Selasa, 08 Juni 2021

GEREJA BERLONCENG KUNING DI KAMPUNG TUDUNG

 

Setelah melewati Pasar Gamblok, berbelok ke timur memasuki jalan desa dengan hamparan sawah menghijau di kanan dan kiri, berdiri sebuah gapura megah bertuliskan, Desa Wisata Kampung Tudung, Grujugan. Beberapa ratus meter kita akan melihat sejumlah hiasan anyaman topi bambu yang digantung di sepanjang jalan serta sejumlah spot berfoto dengan latar belakang topi bambu.

Keberadaan gapura dan kawasan berfoto dengan tema Kampung Tudung belum lama keberadaannya. Dengan kerjasama pemerintahan desa dengan tim kreatif  Green Sabin, Purbalingga maka bulan April 2021 lalu keberadaan gapura dan sejumlah properti penunjang Kampung Tudung diresmikan.

 

Keberadaan Kampung Tudung tidak bisa dipisahkan dari aktivitas warga desa Grujugan yang telah mengakrabi pembuatan tudung dari bambu berpuluh tahun sebelumnya. Pasar Gamblok adalah lokasi di mana kita bisa melihat sejumlah aktivitas warga berjual beli namun pada hari pasaran Senin, Kamis, dan Sabtu, ada yang khusus karena di sanalah terjadi pertemuan antara penjual lambaran dan penjual tudung.

Sejumlah orang akan memasang anyaman bambu yang disebut lambaran di kepalanya sembari berjalan atau beberapa pedagang tudung meletakkan dagangannya menunggu sejumlah pembeli/pemesan dari daerah atau kota tertentu.

Pekerjaan menganyam bambu ini memiliki akar historis sejak era kolonial. Tercatat dalam sebuah artikel berjudul,  Economie Toestand der Bevolking van Residentie Kedoe (Situasi Ekonomi Masyarakat Karesidenan Kedu)  yang dimuat surat kabar De Locomotief (19-Februari 1938) nama desa Grujugan disebutkan dengan keterangan singkat sbb:

Bamboehoeden worden gevlochten te Petanahan en Klirong. Bakoel uit Groedjoegan (Petanahan) leveren twee keer leveren per maand naar Jogja, per keer niet minder dan 2500 stuks

Topi bambu ditenun di Petanahan dan Klirong. Bakul dari Grujugan (Petanahan) mengirim sebulan dua kali ke Yogja,  sekali kirim tidak kurang dari 2500 buah

Sampai hari ini, kita akan melihat sejumlah aktivitas warga menganyam lambaran dan membuat tudung bambu di tiap-tiap rumah. Sejumlah tudung yang sudah dianyam akan terlihat dideretkan di pekarangan rumah untuk dijemur.

Kita tinggalkan sejenak keberadaan dan aktivitas kerajinan tudung dari bambu yang telah berakar sejak era kolonial. Jika kita berjalan lurus dari gapura wisata Kampung Tudung maka akan sampai di sebuah simpang tiga. Di sebelah kiri jalan akan terlihat sebuah bangunan gereja dengan model kuno. Nama gerejanya adalah Gereja Kristen Jawa Grujugan. Ada beberapa yang menarik dari bangunan gereja ini.

Pertama, sebuah prasasti dituliskan di samping pintu masuk gereja dengan huruf kapital semua bertuliskan, Ingkang Mandegani Toewan Ds Van Dyk Kalijan R. Samuel – 18 Juli 1929. Siapakah Van Dyk dalam prasasti ini? Yang benar tulisannya adalah Van Dijk. Keberadaan bangunan gereja dan nama Van Dijk tidak bisa dilepaskan dari aktifitas pekabaran Injil yang dilakukan Gereja Frisian (Friesche Kerk) yang beraliran Gereformeerd (Reformasi atau Protestan).

 

Tahun 1900, Gereja Frisian yang tergabung dalam Zending de Gereformeerde Kerken in Nederlands (ZGKN) atau Badan Pekabaran Injil Gereja Reformasi di Nederland mengutus Ds. Baker ke Kebumen. Pada Mei 1902, Bakker mendirikan Rumah Sakit Pembantu (Hulpziekenhuis) di Krakal, Alian, Kebumen. Beliau menyewa sebuah rumah di desa Kebasekan (sekarang Gedung Prabasanti milik GKJ Kebumen) dan membangun jemaat dari kalangan masyarakat Jawa di Kebumen.

Bagi sebagian kalangan warga Gereja Kristen Jawa (GKJ) di Kebumen mungkin nama Gereja Frisian cukup asing. Namun inilah nama asal muasal gereja yang mewartakan Injil di Jawa Tengah khususnya Kebumen.

Istilah Frisian dalam bahasa Belanda ditulis Friesche dan sering ditulis Friesland. Nama Friesland menunjuk kepada sebuah propinsi di utara Nederland dengan ibu kotanya Leeuwarden. Dalam sebuah sambutan yang ditulis oleh G.M. Van Rennes dalam buku peringatan 25 tahun karya pekabaran Injil Gereja Frisian di Kebumen dengan judul, Schetsen en Herinneringen dituliskan sbb:

De Friesche Zending jubileert weldra. Den 11 den September zal het 25 jaar geleden zijn, dat Ds. D. Bakker, de eerste Missionair predikant der Friesche Kerken, zich te Keboemen vestigde, om zijnen arbeid aanite vangen op het Friesche zendingsterrein...Het is zeker niet van belang ontbloot eens na te gaan, hoe de zendingsactie in Friesland is ontstaan (1925:7)

Pekabaran Injil Frisian akan segera merayakan hari jadinya.  Tanggal 11 September akan menjadi peringatan 25 tahun Ds. D. Bakker, pendeta misionaris pertama Gereja Frisian, menetap di Keboemen untuk memulai pekerjaannya di ladang misi Frisian...Tidak kurang pentingnya untuk dipertimbangkan, bagaimana aksi pekabaran Injil di Friesland ini berasal.

Dari penjelasan ini kita mendapatkan keterangan akar jemaat Kristiani di Kebumen berasal dari karya pekabaran Injil Gereja Frisian atau Gereja Friesland yang tergabung dalam Zending de Gereformeerde Kerken in Nederlands (ZGKN). Orang-orang tua dahulu biasanya mengenja dengan gereformit.

Kelak tanggal 17-18 Februari 1931 gereja-gereja beraliran gerefomeerde (reformasi) ini menamakan dirinya Pesamoewan Kristen “Gereformeerd” ing Tanah Djawi Tengah sisih Kidoel, yang masing-masing mengelompok dalam 5 klasis bersinode pertama di Kebumen. Kelak berganti nama menjadi Gereja Kristen Jawa.

Pada akhir tahun 1905, ketika Bakker hendak dipindahtugaskan di sekolah Keucheunius, Yogyakarta, telah ada 146 orang yang dibaptis, termasuk 93 anggota yang mengaku percaya. Pada tanggal 4 Juni 1906, Bakker berpindah ke Yogyakarta dan Ds. Van Dijk menjadi pendeta pengganti di Gereja Frisian di Kebumen. Namun gedung gereja Frisian (yang sekarang menjadi GKJ Kebumen) baru berdiri tahun 1919.


Di masa Van Dijk inilah banyak terjadi perkembangan kehidupan jemaat Kristiani di kabupaten Kebumen dan kabupaten Karanganyar. Pada bulan Juni 1915 pekerjaan pembangunan rumah sakit Pandjoeroeng (pasca kemerdekaan menjadi RSUD Kebumen sampai 2014) di mulai dan pada 1 Januari 1916 mulai dibuka dengan Dr. Osterhuis sebagai dokter pertama bertugas.

Pada 3 November 1913 didirikan Christelijke Hollands Inlands School di Gombong (sekarang SMP 2) dan pada tahun 1918 didirikan Hollands Chinesche School di Kebumen (kelanjutan sekolah yang digagas Nona Van Der Kouwe pada tahun 1912 yaitu Juliana School). Pasca kemerdekaan sekolah ini menjadi SMA Masehi samai 2016 (Schetsen en Herinneringen, 1925).

Sekalipun dibangun dan ditetapkan sebagai jemaat mandiri pada tahun 1929 namun keberadaan jemaat Kristen di Grujugan sudah terlacak sejak tahun 1908. Namun belum berbentuk gereja mandiri melainkan berdirinya sekolah berbasis Misi. Keberadaan bangunan sekolah ini masih terlihat sisa-sisa fasad dan ruangannya di sebuah pekarangan yang masih menjadi milik GKJ Grujugan.

Pada tahun 1908 sudah terbentuk jemaat Gereja Frisian di 8 lokasi yaitu di Kebumen, Karanganyar, Banjur, Pamrian, Krakal, Prembun, Glonggong, Grujugan. Grujugan pada masa itu masuk wilayah district Pejagoan regentschap Karanganyar afdeeling Kebumen (List Van De Voornaamste Aardrijkundige Name In Den Nederlandsch Indischen Archipel, 1906). Dalam sebuah laporan perkembangan pekabaran Injil di Kebumen dan Karanganyar semasa Van Dijk bertugas diperoleh data mengenai jumlah warga Kristiani di Grujugan sbb:

Jumlah jemaat Kristiani sebanyak 24 orang dan yang sudah mengaku percaya (sidi) sebanyak 14 orang dengan 1 sekolah serta 42 siswa. Guru sekaligus pengampu jemaat di sana bernama Sahinoe. Namun dalam laporan tersebut Sahinoe dianggap terlalu keras dalam membina jemaat sehingga harus ditarik dan digantikan tugasnya (Verslag Van De Zendingsarbeid Op Het Zendingsterrein Van Friesland, 1909)

Sementara dalam laporan Atlas Van De Zendingsterreinen Van De Gereformeerde Kerken In Nederland (1932) didapati data mengenai jumlah warga Kristiani di Grujugan sbb:

Jumlah warga yang sudah dibaptis sebanyak 133 orang dan yang sudah mengaku percaya (sidi) sebanyak 57 orang. Satu sekolah dengan guru berjumlah 4 orang dan siswa sebanyak 178 orang. Pengampu jemaat di sana bernama Samuel. Nah, inilah nama yang disematkan pada prasasti gereja pada tahun 1929.

Saat kebutuhan bagi pandita Djawa mulai tumbuh di kalangan jemaat Kristiani aliran Gereformeerde ini, jika Gereja Frisian di Kebumen sudah mendapatkan pendeta Jawa bernama Ds. Soesena maka Grujugan memiliki pendeta Jawa bernama, Ds. Soepardi Sastrasoewirja (23 Desember 1935) sebagaimana dilaporkan oleh Ds. D. Pool dalam Onze Zendingsvelden IV: Midden Java Ten Zuiden (De Stichting Honderloo, 1939).

Kedua, keberadaan lonceng besi dan kuno dicat kuning emas dan bertuliskan, H. Gruson Buckau Magdeburg. Menarik, ini adalah nama seorang pendiri Pabrik Gruson di Magdeburg – Buckau, Jerman yang  didirikan pada tahun 1855 oleh Hermann Gruson. Di kemudian hari menjadi bagian dari Friedrich Krupp AG dan berkembang menjadi salah satu perusahaan teknik mesin dan persenjataan terpenting di Jerman (second.wiki). Entah bagaimana ceritanya lonceng ini bertuliskan nama perusahaan Jerman ini. Mungkinkah sebuah pesanan khusus agar dibuat di pabrik yang memproduksi mesin dan persenjataan?

    

Sayang lonceng tua ini sudah lama tidak dibunyikan untuk memanggil warga jemaat beribadah. Akan lebih baik jika tradisi lama dalam memanggil jemaat beribadah dihidupkan kembali dan menjadi ciri khas panggilan beribadah.

Ketiga, sebuah tulisan dalam bahasa Jawa dengan huruf kapital semua di fasad atas bangunan gereja bertuliskan, Sampejan Pitadosa Doemateng Goesti Jesoes Kristoes Amasti Sampejan Manggih Kawiloejengan Dalah Sakkoelawarga Sampejan Sedaja. Kutipan ayat ini terambil dari Kisah Para Rasul 16:31. Mengingat usia bangunan gereja dengan bukti prasasti dan fasad bangunan yang memperlihatkan jejak-jejak kelampauan, sudah selayaknya keberadaannya dirawat dan dipelihara dengan baik sebagai warisan sejarah yang turut mewarnai kehidupan sosial keagamaan di desa Grujugan masa silam.

Keberadaan kerajinan tudung bambu dan gereja berlonceng kuning yang telah berakar sejak era kolonial bukan hanya menjadi warisan sejarah namun dapat menjadi kekuatan peningkatan ekonomi warga melalui pendirian galeri (bukan hanya kawasan berfoto) untuk memajang produk warga dan sekaligus daya tarik wisata sejarah (historical tourism).

Keberadaan segala sesuatu yang kuno dan antik bukan untuk ditinggalkan dan dilupakan namun dilestarikan sebagai sebuah legacy (warisan) dan memorial (peringatan)

2 komentar:

  1. Pak,,,kalau ada artikel tentang kec. Petanahan pada masa kolonial dipost dong pak

    BalasHapus
  2. Silahkan

    http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2020/05/lebaran-di-pantai-petanahan-tahun-1933.html?m=1

    BalasHapus