Minggu, 10 Januari 2021

SARANG WALET, RATU KIDUL, KARANGBOLONG

Pengunduhan sarang walet di  kawasan Karang Bolong telah dikenal lama.  Setidaknya tahun 1847 sudah ada berita mengenai keberadaan sarang burung walet dan Karangbolong. Sebelum tahun 1936, Karangbolong masuk distrik dari Kabupaten Karanganyar.

Tahun 1900-an  nama  Karangbolong  identik dengan sarang walet dan kegiatan pengunduhan sarang  walet. Keberadaannya telah menarik minat sejumlah orang untuk mengunjungi dan menuliskan dalam surat kabar.

Nama Karangbolong disebut-sebut dalam sejumlah  berita dikaitkan dengan aktivitas pengunduhan sarang walet al., Karang Bolong en Groot van Idjoe (De Preanger-bode, 19 Juni 1912), Karang  Bolong  (De Locomotief, 25 September 1919), Karang Bolong, (De Nederlande, 31 Juli 1920), Een Tocht Naar Karang Bolong (Algemeen Handelsblad, 11 April 1927).

Peran sentral Ratu Kidul (dalam koran berbahasa Belanda disebut "Njai Loro Kidoel") telah dikenal di Karang Bolong sejak era kolonial berkaitan dengan sejumlah kegiatan upacara penghormatan sebelum pelaksanaan pengunduhan sarang lawet.

Dalam sebuah artikel yang dibuat oleh seorang pengunjung dengan judul, Naar Karang Bolong (Menuju Karang Bolong) yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad (30 Mei 1925) diberikan sejumlah deskripsi menarik sbb:

"Sesampai di sana, kami harus keluar untuk melanjutkan perjalanan. Mengunjungi gudang sebelumnya, berdiri di sebelah pasanggrahan, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan sarang-sarang burung sebelum dikirim, dan di mana beberapa benda luar biasa dapat dilihat, berkaitan dengan oepacara – perhiasan mahal - dan poesaka, yaitu pusaka dari keluarga Bupati Karang -Anjar dan yang terkait dengan Ratoe Loro Kidoel, putri perawan dari Laut Selatan. Perkakas tersebut terdiri dari burung suci Garoeda dan tempat tidur sang dewi, kepada siapa orang-orang secara teratur berkorban: hari ini lebih dari biasanya, karena orang akan memulai pengunduhan sarang burung Lawet"

Nama dua gua utama pengunduhan sarang burung sudah disebutkan yaitu Gua Gedeh dan Gua Djoembleng. Keberadaan sarang burung lawet dilaporkan telah diekspor sampai ke Singgapura, Cina dan Ghana sebagaimana disitir dalam berita berjudul, De Plaats Der Eetbare Vogelnestjes:Karangbolong (Lokasi Sarang Burung Yang Dapat Dimakan: Karangbolong) oleh surat kabar De Sumatra Post (30 Mei 1931).

Nama "Gua Gede" dan "Gua Djoembleng" masih muncul dalam sebuah buku panduan berjudul Pedoman Tamasja Jawa Tengah pada tahun 1961. Mengenai Gua Gede disebutkan demikian, "Dari Karangbolong ke Goa Gede kira-kira 2 km, Goa Lengkung kira-kira 6 km dan Goa Karangduwur kira-kira 10 km" (R.O. Simatupang, 1961:23). Demikian pula dikatakan mengenai Gua Djoembleng demikian, "Dua kilometer kemudian barulah anda akan sampai di suatu puntjak, di bawahnya terdapat satu goa besar dinamakan Goa Djumbleng. Ini adalah salah satu dari beberapa goa jang paling besar, jang menghasilkan sarang burung" (1961:25). Entahkah nama-nama gua itu masih dipertahankan di masa kini atau sudah mengalami perubahan penamaan seiring perubahan zaman.

Tidak ada yang berubah dalam hal metode pengunduhan sarang burung sejak era kolonial hingga era kemerdekaan termasuk masa kini. Istilah Gandek telah dikenal saat itu sebagai orang yang bertugas mengambil sarang burung Lawet (dalam sebuah wawancara yang dilakukan penulis beberapa bulan lalu, sebenarnya ada beberapa hirarkhi petugas selain Gandek antara lain Sotir). Sebuah artikel berjudul, Naar Karang Bolong (Menuju Karang Bolong) yang dimuat dalam Bataviaasch Nieuwsblad bertanggal 30 Mei 1925 memberikan sebuah deskripsi menarik mengenai bagaimana sarang-sarang lawet tersebut diperoleh sbb:

“Semua alat memiliki bentuk yang sangat primitif (primitief van vorm) dan membuat turunnya para pengunduh sarang burung (de plukkers) akan menjadi pemandangan yang begitu menakutkan. Tangga tali diikat ke akar pohon dengan tali-doek. Mereka selalu melakukan itu dan para Gandeks (de gandeks) tidak menginginkan perubahan dalam hal itu: itu akan menjadi mboten slamet, sebagaimana salah satu dari mereka meyakinkan kami”.


Di Karangbolong, mitos (kisah penemuan sarang burung yang menyembuhkan) dan sejarah (proses pengunduhan sarang walet sejak era kolonial) berjumpa dan saling mengisi serta membentuk landskap kebudayaan manusia dalam merespon tantangan alam. 

Yang tidak boleh dilupakan, alam tidak selamanya memberi jika kita mengambil semua tanpa merawat dan menjaga lestari. Narasi historis mengenai Karangbolong di era kolonial bukan sekedar legitimasi untuk melakukan eksploitasi melainkan menumbuhkan kesadaran untuk menjadikan sumber daya alam yang tersedia dapat terjamin keberlangsungannya dengan tetap melakukan berbagai tindakan konservasi.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar