Senin, 09 Oktober 2023

CEPETAN DALAM CATATAN THEODORE PIGEAUD

DR. Theodor Gautier Thomas Pigeaud (1899-1988) adalah seorang ahli sastra Jawa dari Belanda. Karya mashurnya adalah Javaans Nederlandsch Handwordenboek (1938) yang menjadi dasar pembuatan Baoesastra Djawa  oleh Wilfridus Josephus Sabarija Poerwadarminta. Karya lain yang menjadi magnum opus adalah, Java in the 15th Century: A Study in Cultural History: The Nagara Kertagama by Rakawi Prapanca of Majapahit, 1365 AD. Buku ini ditulis dalam 5 volume.

Ada kajian menarik dari salah satu bukunya yang berjudul, Javaans Volkvertoningen terbitan Volklectuur Batavia, 1938. Buku setebal 545 halaman ini membahas mengenai inventarisasi berbagai bentuk kesenian yang ada di Jawa baik itu wayang, tarian, tari topeng, kuda lumping dan berbagai pertunjukan kesenian rakyat lainnya.

Pada halaman 173 ada ulasan pendek mengenai cepetan, sebuah ekspresi kesenian lokal Kebumen yang berkembang di wilayah pegunungan utara. Beberapa kutipan pernyataan yang diperlukan sbb:

Mengenai tjepetan atau pitik walik, yang disebutkan oleh Tuan Inggris (nama orang) dalam deskripsi pertunjukkan di Wanakrija (deskripsi lain juga disebutkan oleh wedana Poering). Nama lainnya adalah munyukan kemudian menggunakan topeng seperti monyet dengan taring yang menonjol dan pada bajunya yang terbuat dari kain bagor, dilekati dengan bulu ayam

Sosok ini, menurut keterangan harus sesuai dengan yang disebut Djakalodra di Surakarta atau jauh lagi ke timur dan kawasan pesisir disebut sebagai genderuwo atau Tetek melek. Demikian pula sebagaimana keterangan Tuan Inggris, istilah tjepet di Barat Daya Jawa juga dimaknai sebagai roh atau hantu khususnya seperti poentianak (maksudnya kuntilanak)

Pada halaman sebelumnya yaitu 170-171, Pigeaud menuliskan demikian,

Di Wanakrija juga terlihat tjepetan atau pitik walik, seseorang yang memakai topeng dengan mengenakan karung yang dilekati bulu ayam. Namun, Tuan Inggris menyebutkan bahwa ada jenis lain dari tjepetan, yang mewakili makhluk perempuan. Ibu ini kemudian memiliki rambut panjang, payudara menggantung panjang, dan bagian belakang dicat sedemikian rupa sehingga orang bisa membayangkan sebuah lubang di sana. Ini mengingatkan pada konsepsi puntijanak atau kuntilanak, roh yang memangsa anak-anak dan ibu hamil pada khususnya. Mungkin orang juga bisa memikirkan wewe yang sudah disebutkan di atas

Dari keterangan pendek ini kita bisa mendapatkan beberapa keterangan berharga bahwa istilah cepetan sudah dikenal di tahun 1930-an dan dipentaskan di Wanakriya, Gombong. Sekalipun tidak disebutkan sejarah dan maknanya namun penggambaran figurnya memang dihubungkan dengan keberadaan roh-roh yang menakutkan bahwa dihubungkan dengan sejumlah mahluk lain baik itu genderuwo atau kuntilanak dll. Bisa dikatakan istilah cepetan belum mengalami standarisasi figur sebagaimana di masa kini dan masih bisa merujuk pada sejumlah sosok menyeramkan lainnya.

Bisa jadi dalam perkembangan selanjutnya mengalami berbagai modifikasi dan narasi baru sebagaimana yang terjadi di masa kini di wilayah utara Kebumen. Namun yang tidak bisa dipungkiri memang sosok ini sejak era kolonial selalu dikaitkan dengan sosok gaib penunggu hutan yang dianggap menyeramkan yang kemudian diterjemahkan menjadi figur dalam sebuah tarian.

Kiranya deskripsi yang dilakukan Pigeaud dalam buku yang diterbitkan tahun 1938 ini bisa menjadi peta jalan memahami dinamika kesenian rakyat di wilayah eks karesidenan Bagelen/Kedu di mana Kebumen berada di dalamnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar