Rabu, 28 September 2022

DARI PILLBOX JEPANG, KISAH NGAYAH, ARTEFAK LINGGA YONI HINGGA BUKIT POLENG

Historical Study Trips (HST) kembali mengadakan kegiatan study trip atau wisata edukasi sejarah dengan berjalan-jalan menuju obyek yang dipilih. Kegiatan study trip sesi ke-8 kali ini mengambil tema, Jejak Jepang di Bukit Gajah, Argopeni yang terletak di Kecamatan Ayah.

Kegiatan diawali dengan presentasi materi pengantar yang dilaksanakan di Rumah Martha Tilaar. Setelah pemaaran dan tanya jawab dilanjutkan peserta study trip diajak menuju lokasi Bukit Gajah, Argopeni, Ayah dengan menggunakan kendaraan pengantar. Peserta nampak antusias mengikuti kegiatan dan mendengarkan penjelasan terkait fungsi pillbox Jepang serta memasuki bekas bangunan benteng pengawasan tersebut.

  

Pillbox Jepang

Selama Jepang berkuasa di Kebumen tidak diperoleh banyak kisah dan informasi penting terkait siapa pemegang otoritas yang berkuasa ketika memasuki kota dan mengambil alih kekuasaan? Bagaimana kehidupan sosial ekonomi ketika Jepang berkuasa? Buku Gelegar di Bagelen: Perjuangan Resimen XX Kedu Selatan 1945-1949 dan Pengabdian Lanjutannya (2003) yang memotret peristiwa Agresi 1 (1947) dan Agresi 2 (1949) di wilayah Kebumen hanya mengulas secara fragmentaris hari-hari terakhir kekuasaan Jepang di Kebumen. Tidak ada peninggalan penting baik berupa bangunan dan dokumen Jepang di Kebumen.

Namun demikian keberadaan sejumlah artefak yang berada di Bukit Gajah, Argopeni, Kebumen berupa pillbox menjadi sebuah jembatan menghubungkan masa lalu yang mengalami kekosongan narasi historis. Pillbox adalah bangunan bentukan Jepang yang terbuat dari beton dengan ukuran sempit berfungsi sebagai pertahanan dan pengawasan. Biasanya diletakkan di perbukitan atau dekat pantai.

Menurut informasi, keberadaan artefak yang dinamai oleh masyarakat sebagai “benteng pendem” atau “benteng Jepang” ada 9 buah namun yang teridentifikasi baru 3 buah termasuk yang dipergunakan untuk kegiatan peninjauan study trips sesi ke-8 oleh Historical Study Trips. Sejauh mana kebenarannya memang masih harus dibuktikan lebih lanjut melalui riset khususnya dari kalangan arkeolog.

Sayang sekali keberadaan pillbox yang ada di Argopeni, Ayah kurang mendapatkan perhatian secara maksimal. Dengan adanya UU Desa no 6 Tahun 2014 dimana desa mendapatkan alokasi dana desa, maka keberadaan pillbox Jepang dapat diubah menjadi bernilai jual ini melalui pembuatan lokasi wisata edukatif dengan mensinergikan pemangku kepentingan terkait (Desa, Pokdarwis, Perhutani, pegiat wisata) sehingga menjadi obyek kunjungan masyarakat. Kawasan dirapihkan dan bangunan dalam pillbox diberi pencahayaan maksimal.

 

Kegiatan study trip diakhiri dengan makan siang di tempat wisata Wanalela Forest di mana peserta dapat menikmati makan siang dengan melemparkan pandangan ke berbagai lokasi indah berupa perbukitan dan hamparan pasir pantai di bawahnya.

Ngajah, Ayah di Era Pajang, Mataram serta Kasunanan

Selain keberadaan pillbox Jepang yang menunjukkan jejak Jepang di kawasan Ayah dalam rangkai pengintaia musuh, tentu menarik mengulik sejumlah kisah lain dibalik nama Kecamatan Ayah.

Dalam Babad Pasir, yang mengisahkan perihal Arya Kamandaka yang mencintai anak Bupati Pasir Luhur (Adipati Kandadaha) yaitu Cipta Rasa, nama Ayah disebutkan dengan ejaan Ngayah bersama Ngambal,Petanahan, Bocor, Pituruh, Selamanik dll (Sugeng Prijadi, Babad Pasir: Banyumas dan Sunda, 2002:190).

Sugeng Prijadi dalam bukunya, Sejarah Kota Purwakerta (Purwokerto) (1832-2018) mengatakan bahwa, “Babad pasir merupakan karya sejarah tradisional yang berkembang di Daerah Aliran Sungai (DAS) Logawa-Mengaji-Serayu. Teks tersebut hadir sebagai salah satu bentuk keberadaan masa lampau Banyumas, terutama dari masa jauh sebelum Majapahit. Kerajaan Pasirluhur menurut teks dinyatakan sebagai kerajaan Galuh yang merdeka karena tidak berada di bawah kekuasaan kerajaan lain, baik Sunda (Pajajaran) maupun Majapahit” (2019:27).

Versi Babad Pasir saat ini ada 21 versi yang terdiri dari versi gancaran dan tembang (Sugeng Prijadi, 2019:27) dan Teks Babad Pasir yang tertua ditulis oleh J. Knebel dengan judul Babad Pasir, volgens een Banjoemaasch Handschrift yang diterbitkan oleh Verhandelingen van het Koninlijk Bataviaasch Genootschap der Kunsten en Wetenschappen (1900, 1931, 1961).Jika kisah dalam Babad Pasir historis, maka keberadaan Ngayah atau Ayah sudah dikenal di era Pasirluhur sebelum Majapahit.

Pasca Perang Jawa, pemerintahan Belanda menyusun ulang pemerintahan dan birokrasi pemerintahan di wilayah Kasultanan (Yogyakarta) dan Kasunanan (Surakarta). Wilayah Banyumas, Purbalingga, Ngayah, Remo Jatinegara masuk wilayah Kasunanan (Surakarta) – (J. Hageeman, Geschiedenis van de Oorlog op Java van 1825 tot 1830, Batavia, 1856:423). Ketika Remo Jatinegara dihapuskan dan diganti menjadi Karanganyar dengan status regentschap (kabupaten) di bawah Karesidenan Bagelen maka Ayah berstatus onderdistrict (kecamatan) di bawah district Banyumudal regentschap (kabupaten) Karanganyar.

Terbuka kemungkinan dahulu Ngayah menjadi bagian atau berbatasan dengan Kadipaten Dayeuhluhur (sekarang menjadi Cilacap). Dalam buku berjudul, Essay on the Geography, Mineralogy and Botany of the Western Portion of the Territory of the Native Princes of Java yang ditulis Thomas Horsfield (1826) nama Bocor, Petanahan, Dayeuhluhur memang disebut. Sayangnya Ngayah tidak disebutkan.

Data penting lainnya yang tidak kalah menarik adalah berasal dari sebuah atikel berjudul, Matjan Gadoengan yang ditulis oleh G. P. Rouffaer dan diterbitkan bersama beberapa artikel lainnya dalam  Bijdragen tot de Taal, Land- en Volkenkunde van Nederlandsch-Indië (1899, volgno 2). Dalam tulisan ini disinggung keberadaan dua tempat pembuangan di era Pajang dan Mataram serta Kasunanan yaitu Hutan Lodaya di Kediri dan Ngayah di Bagelen bagian Barat Daya berbatasan dengan Banyumas (1899:71)

Rouffaer mengutip kajian O.J. Oudemans dalam bukunya Javaansche Wetten en Andere Bepalingen, Geldig in Jogjakarta (1897:68—69) yang mengutipp bunyi Angger Ageng Pasa 22 dari Kasunanan yang berbunyi, ladjëng kaboetjal dateng Lodaja, oetawi dateng Ngajah. Hanya saja O.J. Oudemans menerjemahkannya dalam bahasa Belanda "en verbanning daarna naar Lodaja (een streek destijds nog geheel oerwoud vol tijgers en booze geesten in het Blitarsche) of naar onbekende streken - dan kemudian diasingkan ke Lodaja (suatu wilayah yang pada waktu itu masih penuh hutan harimau dan roh jahat di Blitar) atau ke daerah yang tidak dikenal). Entahkan arti kata Ajah (Ayah) artinya sebuah “wilayah tidak dikenal” (onbekende streken) atau bukan, masih menjadi perdebatan pada masa itu. Namun data ini memberikan informasi penting kepada kita mengenai kedudukan Ayah di era Pajang, Mataram serta Kasunanan.

Lingga dan Yoni

N.J. Krom, dalam bukunya  Inleiding Tot De Hindoe-Javaansche Kunst, Leiden: s'Gravenhage - Martinus Nijhoff (1920) sudah menyinggung keberadaan peradaban agama Hindu melalui penemuan lingga dan yoni dengan menyebutkan een steenen badkuip of sarkofaag, en een lingga, bij Ayah, geheel in het Westenn- bak mandi batu atau sarkofagus, dan lingga, di Ayah, seluruhnya di Barat - Teguh Hindarto dan Chusni Ansori, Sistem Sosial dan Keagamaan Masyarakat Megalitik dan Hindu Kuno di Lima Wilayah Kecamatan di Kabupaten Kebumen,  Jurnal Analisa Sosiologi, 2020,:236). Masyarakat setempat biasanya memberikan nama lokal dengan sebutan Watu Kalbut. Namun sejatinya ini adalah artefak peninggalan Hindu.

Bukit Poleng

Jika kita telah melakukan pelacakan singkat mengenai keberadaan Ngayah di masa lampau, demikian pula Bukit Poleng yang saat ini berada di Kecamatan Ayah telah disinggung dalam sebuah roman karya Michael Theophile Hubert perelaer (1831-1901) yang berjudul Baboe Dalima or The Opium Fiend (1886).

Dalam novelnya ini perelaer bukan hanya mengisahkan opium pachter atau bandar opium/candu di Semarang namun menyebutkan beberapa nama wilayah di sekitar karesidenn bagelen termasuk sebuah wilayah di district (kawedanan) Banyumudal regentschap (Kabupaten) Karanganyar dengan nama “poleng”.

Dengan kekayaan narasi historis dan peninggalan sejumlah artefak, baik era Hindu dan kolonial khususnya Jepang, kiranya pemangku kepentingan terkait beserta pengiat wisata lokal dapat bersinergi untuk menjadikan kawasan Ayah sebagai kawasan wisata edukasi sejarah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar