Kamis, 09 Mei 2019

ORANG YAHUDI DI GOMBONG ERA KOLONIAL


Sumber gambar:
commons.wikimedia.org/wiki/File:Pupillen_te_Gombong,_1898.jpg

Mendengar nama Yahudi, tentu setiap orang akan memiliki sejumlah perspepsi tertentu dalam benak mereka masing-masing. Persepsi tersebut dapat diperoleh melalui referensi tertulis – entah yang bersifat positif ataupun negatif -  penjelasan lisan, percakapan umum, viralitas sosial media dll. Bahkan ketika mendengar nama Yahudi, mungkin pula yng terbayang adalah sebuah nama negara dan orang yang berada di wilayah yang jauh dari negeri Indonesia.
Artikel ini tidak hendak menjelaskan apa dan bagaimana mengenai Yahudi dan Yudaisme melainkan hendak menyampaikan sebuah informasi historis bahwa di Gombong era kolonial, terlacak jejak orang-orang Yahudi meskipun tidak banyak dan tidak membentuk komunitas yang signifikan serta tidak membentuk struktur sosial dan ekonomi masyarakat Gombong era kolonial.

Dalam artikel sebelumnya dengan judul, “Daya Tarik Gombong Bagi Etnis Tionghoa di Era Kolonial” (http://historyandlegacy-kebumen.blogspot.com) dijelaskan perihal asal usul etnis Tionghoa di Gombong dan peran mereka dalam pembentukkan ekonomi Gombong. Tidak demikian dengan etnis Yahudi yang beberapa waktu lamanya berada di Gombong. Mereka tidak hadir sebagai sebuah kelompok dan komunitas dagang melainkan menjadi bagian dari militer Belanda.


Dalam sebuah artikel koran Nieuw Israelietisch Weeklad bertanggal 27 Juli 1900 dengan judul, “Joodsche toestanden in Indië (Kondisi Yahudi di Hindia)”, dijelaskan sbb:

“Een Israelietisch militair deelde mij het volgende mede: «Ik veroorloof mij u hiermede in kennis te stellen met volgende gebeurtenissen. Bij het korps pupillen (eene militaire opvoedingsschool) te Gombong wordt iederen Zondag godsdienstonderwijs gegeven en godsdienst gehouden, zoowel voor Protestanten als voor Katholieken. Aan dit onderwijs en dezen godsdienst wordt door drie Joodsche kinderen deelgenomen, niettegenstaande iedereen weet, dat ze Joden zijn, d. w. z. kinderen zijn van Joodsche ouders. De naam van den eenen jongen is Polak, zijn vader is, als ik mij niet vergis, stationchef bij de staats-spoorwegen in Indië, zijn zoon wordt in 't Katholieke geloof opgevoed.

De beide andere jongens, broeders, hun naam is Samathini, worden in de leer der Protestanten opgeleid. Hun vader, sints jaren overleden, diende als onder-officier bij het Nederlandsch-Indisch leger. Na zijn dienstexpiratie werd hij door eenige Joodsche ingezetenen te Soerabaja, in de gelegenheid gesteld om een zaak te beginnen, hij was brood- en banketbakker, hij trouwde toen eene Christin. Hij was van Amsterdam afkomstig en van Portugeeschen oorsprong

De weduwe is huishoudster te Soerabaja of omstreken, terwijl de kinderen tot militair worden opgeleid. Zij houdt nog steeds briefwisseling met de familie te Amsterdam. Zoover mijn berichtgever”

(Seorang tentara Israel memberi tahu saya hal berikut: ‘Dengan ini, saya mengizinkan Anda untuk diberitahu tentang peristiwa-peristiwa berikut. Di korps pupilen (sekolah pendidikan militer) di Gombong setiap hari Minggu pendidikan agama diselenggarakan, baik untuk orang Protestan maupun untuk Katolik. Tiga anak Yahudi berpartisipasi dalam pendidikan agama ini - terlepas dari kenyataan bahwa setiap orang tahu bahwa mereka adalah orang Yahudi - d. w. z. adalah anak-anak dari orang tua Yahudi. Nama anak laki-laki itu adalah Polak. Ayahnya -jika saya tidak salah- adalah manajer stasiun di jalur kereta api negara di Hindia, putranya dibesarkan dalam kepercayaan Katolik.

Dua anak laki-laki lainnya –bersaudara- namanya Samathini, sedang dilatih dalam ajaran Protestan. Ayah mereka, yang meninggal beberapa tahun lalu, bertugas sebagai sub-perwira tentara Hindia Belanda. Setelah masa tugasnya berakhir, ia diberi kesempatan oleh beberapa warga Yahudi di Surabaya untuk memulai bisnis, ia adalah seorang tukang roti dan koki kue, kemudian ia menikahi seorang Kristen. Dia datang dari Amsterdam dan dari asal Portugis

Jandanya adalah pembantu rumah tangga di Surabaya atau daerah sekitarnya, sementara anak-anak dilatih sebagai militer. Dia masih memiliki korespondensi dengan keluarga di Amsterdam’, Zoover adalah reporter saya).

Petikan koran di atas menjelaskan perihal tiga orang prajurit muda yang bersekolah di De Militaire Pupillenschool berketurunan Yahudi. Yang satu bernama Pola dan yang satu adalah Samathini dan satu saudaranya yang belum disebutkan. Yang memiliki ayah seorang pejabat kereta api dan yang satu perwira militer.

De Militaire Pupillenschool (Sekolah Siswa Militer) atau dikenal dengan Korps Pupillen, adalah sebuah institusi pendidikan dari Angkatan Darat Hindia Belanda (Koninklijk Nederlands Indisch Leger-KNIL) yang didirikan pada 1848 di Gombong di Jawa Tengah. Tujuan sekolah adalah untuk melatih anak-anak orang Eropa, yang dibesarkan sebagai penduduk asli, untuk menjadi prajurit. Sekolah ditutup pada 1 Juli 1912 karena pemotongan anggaran. Mengikuti anjuran Mayor Jenderal Hubert de Stuers sejak tahun 1835, sebuah De Militaire Pupillenschool didirikan pada tahun 1848 di Kedong-Kebo oleh Mayor Jenderal Von Lützow. Setelah bangunan runtuh saat badai pada tahun 1854, sekolah pindah ke Fort Cochius, yang kemudian menjadi Fort Van der Wijck, yang terletak di dekat Gombong.

Menariknya, di bagian artikel ditutup dengan keterangan pendek sbb:

“Gombong is een klein plaatsje op Java Op hetoogenblik wonen hier5 Jehoediem, namelijk 4 militairen en een koopman, afkomstig uit Taranopel (Galicië) Deze laatste een frummer Jehoedie gaf de Seder dit jaarvoor zich zelf en zijn vrouw, toch niettegenstaande hem bekend was, dat de vier andere Jehoediem geen Joodsch thuis liadden voor Pesach, liet hij hen voor gesloten deuren staan, en niettegenstaande hun verzoek en verlangen, om aan de Seder te kunnen aanzitten, konden zij het feest in de kazerne doorbrengen. De arme man, hij wordt geschat op ± 100.000 gulden, had voor hen geen zetel over”


Keterangan di atas kurang lebihnya menjelaskan bahwa di kota kecil Gombong terdapat lima orang Yahudi, yaitu empat tentara dan seorang pedagang dari Taranople (Galicia) dan mereka melaksanakan ibadah Paskah di rumah.

Belum ada buku sejarah yang membahas eksistensi orang Yahudi Indonesia di era kolonial. Mulai tahun 200-an sejumlah peneliti mulai melakukan kajian serius dan dituangkan dalam sejumlah jurnal ilmiah dan buku.

Salah satunya, Romi Zarman dalam bukunya Yudaisme di Jawa Abad 19 dan 20 menjelaskan sbb: “Dari suatu peraturan pencatatan sipil untuk orang Yahudi di Hindia Belanda, Het reglement op den burgerlijken stand, voor alle Christenen en Joden, bertanggal 18 Juni 1828, teridentifikasi bahwa orang Yahudi di Jawa terutama tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya…Yahudi Eropa di Jawa tidak tersebar di Batavia, Semarang dan Surabaya, melainkan juga di Bandung, Cilacap, Bogor, Sukabumi, Cimahi, Gombong, Surakarta, Yogyakarta, Walikukun, Malang, Ngawi, Ambarawa, Magelang, Madiun, Purworejo, Purwokerto, Probolonggo dan Pasuruan” (tt, hal 1-2).

Menariknya, di dalam tabel yang disusun oleh Sdr. Romi Zarman tertulis komposisi orang Yahudi di beberapa wilayah dari tahun yang berbeda sbb: Batavia (20 keluarga Yahudi Eropa, tahun 1861), Batavia (40 jiwa, tahun 1862), Surabaya (3 keluarga Yahudi Persia, tahun 1871), Gombong (5 jiwa, tahun 1901), Semarang (20 jiwa, tahun 1903).

Di era kolonialisme, eksistensi Yahudi di Hindia Belanda terbagi menjadi dua kelompok sebagai konsekwensi penerbitan Reglement op den Burgerlijken stand voor alle Christenen en Joden oleh Du Bus pada tanggal 18 Juni 1828, yaitu Vreemde Joden (Yahudi Asing) dan Nederlandsch Joden (Yahudi Belanda). Mereka yang terkategori Vreemde Joden termasuk Yahudi Turki, Yahudi Portugis, Yahudi Polandia, Yahudi Austria, Yahudi Rusia, Yahudi Rumania, Yahudi Hunggaria, Yahudi Armenia, Yahudi Arab, Yahudi Persia, Yahudi Baghdag. Istilah tersebut bergeser pada tahun 1885 menjadi Europeesche Joden (Yahudi Eropa) dan Aziatische Joden (Yahudi Asia) (Romi Zarman, Di Bawah Kuasa Antisemitisme: Orang Yahudi di Hindia Belanda 1861-1942, 2018:61,63).

DR. Leonard Epafras melacak keberadaan Yahudi di Nusantara jauh sebelum kedatangan pemerintahan Hindia Belanda yang menggantikan kebangkrutan VOC. Keberadaan orang Yahudi Sefardi sudah terlacak di Malaka era Portugis melalui catatan misionaris Fransiskus Xaverius (1506-1552). Dia berjumpa dengan Yahudi Sefardi beserta sinagogenya. Mereka datang dari semenanjung Iberia alias Al Andalus.

Demikian pula beberapa orang-orang Yahudi berinvestasi dalam saham VOC sekalipun tidak memiliki peran signifikan (Yahudi Nusantara: Realitas Sejarah dan Dinamika Identitas, Jurnal Religio, Vol 03 Nomor 02, 2013: 43,46). Di era Hindia Belanda, seorang bernama Ya’aqov Safir Ha Levi (1822-1885) mengunjungi Batavia sekitar tahun 1861 dalam perjalanan menuju Australia. Di Batavia dia melakukan sejumlah pencatatan selama tujuh minggu dan memberikan laporan mengenai keberadaan orang Yahudi di Batavia yang menyedihkan (Jeffrey Hadler, Translation of Antisemitism: Jews, The Chinese and Violence in Colonial and Post Colonial Indonesia, Indonesia and the Malay World, Vol 32, 2004:295).

Sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya bahwa keberadaan orang Yahudi di Gombong lebih berkaitan dengan tugas-tugas kemiliteran, tinimbang komunitas dagang yang memasok sejumlah kebutuhan pangan – sebagaimana pedagang etnis Tionghoa-, sehingga mereka tidak menetap lama dan hanya untuk beberapa waktu lamanya saja berada di sana. Tidak pernah ada laporan dan berita lainnya yang berkaitan dengan keberadaan etnis Yahudi di Gombong pada era-era selanjutnya.

Kiranya tulisan ini dapat memberikan trigger (pemantik) bagi riset sejarah selanjutnya, baik perihal eksistensi etnis Yahudi di era kolonial maupun paska kolonial, jika suatu hari diperoleh datanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar