Minggu, 30 Desember 2018

MEMBACA GRAFITI DI GUA JATIJAJAR


Lama tidak berkunjung ke obyek wisata Jatijajar yang berlokasi di Desa Jatijajar, Kecamatan Ayah, Kabupaten Kebumen. Saat hadir dalam Focus Group Discussion (FGD) sebagai tindak lanjut ditetapkannya kawasan Karangsambung dan Karangbolong sebagai Kawasan Geopark Nasional pada 29 November 2018 lalu, menjadi saat menarik melihat perubahan dan perkembangan kawasan wisata yang bernuansa penampakkan geologis tersebut.

Ada yang menarik dari kegiatan Focus Group Discussion (FGD) kali ini dikarenakan lokasi dan perbincangan berada persis di didalam lorong gua yang memanjang dengan tetesan air dari sela-sela stalaktit (mineral sekunder yang menggantung di langit-langit gua kapur). Sayang pencahayaan kurang maksimal sehingga suasana Focus Group Discussion (FGD) lebih terkesan remang-remang jika bukan dikatakan gelap dan membuat orang harus berhati-hati saat berjalan melewati peserta lain yang duduk di sekitarnya.


Kali ini penulis tidak akan membicarakan materi yang dipercakapkan dalam kegiatan Focus Group Discussion (FGD) melainkan sisi lain yang penulis dapatkan sewaktu jam istirahat. Kesempatan ini penulis pergunakan untuk berjalan-jalan mengitari separuh kawasan gua yang memiliki panjang 250 meter, bersama beberapa teman.

Tidak banyak yang berubah hanya lebih terlihat rapih dan tertata dengan pencahayaan di beberapa ruangan gua sehingga menimbulkan citra permainan warna yang eksotis ketika menaiki sejumlah tangga dan mengeloki lorong gua.

Langkah kaki penulis dan beberapa teman berhenti kawasan gua dimana ada patung Kamandaka (keseluruhan kawasan gua diisi oleh 32 buah patung di beberapa lokasi) yang dihubungkan dengan legenda Lutung kasarung. Menurut legenda setempat, kawasan gua ini pernah menjadi tempat menyepi raden Kamandaka dari Pajajaran, Jawa Barat.

Selain berfoto dengan menggunakan gadget, sebagaimana layaknya gaya hidup di era digital, penulis tertarik melihat sejumlah grafiti yang menempel di atap gua yang cukup tinggi dan tidak terjangkau oleh tangan.

 

Grafiti adalah coretan pada dinding dengan komposisi warna tertentu baik untuk menuliskan angka, simbol, kata, kalimat, lukisan. Grafiti modern biasanya menggunakan media cat semprot kaleng atau sapuan kuas. Kebiasaan menuliskan grafiti sudah berumur ribuan tahun (The History of Graffiti from Ancient Times to Modern Days  - https://www.thevintagenews.com/ ).

Yang menarik dari grafiti di atas gua Jatijajar adalah hampir semua berisikan angka tahun dengan sejumlah nama orang dan asal daerah mereka serta beragam bahasa khususnya Belanda dan Jawa kawi dan Indonesia. Setidaknya tarikh yang tercatat menurut pengamatan penulis secara acak sudah dimulai dari tahun 1885-an hingga 1940-an. Ditulis dengan tiner dan berwarna hitam dan memenuhi sepanjang dinding gua.

  
  
Nampaknya, tradisi menuliskan nama dan tahun di dinding gua ini tidak gratis karena ada tulisan (meskipun samar dan tertindih tulisan lain), “Oengkoes Menoelis Oentoek Orang 1=0,25”. Dari pembacaan penulisan grafiti secara sepintas lalu, berarti tempat ini telah menjadi sebuah kawasan wisata lokal sejak era kolonial berkuasa.


Pertanyaan tersisa adalah, bagaimana menjelaskan letak tulisan yang tidak terjangkau oleh tangan bahkan di atas kepala kita beberapa meter tingginya? Pertanyaan ini terjawab saat bertemu seorang tukang foto yang telah menjalani profesinya sejak tahun 1975 bernama Bapak Nyawabi.

Menurut keterangan Bapak Nyawabi bahwa dulunya tempat dimana penulis berdiri tidak serendah dan serapi ini melainkan gundukkan tanah yang cukup tinggi sehingga dapat dipergunakan untuk menuliskan sejumlah grafiti di beberapa dinding gua.


Dari perbincangan singkat dengan Bapak Nyawabi diperoleh informasi bahwa di era kolonial, tempat yang sekarang menjadi lokasi wisata ini milik perorangan bernama Jayamenawi yang secara tidak sengaja menemukkan gua ini melalui salah satu lubang di kawasan properti miliknya. Saat lubang tersebut digali lebih dalam maka didapatkan sejumlah gua-gua di dalamnya. Nama desa jatijajar dahulunya adalah Desa Blangkunan.

Asal-usul nama Jatijajar dikarenakan tidak jauh dari gua kawasan properti milik Jayamenawi terdapat pohon jati berjejer dan menurut cerita dari mulut ke mulut – sebagaimana diinformasikan Bapak Nyawabi – pohon jati tersebut dijadikan sokoguru Kadipaten Ambal yang kemudian dialihkan menjadi slah satu sokoguru Masjid Ambal. Selain dimanfaatkan sebagai kawasan wisata lokal, pemerintahan kolonial Jepang pernah memanfaatkan kawasan gua ini untuk penambangan Fosfat.

 

Sejak tahun 1975 Pemerintah Daerah Kebumen membeli kawasan ini dari keturunan Jayamenawi dan menjadikan kawasan Jatijajar sebagai obyek wisaya dengan pelaksana kerja CV. AIS dari Yogyakarta yang dipimpin oleh Bapak Saptoto.


Akan lebih menarik jika menelaah isi grafiti yang terentang dari tahun yang berbeda mulai tahun 1850-an kemudian 1910-an, 1920-an, 1930-an, 1940-an dimana setiap kata, kalimat, tulisan mewakili orang-orang yang hidup di era yang berbeda dengan konteks sosial yang berbeda pula.

Pada kesempatan lain, pembacaan teks dan gambar grafiti di atas gua Jatijajar dapat dijadikan sebagai sebuah bahasan tersendiri. Siapa tahu, kita mendapatkan sejumlah informasi yang menarik dibalik kalimat-kalimat yang dituliskan dari periode waktu yang berbeda tersebut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar