Kamis, 02 Januari 2020

BENCANA ALAM DAN PEMAHAMAN POLA HISTORIS KEBENCANAAN


Hujan lebat mulai mengguyur dan banjir bandang mulai menggenangi kawasan perumahan dan areal pesawahan di sejumlah tempat di bulan Januari 2020 ini. Kewaspadaan dan antisipasi harus senantiasa dilakukan oleh semua pihak, walaupun terkadang semua upaya kerap tidak mampu menahan kekuatan alam dalam wujud hujan, badai, banjir dsj.

Banjir, bukan sebuah problem masyarakat masa kini saja. Di wilayah Kebumen era kolonial tercatat sejumlah peristiwa banjir yang cukup mengerikan dan memakan korban. Sebuah berita dengan judul, “Bandjir Eischt Drie Menschenlevens” (Banjir Memakan Korban Tiga Orang) yang dilaporkan oleh harian Het Nieuws Van Den Daag Voor Nederlandscg Indie bertanggal 1 Desember 1937 patut diperhatikan.


Isi artikel koran tersebut kurang lebih sbb:

Pada Kamis malam, badai ganas terjadi di atas Keboemen dan daerah sekitarnya, disertai dengan hembusan angin dan hujan yang kuat. Api menyambar dari langit (kilat) selama satu jam, dan petir membuat rumah berdebam. Beberapa rumah roboh dalam kegelapan.

Di kecamatan Alian (Krakal), 15 km dari Keboemen, kali Wonokromo dan kali Kedongbener mengalami banjir disebabkan  curah hujan yang sangat tinggi. Banjir membawa sejumlah material sehingga menyebabkan kerusakan serta membunuh seorang pria dan dua anak.

Sepuluh rumah di pedalaman diseret dengan perabotan serta isinya, demikian pula dengan lumbung yang diisi padi dari lurah Wonokromo. Rumah bagian belakang lurah juga mengalami rusak parah, sementara itu dek jembatan desa sepanjang 30 m dekat Wonokroma lenyap ke dalam genangan air. Sekitar 20 aeal perkebunan jagung dan tembakau rusak parah serta  dianggap hilang. Kerusakan material diperkirakan mencapai 1.200 florin.

Kerusakan yang diderita sebagian besar akan dikompensasi dari apa yang disebut Dana Perwalian Kabupaten (Darmafonds van het regentschap) yang didirikan untuk membantu penduduk jika terjadi gempa bumi dan bencana alam lainnya.

Pada hari Jumat sore kedua mayat anak-anak itu ditemukan dua kilometer di hilir sungai. Adapun mayat korban ketiga masih dicari.

Sembilan tahun sebelumnya yaitu 1928 dilaporkan peristiwa banjir parah di Kebumen oleh harian De Indsiche Courant bertanggal 14 Desember 1928 sbb:

“A.I.D melaporkan dari Keboemen bahwa hujan lebat yang terus-menerus menyebabkan (sungai) Loekolo jatuh dari tepiannya dan membanjiri bagian barat kota hingga ketinggian 2 meter. Banyak rumah yang runtuh dan terseret, termasuk sejumlah perabotan. Banyak ternak kecil hilang dan 2000 balok pasar desa terhanyut.

Kerusakan juga terjadi di Kotawinangoen dan Premboen. Sejumlah jalan desa telah terendam. Ratusan areal persawahan telah tergenang air Jembatan, pipa, dan pekerjaan desa lainnya mengalami kehancuran.

Dilaporkan pula dari Alian bahwa sebanyak 6 orang terkejut dan diseret saat sedang tidur pulas. 3 dari mereka sudah ditemukan. Mayat mereka ditemukan di perbatasan antara Alian dan Keboemen. Adapun Kehilangan ternak sangat besar”


Ditarik lebih jauh lagi ke tahun 1904, sebuah peristiwa banjir hebat melanda dan merusak Kedu termasuk Kebumen yang saat itu masuk wilayah Karesidenan Kedu sejak tahun 1901.

Sebuah penggalan berita dengan judul, "Ban'djirs en Aardschuivingen in Kedoe" (Banjir dan Tanah Longsor di Kedu) yang dimuat koran Soerabaiasch Handelsblaad bertanggal 2 Desember 1904 menjadi sebuah peringatan dan rujukan mengenai adanya "pola historis" yang terjadi di sebuah kawasan khususnya kawasan utara Kebumen.


Berikut saya lampirkan artikel tersebut dengan terjemahan bebasnya:

“Setelah mengalami banjir di afdeeling Keboemen, Residen Kedoe menginformasikan tentang kerusakan yang disebabkan oleh bandjir dan endapan lumpur dan jalan serta jembatan, berikut ini:

Di distrik Alian dengan total 4 desa, hamparan seluas 5065 persegi R. R, sawah ditimbun oleh longsoran tanah, sementara jalan umum Sadang - Alian rusak parah di berbagai tempat, terutama di antara pos 13 dan 16.

Di distrik Karanganjar, jalan umum Karanganjar - Karanggajan (Karanggayam) yang dibangun di antara pos 3 dan 4 sepanjang 10 meter dan empat jembatan darurat yang terletak di antara pos 6 dan 13 mengalai kerusakan.

Selanjutnya, jalan Gagahbaning (Gagahloning?)- Trenggoeloen dan Gagahbaning - Djatisawit ditimbun di banyak tempat oleh longsoran tanah, sementara rumah pengawasan di desa Mirahan dihancurkan oleh bandjir. Dari sejumlah dessa di Kecamatan Penoenggalan, sekitar 40 konstruksi sawah, tegalan dan pegagan juga terkubur di bawah tanah longsor.

Di distrik Gombong, bendungan publik (tanggul?) Watoebarrut sedikit mengalami kerusakan, sementara 4 dessa di Wonosigro yang ditanami dengan padigogo, katjang dan djagoeng dihancurkan dan di distrik Pedjagoan, bendungan (tanggul?) Kedoengsawah di Sungai Lohoelo (Luk Ulo) sebagian besar mengalami kehancuran.

Selain yang disebutkan di atas dibandingkan dengan jembatan dan jalan dessa, beberapa mengalami kerusakan yang lebih besar atau lebih kecil, namun sebagian besar telah mengalami pemulihan.

Sementara itu, pejabat regional juga menyatakan akibat peristiwa tanah longsor di Goenoeng Paras, kerusakan signifikan terjadi pada hutan di utara desa Karangsamboeng dan Gagahboning di distrik Karanganjar”

Dari pemaparan sejumlah berita bencana alam di wilayah Kebumen era kolonial melalui laporan sejumlah koran berbahasa Belanda, mengingatkan kita semua bahwa  kekuatan alam terkadang tidak mudah dipahami. Namun bukan berarti kita harus bersikap fatalistik dengan kemurkaan alam dan membiarkan bencana demi bencana terjadi tanpa sebuah tindakan antisipasi teknologi dan antisipasi konvensional.

Kejadian yang lebih awal lagi terdeteksi menurut berita Bataviaasch Nieuwsblad (20 April 1895 yang melaporkan peristiwa banjir di seluruh Jawa pada tanggal 27-28 Maret termasuk di wilayah Karesidenan Bagelen di mana Kabupaten Kebumen di dalamnya


Dilaporkan bahwa sungai Luk Ulo dan Kedungbener meluap, akibatnya mengakibatkan jalan utama menuju Kaligending menuju onderdistrik Sadang maupun desa Bunting dan Seboro mengalami kerusakan amat hebat. Akibat kuatnya arus di bekas sungai, sejumlah batu di bendungan Kaligending, dan batu Kaliwadas Sampih serta Kemangguan terbawa arus sepanjang 60 dan 30 meter.


Dengan mempelajari pola historis kebencanaan melalui pemberitaan di masa silam berupa tanah longsor serta banjir yang pernah terjadi di wilayah Kebumen, setidaknya kebijakkan pembangunan di wilayah ini harus bersifat antisipatif terhadap bencana alam yang bisa terjadi di kemudian hari. 

Senada dengan ini, DR. Dicky Ilham dari UNPAD saat menyampaikan materi di kegiatan Focus Group Discussion di LIPI Karangsambung bulan November 2019 lalu mengingatkan soal "siklus bencana". Menurutnya, "Jika di suatu tempat pernah terjadi bencana, maka tunggulah suatu hari akan terjadi lagi di lokasi tersebut dan berwaspadalah". Sementara kutipan koran di atas saya mengajak soal mewaspadai "pola historis kebencanaan".

Belajar dari Jepang, negeri rawan bencana khususnya gempa dan tsunami. Bukan hanya sekolah dan kantor yang diberi alarm tanda gempa serta rumah betteknologi tahan gempa namun juga semua handphone di Jepang memiliki sistem peringatan gempa/tsunami yang dipasang. Sistem ini akan memberi peringatan sekitar 5 hingga 10 detik sebelum bencana terjadi, peringatan juga akan memberi tambahan waktu untuk melarikan diri ke tempat aman atau berlindung dibawah meja.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar