Belanda (Gubernemen) namun tidak dijelaskan apa penyebab penghapusannya. KRAT. Poerbonegoro menampik pemindahan tugas ke Surabaya namun memegang janjinya untuk menuntaskan tugasnya selaku bupati di Ambal hingga wafatnya. Sebelum kewafatannya beliau telah menyiapkan makam bagi dirinya di Gentan, Prembun. Namun akhirnya beliau dikebumikan di Desa Benerwetan sebagaimana bunyi pupuh berikut:

23.
Dusun Bener caket kita
Cinekak kandhane enting
Sedanira Kangjeng Ambal (7-3-1871)
Layon sampatnya rinukti
Kasarekaken nuli
Ing Gentan iyasanipun
Sapriki lamun ruwah
Kathah motor pating kliri
Putra wayah kang samsa nyaosi dhahar

 

Penulis mendapat kesempatan untuk pertama kalinya mengunjungi dan melihat secara langsung sejumlah peninggalan Bupati Ambal di dalam rumah kediamannya al., meja kerja, mahkota, lukisan Poerbonegoro, ruang tidur.


Sekalipun Kabupaten Ambal telah dihapus dan menjadi sebuah distrik Kebumen (sekarang menjadi kota kecamatan di wilayah Kabupaten Kebumen), namun jejak peninggalan sebuah wilayah kabupaten masih nampak dalam bentuk artefak maupun tata ruang yang meliputi di antaranya: rumah kediaman/kantor bupati Ambal (yang merawat ibu Kasiyah), rumah kediaman/kantor kawedanan Ambal (yang merawat ibu Siti Qoiriyah), jalan raya yang membelah dari barat ke timur di depan rumah kabupaten dan kawedanan, alun-alun yang telah berubah fungsi menjadi pekarangan dan rumah penduduk, masjid agung yang telah menjadi masjid Al Mustofa, makam KRAT Poerbonegoro.


Seluruh artefak dan tata ruang tersebut merupakan jantung kota Ambal ketika masih menjadi sebuah wilayah Kabupaten yang dipimpin oleh seorang bupati. Dengan menyusuri semua situs tersebut kita dapat membayangkan dinamika sosial politik dan sosial ekonomi Kabupaten Ambal dan pasca penghapusan status kabupaten.


Melihat sejumlah bangunan yang kurang terawat, alangkah baiknya pihak ahli waris ataupun pegiat sosial budaya di desa serta pemerintahan kabupaten bersinergi untuk membenahi perawatan situs-situs tersebut dan meningkatkannya menjadi sebuah kawasan museum yang bernilai edukasi sekaligus ekonomi.

 

Kawasan Jalan Poerbonegoro dan seluruh artefak yang tersedia (rumah kabupaten, rumah kawedanan, bekas masjid agung kabupaten, bekas klinik era Belanda dan Jepang, tugu penanda, makam KRAA. Poerbonegoro) selayaknya menjadi lokasi yang dipilih sebagai situs utama wisata Kampung Jawa ke depannya.

 

Dengan demikian, Ambal bukan hanya dikenal dengan produk makanan khasnya saja, melainkan sebuah kawasan yang menyimpan jejak dan kenangan silam sebuah pemerintahan setingkat kabupaten di era kolonial yang tersimpan jejaknya dalam sejumlah artefak bangunan maupun tata ruang jalan.



*Artikel ini telah dimuat di tautan berikut:

http://www.inikebumen.net/2019/09/kraa-poerbonegoro-dan-nasib-historis.html

2 komentar:

  1. Saya, Salah satu cucu buyut eyang KRAA Poerbonegoro, matur suwun ulasannya

    BalasHapus
  2. Senang jika ada kerabat yang membacanya

    BalasHapus