Senin, 13 Juni 2022

FRAGMENTA KUTOWINANGUN: MELACAK ARTEFAK MENAFSIR MASA LALU

Kalau sebuah kota tidak ingin kehilangan masa lalunya, tulislah kisah-kisahnya dan pertahankan bangunan-bangunan yang menyimpan kisah dinamika sosial ekonomi pada masanya. Tidak perlu menyalahkan bangsa lain yang sudah menghilangkan sejarah kita, seperti praduga-praduga yang bersumber dari roman-roman bertema konspirasi. Bisa jadi karena kita tidak tekun dan memiliki komitmen untuk mencari tahu dan menuliskan masa lalu secara metodologis.

Historical Study Trip kembali menyajikan riset kota melalui kegiatan study trip sesi ke-7 dengan mengambil tema, Fragmenta Kutowinangun: Melacak Artefak Menafsir Masa Lalu pada 12 Juni 2022.


Mengapa memilih Kutowinangun? Setidaknya Kutowinangun (sebelum tahun 1901, berdasarkan Regeerings Almanak dan peta nama kawedanan ini disebut Kedung Tawon. Setelah tahun 1901 disebut Kutowinangun) pernah menjadi medan riset Belanda dari tahun 1931-1934 dibidang ekonomi dan kesehatan. Riset tersebut diberi judul, Geld en Producten Huishouding, Volksvoeding en Gezonheid in Koetowinangoen (Uang dan Produk Rumah Tangga, Makanan dan Kesehatan di Kartowinangoen) dan diterbitkan tahun 1934 setebal 400-an halaman dan dibagi menjadi tiga pembahasan oleh empat peneliti.


Mengapa memilih lokasi pembenihan padi Sang Hyang Sri (sebelumnya PERTANI sejak tahun 1956-2021)? Karena lokasi pembenihan padi tersebut pada tahun 1891 menjadi lokasi pengawasan perkebunan tebu untuk Suikerfabriek Remboen di Prembun (Java Bode, 12 Maret 1891). Tercatat dalam surat kabar De Locomotief (12 Juli 1932) nama Gerardus de Chauvigny de Blot sebagai pengawas perkebunan yang bekerja sejak 1907. G.C. de Blot lahir di Tegal tahun 1891 putra Willem de Chauvigny de Blot seorang pensiunan tentara sekaligus pengawas perkebunan gula di Tegal. W.C. de Blot ini kelahiran Kebumen 1852.



Mengapa memilih Bendung Bedegolan? Sekalipun tertulis dalam sebuah plang bahwa bendung ini dibangun tahun 1989 namun hasil riset menunjukkan bahwa sejak 1851 bendung ini sudah dikerjakan oleh Ir.Holm dan menjadi saksi bisu banjir bandang setinggi 7 meter tanggal 21-22 Februari 1861 yang menghabiskan penduduk Jlegi dari 151 jiwa tersisa 44 jiwa.


Mengapa memilih makam Trah Arung Binang I-VIII? Karena pasca Perang Jawa Panjer digantikan menjadi Kebumen dan berstatus regentschap (kabupaten) di bawah Karesidenan Bagelen (1830-1900) dan karesidenan Kedu (1901-1945). Arung Binang IV (R.M. Mangundiwirjo) keturunan Jaka Sangkrip alias Surawijaya alias Arung Binang I menjadi bupati Kebumen yang pertama berturut-turut hingga kepemimpinan Arung Binang VIII (1936-1942).

   


Sampai jumpa pada riset kota di sesi-sesi berikutnya bersama Historical Study Trips - meminjam istilah seorang peserta, "tim pemburu masa lalu" - untuk memetakan sejumlah peristiwa dibalik artefak dan bangunan kuno yang masih tegak di ruang publik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar