Hujan lebat mulai mengguyur dan
banjir bandang mulai menggenangi kawasan perumahan dan areal pesawahan di
sejumlah tempat di bulan Januari 2020 ini. Kewaspadaan dan antisipasi harus
senantiasa dilakukan oleh semua pihak, walaupun terkadang semua upaya kerap
tidak mampu menahan kekuatan alam dalam wujud hujan, badai, banjir dsj.
Banjir, bukan sebuah problem
masyarakat masa kini saja. Di wilayah Kebumen era kolonial tercatat sejumlah
peristiwa banjir yang cukup mengerikan dan memakan korban. Sebuah berita dengan
judul, “Bandjir Eischt Drie Menschenlevens” (Banjir Memakan Korban Tiga Orang)
yang dilaporkan oleh harian Het Nieuws
Van Den Daag Voor Nederlandscg Indie bertanggal 1 Desember 1937 patut
diperhatikan.
Isi artikel koran tersebut
kurang lebih sbb:
Pada
Kamis malam, badai ganas terjadi di atas Keboemen dan daerah sekitarnya,
disertai dengan hembusan angin dan hujan yang kuat. Api menyambar dari langit
(kilat) selama satu jam, dan petir membuat rumah berdebam. Beberapa rumah roboh
dalam kegelapan.
Di
kecamatan Alian (Krakal), 15 km dari Keboemen, kali Wonokromo dan kali
Kedongbener mengalami banjir disebabkan curah hujan yang sangat tinggi. Banjir membawa
sejumlah material sehingga menyebabkan kerusakan serta membunuh seorang pria
dan dua anak.
Sepuluh
rumah di pedalaman diseret dengan perabotan serta isinya, demikian pula dengan lumbung
yang diisi padi dari lurah Wonokromo. Rumah bagian belakang lurah juga mengalami
rusak parah, sementara itu dek jembatan desa sepanjang 30 m dekat Wonokroma
lenyap ke dalam genangan air. Sekitar 20 aeal perkebunan jagung dan tembakau
rusak parah serta dianggap hilang.
Kerusakan material diperkirakan mencapai 1.200 florin.
Kerusakan
yang diderita sebagian besar akan dikompensasi dari apa yang disebut Dana
Perwalian Kabupaten (Darmafonds van het regentschap) yang didirikan untuk
membantu penduduk jika terjadi gempa bumi dan bencana alam lainnya.
Pada
hari Jumat sore kedua mayat anak-anak itu ditemukan dua kilometer di hilir
sungai. Adapun mayat korban ketiga masih dicari.
Sembilan tahun sebelumnya yaitu
1928 dilaporkan peristiwa banjir parah di Kebumen oleh harian De
Indsiche Courant bertanggal 14 Desember 1928 sbb:
“A.I.D
melaporkan dari Keboemen bahwa hujan lebat yang terus-menerus menyebabkan (sungai)
Loekolo jatuh dari tepiannya dan membanjiri bagian barat kota hingga ketinggian
2 meter. Banyak rumah yang runtuh dan terseret, termasuk sejumlah perabotan. Banyak
ternak kecil hilang dan 2000 balok pasar desa terhanyut.
Kerusakan
juga terjadi di Kotawinangoen dan Premboen. Sejumlah jalan desa telah terendam.
Ratusan areal persawahan telah tergenang air Jembatan, pipa, dan pekerjaan desa
lainnya mengalami kehancuran.
Dilaporkan
pula dari Alian bahwa sebanyak 6 orang terkejut dan diseret saat sedang tidur
pulas. 3 dari mereka sudah ditemukan. Mayat mereka ditemukan di perbatasan antara
Alian dan Keboemen. Adapun Kehilangan ternak sangat besar”
Ditarik lebih jauh lagi ke
tahun 1904, sebuah peristiwa banjir hebat melanda dan merusak Kedu termasuk
Kebumen yang saat itu masuk wilayah Karesidenan Kedu sejak tahun 1901.
Sebuah penggalan berita dengan
judul, "Ban'djirs en Aardschuivingen
in Kedoe" (Banjir dan Tanah Longsor di Kedu) yang dimuat koran Soerabaiasch Handelsblaad bertanggal 2
Desember 1904 menjadi sebuah peringatan dan rujukan mengenai adanya "pola
historis" yang terjadi di sebuah kawasan khususnya kawasan utara Kebumen.
Berikut saya lampirkan artikel
tersebut dengan terjemahan bebasnya:
“Setelah
mengalami banjir di afdeeling Keboemen, Residen Kedoe menginformasikan tentang
kerusakan yang disebabkan oleh bandjir dan endapan lumpur dan jalan serta
jembatan, berikut ini:
Di
distrik Alian dengan total 4 desa, hamparan seluas 5065 persegi R. R, sawah
ditimbun oleh longsoran tanah, sementara jalan umum Sadang - Alian rusak parah
di berbagai tempat, terutama di antara pos 13 dan 16.
Di
distrik Karanganjar, jalan umum Karanganjar - Karanggajan (Karanggayam) yang
dibangun di antara pos 3 dan 4 sepanjang 10 meter dan empat jembatan darurat
yang terletak di antara pos 6 dan 13 mengalai kerusakan.
Selanjutnya,
jalan Gagahbaning (Gagahloning?)- Trenggoeloen dan Gagahbaning - Djatisawit
ditimbun di banyak tempat oleh longsoran tanah, sementara rumah pengawasan di
desa Mirahan dihancurkan oleh bandjir. Dari sejumlah dessa di Kecamatan
Penoenggalan, sekitar 40 konstruksi sawah, tegalan dan pegagan juga terkubur di
bawah tanah longsor.
Di
distrik Gombong, bendungan publik (tanggul?) Watoebarrut sedikit mengalami
kerusakan, sementara 4 dessa di Wonosigro yang ditanami dengan padigogo,
katjang dan djagoeng dihancurkan dan di distrik Pedjagoan, bendungan (tanggul?)
Kedoengsawah di Sungai Lohoelo (Luk Ulo) sebagian besar mengalami kehancuran.
Selain
yang disebutkan di atas dibandingkan dengan jembatan dan jalan dessa, beberapa
mengalami kerusakan yang lebih besar atau lebih kecil, namun sebagian besar
telah mengalami pemulihan.
Sementara
itu, pejabat regional juga menyatakan akibat peristiwa tanah longsor di
Goenoeng Paras, kerusakan signifikan terjadi pada hutan di utara desa
Karangsamboeng dan Gagahboning di distrik Karanganjar”
Dari pemaparan sejumlah berita bencana
alam di wilayah Kebumen era kolonial melalui laporan sejumlah koran berbahasa
Belanda, mengingatkan kita semua bahwa kekuatan
alam terkadang tidak mudah dipahami. Namun bukan berarti kita harus bersikap
fatalistik dengan kemurkaan alam dan membiarkan bencana demi bencana terjadi
tanpa sebuah tindakan antisipasi teknologi dan antisipasi konvensional.
Kejadian yang lebih awal lagi
terdeteksi menurut berita Bataviaasch Nieuwsblad (20 April 1895 yang
melaporkan peristiwa banjir di seluruh Jawa pada tanggal 27-28 Maret termasuk
di wilayah Karesidenan Bagelen di mana Kabupaten Kebumen di dalamnya
Dilaporkan bahwa sungai Luk Ulo
dan Kedungbener meluap, akibatnya mengakibatkan jalan utama menuju Kaligending menuju
onderdistrik Sadang maupun desa Bunting dan Seboro mengalami kerusakan amat
hebat. Akibat kuatnya arus di bekas sungai, sejumlah batu di bendungan
Kaligending, dan batu Kaliwadas Sampih serta Kemangguan terbawa arus sepanjang
60 dan 30 meter.
Dengan mempelajari pola historis kebencanaan melalui pemberitaan di masa silam berupa tanah longsor serta banjir yang pernah terjadi di wilayah Kebumen, setidaknya kebijakkan pembangunan di wilayah ini harus bersifat antisipatif terhadap bencana alam yang bisa terjadi di kemudian hari.
Senada dengan ini, DR. Dicky Ilham dari UNPAD saat menyampaikan materi di kegiatan Focus Group Discussion di LIPI Karangsambung bulan November 2019 lalu mengingatkan soal "siklus bencana". Menurutnya, "Jika di suatu tempat pernah terjadi bencana, maka tunggulah suatu hari akan terjadi lagi di lokasi tersebut dan berwaspadalah". Sementara kutipan koran di atas saya mengajak soal mewaspadai "pola historis kebencanaan".
Senada dengan ini, DR. Dicky Ilham dari UNPAD saat menyampaikan materi di kegiatan Focus Group Discussion di LIPI Karangsambung bulan November 2019 lalu mengingatkan soal "siklus bencana". Menurutnya, "Jika di suatu tempat pernah terjadi bencana, maka tunggulah suatu hari akan terjadi lagi di lokasi tersebut dan berwaspadalah". Sementara kutipan koran di atas saya mengajak soal mewaspadai "pola historis kebencanaan".
Belajar dari Jepang, negeri rawan
bencana khususnya gempa dan tsunami. Bukan hanya sekolah dan kantor yang diberi
alarm tanda gempa serta rumah betteknologi tahan gempa namun juga semua
handphone di Jepang memiliki sistem peringatan gempa/tsunami yang dipasang.
Sistem ini akan memberi peringatan sekitar 5 hingga 10 detik sebelum bencana
terjadi, peringatan juga akan memberi tambahan waktu untuk melarikan diri ke
tempat aman atau berlindung dibawah meja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar