Senin, 08 Juli 2019

JEMBATAN TEMBANA DAN SUNGAI LUK ULA PUNYA CERITA


Keberadaan Jembatan Tembana dan Sungai Luk Ulo tidak dapat dipisahkan. Jembatan Tembana berdiri tegak di atas aliran sungai Luk Ulo. Keduanya (jembatan dan sungai) memiliki kisahnya sendiri, khususnya dari aspek historis dan geologis. Bahkan aspek mistis yang biasa melekati kehidupan keseharian masyarakat kita.


Sungai Luk Ula: Sungai Yang Memotong Struktur

Dalam artikel sebelumnya dengan judul, Sungai Luk Ulo: Perspektif Historis, Geologis, Ekonomi Serta Sosial Budaya  (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com/2015/06/sungai-luk-ulo-perspektif-historis_17.html) saya mengutip pendapat Ir. Chusni Ansori, peneliti dari LIPI Karangsambung perihal Sungai Luk Ulo dijelaskan sebagai sungai antecedent, yaitu jenis sungai yang memotong struktur geologi utama daerah tersebut, dan termasuk stadium dewasa. Tingkat kedewasaan sungai ini terlihat dari pola meander serta endapan undak sungai yang terbentuk pada posisi jauh dari sungai utama.


Dari hasil wawancara dengan Ir. Chusni Ansori 2015 silam, dijelaskan bahwa struktur yang ditabrak oleh aliran sungai Luk Ulo saja sudah berusia sekitar 15 juta tahun yang dalam skala waktu geologi disebut Miosen pada periode Neogen . Menurut Wikipedia, Miosen adalah suatu kala pada skala waktu geologi yang berlangsung antara 23,03 hingga 5,332 juta tahun yang lalu.


Jika kita mengamati dari dekat saat aliran air sungai saat musim kemarau khususnya di bawah kaki Jembatan Tembana, maka sejumlah formasi batuan menampakkan ke permukaan. Menurut para geolog, jenis batuan tersebut merupakan perselingan batu pasir tufaan dan gamping tufaan. Sejumlah efek lekukan dikarenakan proses erosi berabad lamanya (merujuk pada analisis geologis perihal keberadaan sungai yang telah menabrak struktur).


Itulah sebabnya jika kita membaandingkan dengan foto Sungai Luk Ula dengan penampakkan Jembatan Tembana di era kolonial, sekitar tahun 1915-an aliran sungai dan fundasi sungai nampak masih rata.

Sungai Luk Ula: Dari Aktivitas Sosial Budaya Hingga Penampakkan Buaya

Dari hasil percakapan dengan sejumlah penduduk yang tinggal tidak jauh dari bantaran sungai Luk Ula, diperoleh keterangan bahwa pada bulan-bulan tertentu - khususnya Suro – kawasan ini menjadi tempat melarung “gaman” atau senjata khususnya senjata pusaka berupa keris. Namun yang melakukan ritual ini biasanya masyarakat jauh baik dari kawasan Kebumen maupun luar Kebumen.

Selain aktivitas ritual tradisional, aliran sungai Luk Ulo dimanfaatkan oleh warga sekitar menjadi kawasan memancing dan keperluan mencuci pakaian (sekalipun air sungai tidak bening dan bersih). Namun sejak peristiwa kemunculan buaya pada tahun 2017, sejumlah aktivitas warga menjadi tergangu dan mengalami keresahan. 

Berita kemunculan buaya masih simpang siur. Ada yang melaporkan tiga buaya dengan warna berbeda. Ada yang menduga kemunculan buaya dikarenakan pemulihan ekosistem di kawasan lain (munculnya hutan mangrove) sehingga memancing mereka melewati kawasan sungai. Namun tidak kurang yang meyakini bahwa buaya-buaya tersebut adalah jadi-jadian.

Jembatan Tembana: Struktur Bangunan Belanda

Ketika Indonesia masih dinamai Hindia Belanda, sejak tahun 1870-an, atau setelah kebijakan Tanam kaksa, Belanda sudah membangun jaringan rel kereta api dengan panjang sekitar 6.500 km di Jawa dan Sumatera. Tujuan utama Belanda membangun jaringan kereta api adalah untuk efisiensi angkutan barang, khususnya hasil perkebunan seperti gula, teh, kopi, tembakau, dan sebagainya.

Sebelum dibukanya jalur kereta api pembangunan jalan menjadi prioritas sebagai jalur penghubung. Kita masih ingat dengan Gubernur Jenderal Herman Willem Daendels bukan? Ya, nama ini dihubungkan dengan pembangunan De Grote Postweg (Jalan Raya Pos) yang panjangnya kurang lebih 1000 km yang terbentang sepanjang utara Pulau Jawa, dari Anyer sampai Panarukan dan diselesaikan dalam tempo satu tahun (1808). 

Pada tiap-tiap 4,5 kilometer didirikan pos sebagai tempat perhentian dan penghubung pengiriman surat-surat. Tujuan pembangunan De Grote Postweg adalah memperlancar komunikasi antar daerah yang dikuasai Daendels di sepanjang Pulau Jawa dan sebagai benteng pertahanan di Pantai Utara Pulau Jawa.

Demikian pula dengan pembangunan jembatan (baik jembatan jalan raya maupun jembatan kereta api)  selain untuk menghubungkan satu wilayah dengan wilayah lain yang terpisah oleh sungai, juga dapat mengefektifkan serta mengefisiensi waktu perjalanan.




Jembatan kereta api di Sokka pun sudah terdeteksi dalam sebuah laporan koran Het nieuws van den dag voor Nederlandsch-Indië bertanggal 06 februari 1912. Dalam berita pendek tersebut dikatakan, “Djocdja, 6 Febr. 1912. Spoorweg-ongeluk. De sneltrein van Maos naar Djoodja heeft nabij de brug te Sokka, bij Keboemen, een inlander overreden” (Djokdja, 6 Februari 1912. Kecelakaan kereta api. Kereta ekspres dari Maos ke Djoodja telah menabrak penduduk asli di dekat jembatan di Sokka, dekat Keboemen).

Demikian pula dengan Jembatan Tembana yang berdiri tegak di atas aliran sungai Luk Ulo. Dibangun dengan bentuk struktur melengkung (arch) dengan tujuan mendistribusikan beban saat dilalui kendaraan berat. Di bawah lengkungan Jembatan Tembana terlihat 4 digit angka namun hilang satu yaitu “1-15”. Nampaknya, tarikh pembuatan jembatan adalah 1915.


Ada data yang menarik sekaligus samar dari sebuah koran berbahasa Belanda yaitu De Preanger-Bode bertanggal 10 Mei 1915. Judul artikel tersebut adalah, Een door de bevolking gebouwde brug in het Gombongsche (Sebuah Jembatan Yang Dibangun Oleh Penduduk di Gombong). Sekalipun judul artikel mengenai pembangunan jembatan di Gombong dan foto brug (jembatan) namun keterangan pendek terhadap judul dan foto jembatan justru lebih menggambarkan wilayah di sekitar Jembatan Tembana dan Sungai Luk Ulo yaitu Pejagoan, Klirong, Karanganyar.

Kutipan selengkapnya sbb:

De brug valt niet direct op als bouwwerk; de bizonderheid is de wijze, waarop zij tot stand is gekomen.

De bevolking van een veertigtal desa's in de Zuid van het regentschap Karanganjar, waar de communicatie reeds een twintigtal jaren was bemoeilijkt door het Sentool-kanaal, had reeds jaren achtereen om 'n behoorlijke brug gevraagd.

De krachtige aanbeveilngen van den assistent wedono Klirong, wedono Pedjagóan, den controleur en regent van Karanganjar, de assistent resident van Keboemen. enz., hielpen niet. De bevolking ging intusschen voort, haar producten over een omweg van ongeveer 7 paal te vervoeren.

De producten werden daardoor duurder, en de door haar benoodigde koopwaren eveneens. De pikol-vrachten werden door degenen, die moed genoeg hadden, gebracht langs den bestaanden weg tot aan het kanaal om de voortzetting van dien weg te bereiken over een. . . . laten wij het maar brug' noemen

Deze brug bestond uit 4 gloegoe's als pijlers en 3 pinang stammen als brug gedek. Menig vrachtje kwam dan ook niet verder dan halverwege die brug, daar de man die 't droeg liever zijn vrachtje liet vallen, dan zelf den acht meter hoogen val mede te maken naar 't frissche water er onder. Dat verdroot de bevolking.

Nauwelijks was dan ook de irrigatie-opzichter eenigszins ingeburgerd of hem werd om raad gevraagd. Bekend met de teleurstellingen door officieele aanvragen, stelde hij voor, dat de bevolking zelf een brug zou bouwen en betalen. En 't gevolg was dat de begroote ƒ 5000 dadelijk gegarandeerd werden.

Binnen enkele maanden was de brug gereed en de vreugde en belangstelling bleken 't best, toen op den dag der opening duizenden zich ter plaatse verzamelden en een groote slametan bijwoonden.



Terjemahan bebas:

Struktur jembatan yang tidak terlihat, menjadi ciri khas pembuatannya

Empat puluh desa di selatan Kabupaten Karanganyar – yang mengalami gangguan komunikasi oleh Terusan Sentul selama sekiyar dua puluh tahun – telah meminta pembuatan jembatan baru selama bertahun-tahun

Rekomendasi kuat dari asisten wedono Klirong, wedono Pedjagóan, bupati dan inspektur Karanganjar, asisten penduduk Keboemen. dll, tidak membantu. Sementara itu, masyarakat terus menerus mengangkut produk-produknya melalui  jalan memutar sekitar 7 paal.

Akibatnya, produk dan barang dagangan yang mereka butuhkan perlukan menjadi mahal. Banyak Pikol (beban) dibawa oleh mereka yang cukup berani melewati sepanjang jalan yang ada ke kanal untuk mencapai kelanjutan jalan itu di atas. . . . sebut saja jembatan.

Jembatan ini terdiri dari 4 gloegoes sebagai pilar dan 3 batang pinang sebagai penutup jembatan. Banyak muatan tidak mencapai setengah dari jembatan itu, karena orang yang membawanya lebih suka menurunkan muatannya daripada mengalami penurunan setinggi delapan meter ke air tawar di bawahnya. Itu merusak masyarakat.

Pengawas irigasi sulit diintegrasikan atau dimintai saran. Akrab dengan kekecewaan yang disebabkan oleh sarana resmi, dia menyarankan bahwa penduduk harus membangun dan membiayai jembatan. Dan hasilnya adalah 5000 florin yang dianggarkan dijamin segera.

Dalam beberapa bulan jembatan sudah siap dan kegembiraan serta minat terbukti menjadi yang terbaik ketika, pada hari pembukaan, ribuan orang berkumpul di lokasi dan menghadiri sebuah slametan besar.


Penulis tidak berani memastikan apakah judul artikel dan foto tersebut merujuk pada pembangunan Jembatan Tembana. Namun melihat tahun pembuatan (1915) dan nama beberapa wilayah yang disebut (Klirong, Pejagoan, Karanganyar) patut diduga merujuk pada Jembatan Tembana. Namun tidak disebutkan nama “Tembana” dan “Luk Ula”, sehingga foto dan judul artikel membuat informasi menjadi samar.

Jembatan Tembana: Perbaikan Paska Agresi Militer 2

Dalam sebuah berita singkat di koran De locomotief : Samarangsch handels- en advertentie-blad, bertanggal 15 Desember 1951 dengan judul "Brugherstel" (Perbaikan) disebutkan perihal pembangunan perbaikan jembatan yang mengalami kerusakkan akibat agresi militer kedua. Perbaikan sepanjang 34 meter tersebut melibatkan 600 pekerja dengan biaya Rp. 500.000,- dan ditargetkan pertengahan Januari 1952 harus sudah selesai (waarmee men in medio Januari 1952 gereed hoopt te komen). Berita yang sama persis diwartakan oleh De Preanger pada Tanggal 19 Desember 1951 dengan judul, "Brug Tembono bijna gereerd' (Jembatan Tembana Segera Diperbaiki).

 

Kemudian dalam laporan koran De Nieuwsgier bertanggal 29 Mei 1952 dijelaskan perihal peresmian kembali jembatan Tembana. Berita dibuka dengan pernyataan, “Zondag vond de officiele opening plaats van de brug over de Kali Lukulo in desa Tembono. de brug, die gelegen is tussen Kebuen en Karanganjar, is een van the grootste in Kedu” (Pada hari Minggu pembukaan resmi jembatan di atas Kali Lukulo di desa Tembono berlangsung. Jembatan yang terletak di antara Kebumen dan Karanganjar, adalah salah satu yang terbesar di Kedu). Bedanya, jika laporan koran 1951 menyebutkan anggaran pembiayaan Rp. 500.000,- maka di koran 1952 disebutkan anggaran Rp. 550.000,-


Tidak lama kemudian, laporan koran De Preanger Bode dengan judul "brug Opengesteld" (Jembatan Dibuka Kembali) bertanggal 24 September 1954 melaorkan perihal perbaikkan dan pembukaan kembali Jembatan Kedungbener, sebelah Barat Jembatan Tembana. Semua pembangunan dikerjakan oleh pemerintahan Republik dengan biaya Rp. 392.000 dan dibuka pada Maret 1953.



Tembana dan Luk Ula Masa Kini

Sangat disayangkan, di tepian sungai baik di sebelah utara maupun selatan sejumlah sampah penduduk menumpuk mengotori pemandangan tebing dan tepian sungai yang banyak dirindangi sejumlah pohon bambu.


Akan lebih baik jika tebing dan tepian aliran Sungai Luk Ulo di bawah Jembatan Tembana bebas dan bersih dari sampah yang dibuang masyarakat dan dirapihkan serta dialihfungsikan menjadi sebuah kawasan atau spot berfoto dalam jarak aman. Sejumlah semak dan tumbuhan yang tidak teratur dipangkas dan dirapihkan.




Kiranya pemerintahan kota dan pemerintahan desa serta pegiat sosial budaya setempat dapat bekerjasama mengubah landskap di bawah Jembatan Tembana dan Sungai Luk Ula menjadi lebih asri, aman dan indah.


1 komentar:

  1. Ulasan detail dan ilmiah dari jaman batu sampai jaman kini.
    Terima kasih ulasannya kang...

    BalasHapus