Minggu, 23 Oktober 2022

DARI PANJER MENJADI KEBUMEN: SEBUAH KRONIK SINGKAT

Prof Sugeng Priyadi dalam bukunya, Sejarah dan Kebudayaan Kebumen mengatakan, “Sejarah Kebumen pada hakikatnya merupakan sejarah yang berkecenderungan terpecah-pecah atau disintegrasi daripada terintegrasi. Hal itu terjadi karena wilayah Kebumen  terbagi-bagi. Ada yang masuk wilayah mancanegara kilen dan ada pula yang masuk wilayah negaragung” (2004:1-2). Bukan hanya itu, menurut DR. Tanto Sukardi, M.Hum dalam bukunya Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, bahwa saat Banyumas masih menjadi wilayah mancanegara kasunanan dan dibagi dua yaitu Banyumas Kasepuhan dan Banyumas Kanoman tahun 1816, sebagian Panjer masuk wilayah Banyumas bersama Adireja, dengan Adipala, Purwokerto, Banjarnegara. Pemerintahan Panjer pada waktu itu dipegang oleh Raden Ngabehi Reksapraja (2017:18).

Melihat kenyataan tersebut, untuk memudahkan memahami kronik peristiwa di Kebumen, maka harus dibedakan adanya dua periodisasi yang memisahkan antara pemerintahan dan wilayah sebelum bernama Kebumen dan saat sudah menjadi Kebumen. Titik awal pemisahan periodisasi itu adalah pasca berakhirnya Perang Jawa (1825-1830). Mengapa demikian? Karena pasca berakhirnya Perang Jawa, terjadi perubahan nama-nama pemerintahan dan administrasi lama termasuk Panjer menjadi Kebumen.

Sebuah pemerintahan baru terbentuk di bawah kendali pemerintahan Hindia Belanda dimana wilayah Bagelen dan Banyumas yang semua menjadi wilayah mancanegara kilen kasunanan dan kasultanan jatuh berganti menjadi wilayah karesidenan Bagelen dan Banyumas.

Kebumen Sebelum Perang Jawa

Dalam buku karya Prof. DR. Sri Margana yang berjudul, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 yang diterbitkan pada tahun 2004 (edisi pertama) dan 2010 (edisi kedua) dijelaskan bahwa pada tahun Jawa 1555 (Masehi 1636), Sultan Agung Hanyakrakusuma mulai membentuk dan mengatur birokrasi kerajaan yang terdiri dari 16 pejabat Bupati Nayaka Jawi Lebet serta membagi tanah pedesaan di luat wilayah Negara Agung bukan tanah Mancanegara yang terdiri dari:

(1) Tanah di Pagelen (Bagelen) dibagi menjadi dua bagian yaitu sebelah barat sungai Bogowonto disebut Siti Sewu dan sebelah timur sungai Bogowonto disebut Numbak Anyar. (2) Tanah di Kedu menjadi dua bagian. Di sebelah barat disebut Siti Bumi dan di sebelah timur disebut Siti Bumijo. (3) Tanah Pajang dibagi menjadi dua bagian. Sebelah barat disebut Siti Penumping dan sebelah timur disebut Siti Panekar. (4) Tanah diantara Demak dan Pajang disebut Siti Ageng. Wilayah-wilayah tersebut menjadi tanah gaduhan abdi dalem delapan orang Bupati Nayaka beserta panekarnya (2010:1)

Yang disebut Siti Sewu meliputi Dhuduwala, Telaga Bulu Kapitu, Dhadhap Agung sementara yang disebut Numbak Anyar meliputi Sungai Bogowonto ke timur sampai Kulonprogo (2010:19)

Panjer, adalah sebuah wilayah setingkat kabupaten jika disetarakan di masa kini.  Tidak jelas kedudukan Panjer dalam pembagian wilayah tersebut berada di bagian mana namun jika merujuk buku karya Tirtowenang Kolopaking yang berjudul Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas: Ki Ageng Mangir, Kolopaking, Arungbinang (2005) kita mendapatkan sejumlah keterangan mengenai kedudukan Panjer dalam konstelasi politik Mataram Islam di bawah kepemimpinan Sultan Agung. Keberadaan Panjer disebutkan sebagai salah satu wilayah tempat lumbung padi dan tepat pemasokan padi/beras saat Sultan Agung melakukan penyerbuan ke Batavia tahun 1629.

Pasca Perjanjian Giyanti (1755) wilayah Bagelen menjadi berubah statusnya dari Negara Agung menjadi wilayah Mancanegara milik Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Siti Sewu menjadi milik kasunanan Surakarta dan Numbak Anyar milik kasultanan Yogyakarta.

Tidak mengherankan jika pasca Perang Jawa berakhir (1830), Arung Binang IV (pejabat Surakarta) yang ditunjuk menata wilayah yang disebut Kebumen hingga berlanjut sampai Arung Binang VIII (1942). Arung Binang I (Tumenggung Hanggawangsa atau Jaka Sangkrip) sampai Arung Binang III adalah para pejabat yang mengabdi di Kraton Surakarta.

Panjer dan Trah Kolopaking

Keberadaan Panjer tidak bisa dilepaskan dari nama Kyai Ageng/Kyai Ngabehi Bodronolo yang disebut-sebut turut membantu penyerbuan ke Batavia tahun 1627-1629. Kyai Ageng Bodronolo adalah putra dari R.M. Bagus Maduseno dan cucu dari Ki Ageng Mangir IV yang tewas ditangan mertuanya sendiri yaitu Panembahan Senopati.

Kelak Kyai Ageng Bodronolo ditetapkan sebagai Ngabehi Panjer Rooma pada tahun 1642 oleh Sultan Agung. Kyai Ageng Bodronolo menurunkan putra dari pernikahannya dengan Endang Patrasari yaitu Ki Bagus Kertosuto dan Ki Bagus Hastrosuto.

Ki Bagus Kertosuto putra pertama Kyai Ageng Bodronolo menurunkan putra bernama ki Bagus Curigo. Dan Ki Bagus Curigo kelak menurunkan dua putra bernama Kertodipo (kelak menjadi Ngabehi Kalijirek bergelar K.R.A. Wongsonegoro) dan Ki Ageng Kertowongso (kelak bergelar K.A.R.T. Kolopaking I).

Tokoh-tokoh bergelar Kolopaking berturut-turut menjadi pemimpin wilayah bernama Panjer mulai dari Kolopaking I (Ki Ageng Kertowongso) yang mendapatkan gelar Kalapaaking karena menolong Sunan Amangkurat ketika mengungsi akibat pemberontakan Trunajaya (1677) dengan memberinya air kelapa aking yang menyembuhkan keracunan dalam tubuhnya. Kisah Kyai Kertawangsa yang bergelar Kolopaking tertulis dalam sejumlah naskah al, Tedhakan Serat Soedjarah Joedanegaran dan Serat Sudjarah Banyumas.

Berturut-turut Kolopaking I diganti oleh Kolopaking II  (Ki Mandingen) kemudian Kolopaking III (Ki Kertowongso Sulaiman). Ki Kertowongso Sulaiman terlibat dalam pasukan Mas Garendi ketika terjadi peristiwa Geger Pacinan (1740-1743) bersama seorang prajurit Tionghoa perempuan yang menyamar menjadi prajurit laki-laki. Prajurit wanita tersebut bernama Tan Peng Nio dan kelak menjadi salah satu istri Kolopaking III.

Ketika pecah Perang Jawa (1825), Panjer berada dipihak Pangeran Diponegoro dan saat itu dipimpin oleh Kolopaking IV (Raden Mas Kertowongso).

Panjer dan Trah Arung Binang

Wilayah Panjer bukan hanya melahirkan tokoh trah Kolopaking melainkan melahirkan tokoh dan trah Arung Binang, sebuah gelar yang diberikan kasunanan. Asal usul trah Arung Binang berasal dari keberadaan Pangeran Bumidirdjo, paman Sunan Anagkurat I yang mengungsi ke Panjer tahun 1670 akibat tidak menyetujui kebijakan sunan yang otoriter.

Pangeran Bumidirdjo berputra empat yaitu Kyai Bekel/Raden Prawiro Bumi, Kyai Gustri, Kyai Dalem, Kyai Lening. Putra pertama Pangeran Bumidirdjo yaitu Kyai Bekel menurunkan empat (40 anak yaitu Kiai Bekel Wongsoyudo, Kiai Kenthol Djoyotruno, Kyai Kentol Djololeksono, Kyai Kentol Wuragil.

Kyai Kentol Weragil menurunkan dua putra yaitu Kiai Honggoyudho dan Kiai Singoyudho. Dari Kiai Honggoyudho menurunkan tujuh (7) keturunan yaitu Nyai Wirarana, Ki Honggodiwongso, Nyai Wirawidjaja, Nyai Wirawangsa, Ki Sutayudha, Nyai Suradjaja serta Jaka Sangkrib (Surawijaya/Honggowongso).

Jaka Sangkrib kelak mengabdi kepada Paku Buwono II dan bergelar Tumenggung Arung Binang dan berkontribusi terhadap perpindahan lokasi kraton Kartasura di Plered ke kraton Surakarta di Solo tahun 1744. Arung Binang I menjabat sebagai bupati Nayaka.

Arung Binang I berperan besar dalam pencarian dan penetapan lokasi kraton baru yang didirikan Paku Buwono pasca perusakan Kartasura oleh pasukan Tionghoa. Desa Solo kelak menjadi pusat kraton Surakarta dan dibangun tahun 1743-1745 atas saran dan petunjuk Arung Binang I atau Tumenggung Hanggawangsa (Deny Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, 2008:109).

Berturut-turut Arung Binang I digantikan Arung Binang II (Wongsodirjo) dan Arung Binang II digantikan Arung Binang III (R.M. Rio Soerdjodirdjo). Semua berdomisi di Surakarta.

Kebumen Pasca Perang Jawa

Ketika pecah Perang Jawa maka diutuslah Arung Binang IV (R.M.Mangundiwirdjo) untuk membantu memadamkan peperangan di wilayah Panjer yang juga merupakan wilayah kasunanan dengan bantuan tentara pemerinntahan Hindia Belanda. Dalam buku berjudul, De Java Oorlog van 1825-1830 karya E.S. Klerk (1905) dijelaskan sejumlah wilayah Bagelen Barat al., Pandjer, Koetowinangun, Karang Bolong, Oeroet Sewoe, Seruni, Kemit, Petanahan, Grogol, Bocor, Roma, Oengaran (Ngaran), Koetawinangoen, Wonosari yang menjadi pusat-pusat pertempuran sengit antara pasukan Pangeran Diponegoro dengan pasukan Arung Binang dari Kasunanan serta bala bantuan pasukan Hindia Belanda.

Pasca Perang Jawa berakhir (1830), Bagelen dan Banyumas yang merupakan wilayah mancanegara kasunanan dan kasultanan, jatuh ke tangan pemerintahan Belanda dan dijadikan sebuah wilayah karesidenan dengan nama Karesidenan Bagelen dan karesidenan Banyumas. Sebelum Perang Jawa pecah,  wilayah di Panjer ada yang menjadi milik sunan dan sultan demikian pula sejumlah wilayah di Remo Djatinegara ada yang menjadi milik sunan maupun sultan.

Kenyataannya, masing-masing wilayah yang menjadi milik kekuasaan kedua kerajaan ini saling tumpang tindih. “Catatan yang disimpan di pencatatan, yang menunjukkan hasil, diambil dari daerah yang berbeda, menunjukkan pembagian yang jauh lebih rumit”, demikian tulis CL. Van Doorn dalam laporannya yang berjudul, Schets van de Economische Ontwikkeling der Afdeeling Poerworejo (Residentie Kedoe) (1926: 18-19)

Setelah Perang Jawa berakhir (1830), nama-nama wilayah dan administrasi lama mengalami perubahan. Brengkelan menjadi Purworejo, Semawung menjadi Kutoarjo, Panjer menjadi Kebumen, Remo Jatinegara menjadi Karanganyar. Jika tahun 1830, Karesidenan Bagelen terdiri dari empat regentshap (kabupaten) yaitu Brengkelan (Purworejo), Semawung (Kutoarjo), Ungaran (Kebumen), Karangdhuwur (Karanganyar) maka tahun 1869 berubah menjadi enam regentshap yaitu Purworejo, Kutoarjo, Ledok (Wonosobo), Kebumen, Karanganyar.

Sejak 1830 pemerintahan Panjer dihapuskan dan diganti menjadi Kebumen dengan bupati pertama yang memerintah adalah Arung Binang IV (R.M. Mangoediwirdjo, 22 Agustus 1831-30 Juni 1849). Berturut-turut pemerintahan Kebumen dipimpin oleh Arung Binang V (Bagus Sanglir, 30 Juni 1849-19 Juli 1877). Arung Binang V digantikan Arung Binang VI (Mangundirdjo, 19 Juli 1877-4 Maret 1909). Arung Binang VI digantikan Arung Binang VII (Maliki Soerdjomihardjo, 4 Maret 1909-31 Desember 1935) serta yang terakhir Arung Binang VIII (Soemrah Sosrohadiwidjojo, 31 Desember 1935-1942). Pemerintahan Arung Binang VIII berakhir ketika pendudukan Jepang menguasai Jawa termasuk Kebumen.

Kebumen di bawah pemerintahan Arung Binang VII (Maliki Soerdjomihardjo) merupakan masa-masa keemasan karena seiring diberlakukannya Politik Etis, terjadi berbagai perubahan dan modernisasi yang berimbas ke wilayah Hindia Belanda termasuk Kebumen. Di masa pemerintahan Arung Binang didirikannlah pabrik minyak Insulinde (1912) dan digantikan pabrik minyak Mexolie (1924), Rumah Sakit “Pandjoeroeng” dibangun (1915), berbagai saluran kanal serta pembukaan jalan baru dilakukan.

Sebelum Maliki Siswomihardjo menjabat menjadi bupati, 50% desa tidak mudah ditempuh dengan kereta kuda namun saat dirinya menjabat bupati, dari 208 desa, sebanyak 192 desa telah dapat ditempuh dengan mudah. Demikian pula dalam sebuah artikel yang ditulis oleh H.C. Zentgraaff dengan judul, Er is een Tijd van Komen en Gan yang dimuat surat kabar de Locomotief (3 Februari 1936) diberikan sebuah penegasan perihal kinerjanya yang membuat perbedaan signifikan saat mana memulai tugasnya sebagai bupati hingga menjelang paripurnanya tugas dengan menuliskan, “Dia membuat perbedaan antara Kedu Selatan hari ini dan periode pertama jasanya” (Teguh Hindarto., Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII, 2020)

 

Di masa beliaulah Karanganyar dihapuskan sebagai kabupaten dan pada tahun 1936 digabungkan ke Kebumen dan Kabupaten Kebumen menerima status baru sebagai vergroote regentschap (kabupaten yang diperluas) dan dipimpin oleh adik Arung Binang VII yaitu R.A.A. Sosrohadiwidjojo yang sebelumnya menjabat Bupati Demak.

Pemerintahan Arung Binang VIII berakhir sampai Jepang memasuki Kebumen pada tahun 1942 dan ketika Kebumen menjadi sebuah kabupaten di bawah Republik Indonesia, bupati pertama bernama Raden Said yang memerintah dari tahun 1945-1947.

Kesimpulan

Kabupaten Kebumen sebelum ditetapkan menjadi sebuah wilayah kabupaten di bawah karesidenan Bagelen (1830-1900) dan karesidenan Kedu (1900-1945) merupakan sebuah wilayah setingkat kabupaten bernama Panjer.

Panjer di masa Mataram Islam merupakan bagian dari pemerintahan wilayah Siti Sewu. Setelah Perjanjian Giyanti (1755) sebagian Panjer masuk wilayah kasunanan dan sebagian masuk wilayah kasultanan bahkan pernah menjadi wilayah kekuasaan Banyumas

Ketika Perang Jawa berkecamuk (1825-1830), wilayah Panjer yang berada di Bagelen Barat menjadi wilayah berkecamuknya peperangan yang merepotkan pemerintahan Hindia Belanda. Hingga berakhirnya Perang Jawa, keberadaan Panjer berakhir dan digantikan pemerintahan Kebumen. Pemerintahan Kebumen dimulai sejak Arung Binang IV (1831-1849) hingga Arung Binang VIII (1935-1942).


Referensi:

Drs. Sugeng Priyadi, M.Hum, Sejarah dan Kebudayaan Kebumen, Yogyakarta: Jendela 2014

DR. Tanto Sukardi, M.Hum., Tanam Paksa di Banyumas: Kajian Mengenai Sistem Pelaksanaan dan Dampak Sosial Ekonomi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2014

Teguh Hindarto., Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII, Yogyakarta, Deepublish 2020

Dr. C.L. Van Doorn, Schets van de Economische Ontwikkeling der Afdeeling Poerworejo (Residentie Kedoe), Weltevreden:G.Kolff & Co, 1926

E.S. Klerk, De Java Oorlog van 1825-1830, Batavia Landsdrukkerij: M. Njhoff 1905

Denys Lombard, Nusa Jawa Silang Budaya: Warisan Kerajaan-Kerajaan Konsentris, Jakarta: Gramedia Pustaka Tama 2008

Tirtowenang Kolopaking, Sejarah Silsilah Wiraseba Banyumas: Ki Ageng Mangir, Kolopaking, Arungbinang, Jakarta: Trah Kolopaking 2005

Prof. DR. Sri Margana, Kraton Surakarta dan Yogyakarta 1769-1874 (edisi kedua), Yogyakarta: Pustaka Pelajar 2010

 

 

 

 

Teguh Hindarto, S.Sos., MTh.

Penulis buku, Bukan Kota Tanpa Masa Lalu: Dinamika Sosial Ekonomi Kebumen Era Arung Binang VII (Yogyakarta: Deepublish 2020) dan Wetan Kali Kulon Kali: Mengenang Kabupaten Karanganyar Hingga Penggabungan Dengan Kabupaten Kebumen 1936 (Yogyakarta: Deepublish 2021)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar